HIJRAH TOTAL MANTAN BEGAL

#KisahRamadhan

 

Oleh: Arief B. Iskandar
(Khadim Ma’had Wakaf Darun Nahdhah al-Islamiyah Bogor)

FUDHAIL BIN ‘IYADH rahimahulLaah hidup sezaman antara lain dengan Imam Malik, Sufyan bin Uyainah dan Abdullah bin al-Mubarak.

Fadhl bin Musa berkata, Fudhail bin ‘Iyadh dulunya adalah seorang penyamun (pembegal/perampok) yang cukup ditakuti. Ia biasa merampok orang-orang di daerah antara Abu Warda dan Sirjis.

Suatu saat ia pernah terpikat dengan seorang wanita. Ia lalu memanjat tembok guna melaksanakan hasratnya terhadap wanita tersebut. Tiba-tiba ia mendengar seseorang membaca ayat (yang artinya): “Belumkah datang waktunya bagi kaum beriman menundukkan hati mereka guna mengingat Allah.” (QS al-Hadid [57]: 16)?

Tatkala mendengar itu, kontan tubuhnya bergetar. Ia lalu bergumam, “Tuhanku, tentu telah tiba saatku (untuk bertobat).”

Lalu malam itu juga ia segera bergegas pulang. Namun, saat ia tengah berlindung dan bersembunyi di balik reruntuhan bangunan, tiba-tiba lewat sekelompok orang. Seseorang dari mereka berkata, “Kita jalan terus.” Yang lain menimpali, “Ya, kita jalan terus sampai pagi karena biasanya Fudhail menghadang kita di jalan ini.”

Mendengar itu, Fudhail bergumam, “Aku melakukan berbagai kejahatan pada malam hari hingga sebagian dari kaum Muslim takut kepadaku. Ya Allah, sungguh aku bertobat kepada-Mu.” (Lihat: Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala, 8/423).

Sejak itu Fudhail bin ‘Iyadh benar-benar bertobat. Ia berhijrah. Hijrah total. Bukan asal hijrah. Ia benar-benar berubah 180 derajat. Dari seorang pembegal jalanan menjadi pribadi yang ‘alim, shalih, ahli ibadah, wara’ dan zuhud. Ia lalu menghabiskan banyak waktunya di Kufah sambil berguru kepada sejumlah ulama terkemuka.

Ia pun kemudian hijrah dan menetap di Makkah sambil terus berguru ke sejumlah ulama besar di sana. Pada akhirnya, Fudhail bin ‘Iyadh menjelma menjadi seorang ulama terkemuka, ahli fikih dan ahli hadis. Fudhail bin ‘lyadh adalah seorang cerdas, kuat hapalannya dan wara’. Tiga sifat ini merupakan modal utama seorang ahli hadis.

Fudhail bin ‘Iyadh pun dikenal karena ketekunan dan kekhusukannya dalam beribadah hingga dijuluki ‘Abid al-Haramayn (Ahli Ibadah Makkah dan Madinah).

Jika malam mulai datang, Fudhail bin ‘Iyadh biasa menggelar sejadahnya untuk menunaikan qiyâmul-layl. Ia terus dalam keadaan shalat hingga rasa kantuknya datang tak tertahankan. Ia pun berbaring sebentar, untuk kemudian kembali shalat. Saat kembali kantuknya datang tak tertahankan, ia kembali berbaring sebentar. Kemudian ia pun kembali bangkit untuk shalat. Begitu seterusnya hingga datang waktu subuh.

Terkait shalat malam ini, Fudhail pernah berkata, “Jika kamu merasa begitu berat untuk menunaikan qiyâmul-layl dan berpuasa di siang hari, ketahuilah, sesungguhnya dirimu telah terbelenggu oleh dosa dan maksiat yang kamu perbuat.”

Fudhail bin ‘Iyadh pun dikenal karena kewaraan dan kezuhudannya. Ia mencukupkan nafkah untuk dirinya dan keluarganya dari hasil mengurus air di Makkah yang tak seberapa hasilnya. Meski hidup pas-pasan, ia menolak segala bentuk pemberian dan hadiah dari Khalifah ataupun para pejabatnya. Ia, misalnya, pernah menolak pemberian uang sebesar 1000 dinar (lebih dari Rp 3,5 miliar) dari Khalifah Harun ar-Rasyid.

Fudhail bin Iyadh banyak memberikan nasihat bijak dan bernas. Tentang ikhlas, misalnya, Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Meninggalkan amal shalih karena manusia adalah riya. Beramal shalih karena manusia adalah syirik. Ikhlas adalah keterbebasan dari keduanya.” (Lihat: An-Nawawi, Al-Adzkâr, hlm. 7).

Tentang bagaimana wujud sabar dalam menghadapi musibah, Fudhail berkata, “Dengan tidak menceritakan musibah yang dialami.” (Lihat: Abu Nu’aim, Hilyah al-Awliyâ’, 8/91).

Adapun tentang iman yang sempurna, Fudhail berkata, “Seorang hamba tidak akan menggapai hakikat iman kecuali setelah menganggap musibah sebagai nikmat dan nikmat sebagai musibah.” (Lihat: Abu Nu’aim, Hilyah al-Awliya’, 8/94).

Tentu itu hanya secuil nasihat beliau.

Sebagai seorang ulama besar ahli hadis dan ahli fikih, Fudhail bin Iyadh tentu memiliki banyak murid. Di antara para muridnya pun banyak yang menjadi ulama besar. Mereka antara lain: Imam Syafi’i, Ibnu al-Mubarak, Al-Ja’fi, Ishaq bin Mansur As-Sauli, al-Humaidy, Yahya bin al Qaththan, Abdrurrahman bin Mahdi, Qutaybah bin Said, Marwan bin Muhammad, Abdurrazaq, juga Bisyr al-Hafy. (Lihat: Ibn Asakir, Târîkh Dimasyqi, 32/450; Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala, 7/386; As-Subki, Thabaqât asy-Syâfi’iyah, 1/287).

Begitulah teladan hijrah Fudhail bin ‘Iyadh rahimahulLaah. Sebuah keteladan yang luar biasa bagi siapa saja, khususnya bagi siapapun yang menghendaki totalitas dalam berhijrah.

Wa ma tawfiiqii illaa bilLaah’alayhi tawakkaltu wa ilayhi uniib. []

090422

Hikmah Ramadhan:

Ibnu al-Qayyim rahimahulLaah berkata:
خير أيام العبد على الإطلاق، وأفضلها، يوم توبته إلى الله
Hari terbaik dan paling utama bagi seorang hamba secara mutlak adalah hari saat ia bertobat kepada Allah
(Ibnu al-Qayyim, Zaad al-Ma’ada, 3/512). []

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi