Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Seorang sahabat dan senior saya, Ustadz Ismail Yusanto, pernah menceritakan pengalamannya saat bekerja di sektor pertambangan. Waktu itu bulan puasa dan beliau tetap menjalankan ibadah puasa walau pun harus tetap bekerja. Ketika diajak makan oleh seorang rekan kerjanya yang non muslim, Ustadz Ismail menjawab,”Sorry, I am fasting.” (Maaf saya sedang puasa). Rekannya bertanya,”What is fasting?” (Apa itu puasa?). Ustadz Ismail menjelaskan dalam Bahasa Inggris yang –kata beliau– sebisanya,”Fasting is not to eat and to drink, from morning till dawn.” (Puasa itu tidak makan dan minum dari pagi sampai matahari terbenam). Lalu rekannya spontan merespon kaget,”Are you crazy?” (Hah, kamu gila?). Jadi ternyata bagi orang-orang non muslim, sungguh tak terbayang baginya ada orang yang tidak makan dan minum selama kurang lebih 12 jam pada saat seorang muslim berpuasa pada bulan Ramadhan.
Pengalaman serupa juga pernah dialami oleh seorang muslim yang bekerja di Jepang. Ini pernah saya baca di media sosial beberapa waktu lalu. Waktu itu bulan puasa dan dia pun tetap berpuasa pada saat bekerja. Saat itu ada seorang rekannya dari Jepang yang non muslim akhirnya tahu bahwa muslim Indonesia itu sedang berpuasa. Setelah diberitahu bahwa puasa itu tidak makan dan minum dari pagi sampai malam tiba, orang Jepang itu spontan merespon keheranan,”Hah, apakah kamu tidak mati?”
Lauren Booth, seorang muslimah muallaf, saudara ipar mantan PM Inggris Tony Blair, pernah menceritakan pengalamannya yang unik di beberapa videonya di Youtube saat dia bertugas sebagai jurnalis di Palestina kira-kira tahun 2000-an pertengahan. Dia sendiri masuk Islam sekitar tahun 2012. Waktu itu dia mengunjungi sebuah keluarga muslim Palestina yang sangat miskin di bulan Ramadhan, di rumahnya yang sederhana, hanya ada tikar sederhana di ruang tamu, selain itu hanya satu kamar sempit yang menampung suami istri itu dan beberapa anaknya. Waktu itu Lauren Booth berpikir keheranan, bagaimana mungkin ada sebuah agama yang mengharuskan orang tidak makan dan minum seharian, padahal orang yang berpuasa itu sendiri dalam pandangan Lauren Booth sedemikian miskinnya dan tentu serba berkekurangan dalam segala hal. Waktu itu Lauren Booth bertanya kepada perempuan muslimah yang menjadi shahibul bait,”Mengapa kamu berpuasa?” Wanita itu mejawab,”Supaya kami dapat merasakan kehidupan orang-orang yang miskin di luar sana.” Lauren Booth pun syok, karena pikirnya bagaimana mungkin wanita itu bilang demikian, padahal wanita itu sendiri sudah sedemikian miskinnya? Lalu orang miskin mana lagi yang lebih buruk keadaannya dibandingkan wanita muslimah Palestina itu? Di situlah Lauren Booth lalu terkesan dengan kekuatan spiritual dalam Islam dan sekaligus terkesan akan keindahan agama Islam. Dalam hatinya, Lauren Booth pun berkata,”Ya Allah, jika ini adalah agama Islam, izinkanlah saya menjadi seorang pengikutnya.”
Jadi, bagi orang-orang non muslim, nampaknya puasa menjadi sesuatu yang mustahil atau minimal sesuatu yang teramat sangat berat dilakukan oleh seorang manusia. Puasa juga dianggap sesuatu beban berat yang tidak selayaknya dilakukan karena hanya akan menambah penderitaan bagi orang-orang yang keadaannya sudah miskin. Itulah pandangan mereka, yang semata-mata melihat fenomena empiris di dunia hanya dari perspektif inderawi dan sama sekali tidak mempunyai perspektif lain dalam memandang kehidupan.
