Ngaji Kitab Nizhamul Islam, Bab “Meneladani Perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”

Kajian ini dimaksudkan untuk memberi pengantar dan sedikit ulasan agar persoalan dalam bab tersebut dapat didudukkan pada posisi yang benar. Maka, kajian ini lebih relevan untuk dibaca oleh kita-kita yang pemula, bukan oleh para “master” atau “para sepuh”.

Kunci untuk memahami materi ini adalah memahami judulnya. Sebagian dari kita menyangka bahwa ini merupakan bab yang bicara tentang kaidah dalam mengamalkan Sunnah Rasulullah saw secara umum. Hal itu tidak sepenuhnya salah, hanya kurang presisi. Namun, justru itu masalahnya, karena menghasilkan pemahaman yang kurang presisi pula.

Bab ini sejatinya tidak bicara soal bagaimana kita mengambil sunnah Rasulullah saw secara umum sebagai petunjuk atau sumber hukum. Sebab, yang dibicarakan di sini hanyalah soal af’al alias perbuatan-perbuatan Rasulullah saw. Artinya, bab ini hanya membicarakan salah satu bagian sunnah Rasulullah saw, yaitu af’al atau perbuatan-perbuatan beliau, tanpa fokus pada elemen sunnah yang lain, yaitu sabda (aqwal) dan persetujuan (iqrar) beliau saw (meski berkaitan). Maka dari itu, bayangkanlah bahwa yang kita bahas dalam bab tersebut adalah “bagaimana kita mengambil hukum dari data gerak-gerik/tindakan/perbuatan badan Rasulullah saw?”. Jadi, bab ini bukan bicara soal mengambil hukum dari teks perkataan beliau (sekalipun konsep af’al dalam sunnah itu kadang berupa ucapan lisan, seperti perbuatan beliau membaca al-Fatihah ketika shalat dan berdzikir setelah shalat, namun dalam konteks ini, bacaan tersebut termasuk af’al).

Bab ini sebenarnya ditujukan agar kita, yang pemula ini, tidak terjatuh pada kesalahan orang-orang yang mengatakan bahwa “meniru semua yang dilakukan oleh Rasul saw itu wajib”, atau “meniru semua yang dilakukan beliau itu hukumnya mandub”, dan seterusnya. Sebab, meneladani Rasulullah saw memang wajib, namun bukan berarti semua hal yang beliau lakukan wajib untuk kita tiru, karena meneladani beliau tidak identik dengan sekedar meniru perbuatan beliau.

Atas dasar itu, gerak-gerik/tindakan/perbuatan Rasulullah saw itu pertama-tama dibagi menjadi dua, yaitu perbuatan yang tergolong jibilliyyah dan yang bukan jibilliyah. Yang jibilliyyah hukumnya mubah bagi beliau dan bagi kita, sedang yang bukan jibilliyyah perlu ditelaah lagi.

Gerak-gerik/tindakan/perbuatan beliau yang bukan termasuk jibilliyah kemudian dibagi menjadi dua, yaitu: yang merupakan kekhususan Kanjeng Nabi saw dan yang bukan termasuk kekhususan beliau. Yang termasuk kekhususan beliau hukumnya hanya berlaku bagi beliau dan tidak berlaku bagi kita. Sedangkan yang bukan termasuk kekhususan beliau perlu ditelaah lagi.

Gerak-gerik/tindakan/perbuatan Rasulullah saw yang bukan merupakan kekhususan beliau itu kemudian juga dibagi menjadi dua, yaitu: pertama, tindakan yang merupakan penjelas, dan kedua, tindakan yang bukan merupakan penjelas.

Terkait dengan tindakan atau perbuatan beliau saw yang merupakan penjelas, kita-kita yang pemula ini kebanyakan lupa bertanya, “penjelas dari apa sih?”. Nah, yang dimaksud di sini sebenarnya adalah tindakan atau perbuatan badan beliau menjadi penjelas dari sabda beliau atau ayat al-Qur’an. Maka, dalam kitab lain, Syaikh Taqiyyuddin menggunakan ungkapan yang lebih lengkap, yaitu perbuatan yang menjadi bayan li-khithabin sabiq (penjelas bagi khithab yang ada sebelumnya) baik berupa ayat Al-Qur’an ataupun sabda beliau. Dengan kata lain, gerak-gerik atau tindakan Rasulullah saw yang masuk dalam kategori ini bisa dikatakan merupakan bentuk implementasi atau contoh pelaksanaan dari ayat atau sabda beliau. Dengan demikian, perbuatan atau tindakan beliau dalam konteks ini menjadi penjelas bagi kita. Dari mana kita dapat mengetahui bahwa suatu perbuatan itu memiliki kaitan dengan ayat al-Qur’an atau sabda Rasulullah saw, maka itu bisa melalui penjelasan Rasulullah saw secara lisan (seperti ketika beliau memperagakan gerakan-gerakan tertentu, beliau mengatakan, “shalatlah seperti kalian melihat aku shalat” menunjukkan bahwa gerakan-gerakan tersebut merupakan penjelas dari ayat dan hadits yang memerintahkan shalat), atau memalui indikasi yang tampak pada konteks peristiwa (qarinatul hal) yang menunjukkan hubungan kuat antara suatu perbuatan dengan nash tertentu (seperti tindakan beliau memotong tangan pencuri yang -dari konteks peristiwanya- dapat diketahui kaitannya dengan surat al-Maidah ayat 38).