Al-Qur`an sendiri sudah mensinyalir cara pandang demikian itu, sebagaimana firman-Nya :
يَعْلَمُوْنَ ظَاهِرًا مِّنَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۖ وَهُمْ عَنِ الْاٰخِرَةِ هُمْ غٰفِلُوْنَ ٧
“Mereka (orang kafir) itu mengetahui yang lahir (tampak) dari kehidupan dunia, sedangkan terhadap (kehidupan) akhirat mereka lalai.” (QS Ar-Ruum : 7).
Dalam kitab tafsirnya Fī Zhilāl Al-Qur`ān, Sayyid Quthub menerangkan bahwa ada perbedaan yang tajam antara muslim yang beriman dengan akhirat dan orang kafir yang hanya dapat melihat sesuatu yang lahir (nampak) dari kehidupan dunia. Masing-masing akan mempunyai standar (mīzān) dan perspektif (zāwiyah li al-nazhar) yang berbeda, untuk memandang satu persoalan yang sama secara faktual. Sayyid Quthub menafsirkan ayat itu sebagai berikut :
فَلِكُلًّ مِنْهُماَ مِيْزاَنٌ وَلِكُلٍّ مِنْهُماَ زَاوِيَةٌ لِلنَّظَرِ، وَلِكُلٍّ مِنْهُماَ ضَوْءٌ يَرَى بِهِ اْلأَشْياَءَ وَاْلأَحْدَاثُ وَالْقِيَمَ وَالْأَحْوَالَ، وَهَذاَ يَرَى ظاَهِراً مِنَ الْحَياَةِ الدُّنْياَ، وَذَاكَ يُدْرِكُ ماَ وَراَءَ الظاَّهِرِ مِنْ رَواَبِطَ وَسُنَنَ وَنَواَمِيْسَ شَامِلَةٍ لِلظَّاهِرِ وَالْباَطِنِ وَالْغَيْبِ وَالشَّهاَدَةِ وَالدُّنْياَ وَاْلآخِرَةِ، اَلْماَضِيْ وَالْحاَضِرِ وَالْمُسْتَقْبَلِ، وَعاَلَمِ الناَّسِ وَالْعاَلَمِ اْلأَكْبَرِ الَّذِيْ يَشْمَلُ اْلأَحْياَءَ وَاْلأَمْوَاتِ، وَهَذاَ هُوَ اْلأُفُقُ الْبَعِيْدُ اْلأَوْسَعُ الشَّامِلُ الَّذِيْ يَنْقُلُ اْلإِسْلاَمُ الْبَشَرِيَّةَ إِلَيْهِ…
“Jadi masing-masing akan mempunyai standar (mīzān) dan perspektif (zāwiyah li al-nazhar) yang berbeda, dan masing-masing mempunyai sorotan yang berbeda terhadap segala sesuatu, segala peristiwa, segala nilai, dan segala kondisi. Orang nonmuslim akan memandang yang lahir (nampak) saja dari kehidupan dunia, sedang orang muslim memahami apa yang ada di balik yang lahir (nampak) dari kehidupan dunia itu, berupa ikatan-ikatan, sunnah-sunnah (ketentuan-ketentuan), dan pola-pola hidup yang menyeluruh untuk yang zhahir (nampak) dan yang bathin (yang tidak nampak), untuk yang ghaib (unseen/tak terindera) dan untuk yang syahādah (dapat terindera/empirical), untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat, juga untuk sesuatu yang terjadi di masa lampau, masa kini, dan masa depan; dan muslin itu pun mengetahui manusia dan alam semesta yang lebih besar yang mencakup orang-orang yang masih hidup dan orang-orang yang sudah mati. Inilah horizon yang jauh yang lebih luas yang serba mencakup yang dengannya Islam telah mentransformasikan umat manusia…” (Sayyid Quthub, Fī Zhilāl Al-Qur`ān, 2/2579).
Dari penjelasan itulah, kita akan dapat memahami mengapa banyak ayat atau hadits, yang mengingatkan kita akan keimanan kita, sebelum ditetapkannya suatu hukum syara’. Hal ini tiada lain adalah agar kita tidak memandang hukum itu hanya sebatas yang lahir (empirical) semata-mata, namun juga memandang hukum itu dari perspektif keimanan yang sungguh telah melampaui batas-batas empiris (beyond empirical boundaries). Dengan kata lain, kita sebagai seorang muslim, ketika mengamalkan suatu hukum syara’, hendaklah disertai dorongan iman, atau yang diistilahkan dengan kekuatan spiritual (al-quwwah al-ruhiyyah). Perhatikan misalnya sabda Rasulullah SAW yang mensyariatkan beberapa hukum syara’, yang diawali dengan kalimat yang mengingatkan kita akan keimanan kita :
مَن كانَ يُؤْمِنُ باللَّهِ والْيَومِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا، أوْ لِيصْمُتْ، ومَن كانَ يُؤْمِنُ باللَّهِ والْيَومِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جارَهُ، ومَن كانَ يُؤْمِنُ باللَّهِ والْيَومِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah dia berkata yang baik, atau diam. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah dia memuliakan tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah dia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari, no. 6018; Muslim, no. 47).
Perhatikanlah sabda Rasulullah SAW :
لا يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ تُؤْمِنُ باللَّهِ وَالْيَومِ الآخِرِ، تُسَافِرُ مَسِيرَةَ يَومٍ وَلَيْلَةٍ إلَّا مع ذِي مَحْرَمٍ عَلَيْهَا
“Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, untuk melakukan perjalanan yang lama perjalanannya sehari dan semalam, kecuali perempuan itu disertai mahramnya.” (HR. Muslim, no. 1339).
Dan kalau kita kembali pada pembahasan puasa, kita pun paham bahwa sebelum Allah menetapkan kewajiban puasa Ramadhan kepada kita, Allah SWT mengawali perintah-Nya itu dengan mengingatkan kita akan keimanan kita :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah : 183).
Rasulullah SAW juga mengingatkan aspek keimanan sebelum menjelaskan hikmah atau keutamaan puasa Ramadhan :
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa (Ramadhan) karena iman dan karena mengharap pahala dari Allah SWT, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Bukhari, no. 2014; Muslim no. 760).
Walhasil, inilah salah satu pelajaran dari sekian banyak pelajaran yang musti kita dapatkan dari puasa Ramadhan kita. Marilah kita dalam mengamalkan suatu hukum Allah, janganlah kita memandang hukum itu hanya sebatas dari yang lahir (empirical) semata-mata, namun juga pandanglah hukum syara’ itu dari perspektif keimanan yang melampaui batas-batas empiris (beyond empirical boundaries). Dengan kata lain, hendaknya ketika kita mengamalkan suatu hukum syara’, sertailah dorongan iman, atau yang diistilahkan dengan kekuatan spiritual (al-quwwah al-rūhiyyah), yaitu suatu dorongan beramal karena Allah (lillāhi ta’ālā), yang jauh lebih tinggi atau kuat levelnya jika dibandingkan dengan kekuatan moral (al-quwwah al-ma’nawiyyah) atau pun kekuatan materi/fisik (al-quwwah al-māddiyyah) semata.
Termasuk juga, marilah kita memandang bahwa perjuangan kita untuk berislam kaffah itu, bukan semata-mata demi mendapatkan kekuasaan Islami semata, atau demi keberhasilan menegakkan Khilafah semata-mata, melainkan hendaklah perjuangan suci itu didasarkan kepada dorongan iman atau kekuatan spiritual (al-quwwah al-rūhiyyah), karena perintah Allah SWT agar kita berislam secara kaffah itu, didahului dengan mengingatkan kita akan keimanan kita :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan (kaffah), dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah : 208). Wallāhu a’lam.
Yogyakarta, 20 April 2024