Adapun hukum dari perbuatan yang beliau lakukan dalam konteks penjelas ini adalah mengikuti hukum dari persoalan yang beliau jelaskan. Ketika beliau bergerak dan bersuara untuk memperagakan gerakan shalat, maka ia merupakan perkara yang wajib, akrena shalat itu hukumnya wajib (Hal ini lepas dari persoalan rincian bahwa di dalam shalat itu ada cabang-cabang yang hukumnya sunnah). Jika beliau sedang memperagakan hal yang sunnah, maka perbuatan itu merupakan perbuatan yang sunnah, dst. Dalam kitab yang lain, beliau secara panjang lebar menjelaskan berbagai jalan yang menunjukkan “arah” dari perbuatan-perbuatan beliau yang tergolong penjelas khithab semacam itu, apakah menuju hukum wajib, sunnah atau mubah.

Sedangkankan perbuatan yang tidak ditemukan kaitannya dengan khithab sebelumnya baik ayat maupun hadits, (yang juga perbuatan yang bukan jibilliyyah, bukan kekhususan Rasul, maka hanya memiliki dua kemungkinan.

Kemungkinan pertama: perbuatan itu tampak mengandung maksud yang mendekatkan diri kepada Allah, maka hukumnya sunnah. Sekalipun perbuatan itu tidak berkaitan dengan ayat maupun hadits apapun yang menunjukkan bahwa ia merupakan ibadah, namun tampaknya maksud untuk mendekatkan diri kepada Allah menunjukkan bahwa perbuatan itu hukumnya sunnah.

Saya pribadi belum mendapat pencerahan dari “para sepuh” tentang contoh perbuatan seperti ini, yaitu ibadah yang tak berkaitan dgn khithab baik dari hadits atau ayat al-Qur’an, selain apa yang dikabarkan dalam hadits ini:

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Apabila Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah shalat dua rakaat (sebelum) Shubuh, beliau berbaring di atas sisi tubuhnya yang kanan.” (HR. Bukhari)

Dari hadits ini, sebagian ulama menganggap sunnah berbaring seperti itu setelah menunaikan qabliyyah subuh, karena para ulama tersebut melihat bahwa dalam perbuatan tersebut ada maksud untuk mendekatkan diri kepada Allah (qashdul qurbah).

Kemungkinan kedua: perbuatan itu tidak menunjukkan adanya niatan untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka hukumnya mubah. Perbuatan jenis ini sejatinya sangat banyak. Namun, saya ingin menggunakan lagi hadits yang sebelumnya. Sebagian ulama menganggap perbuatan Rasulullah saw berbaring dengan sisi kanan setelah shalat qabliyyah subuh itu hanyalah mubah, karena mereka tidak melihat adanya indikasi bahwa tindakan tersebut digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Jadi, dalam hal ini ada khilaf, dan ini menjadi contoh yang menarik bagi tema kita kali ini.

Terakhir, barang kali di antara kita ada yang bertanya-tanya, kenapa perbuatan Rasulullah sw yang bukan jibilliyah, bukan kekhususan, dan tak berkaitan dengan khithab yang lain hanya ada dua kemungkinan, sunnah (jika tampak adanya qashdul qurbah) dan mubah (jika tak tampak ada qashdul qurbah)? Jawabnya: (wallahu a’lam), karena perbuatan yang wajib tidak akan sekedar dipraktekkan tanpa adanya keterangan berupa indikasi jazm. Dikatakan oleh Syaikh Taqiyyuddin dalam kitab yang lain bahwa status perbuatan Rasulullah saw itu setara dengan thalab (tuntutan). Tuntutan itu bisa menuju ke arah wajib, sunnah maupun mubah. Yang mengarahkan ke salah satu dari ketiganya adalah qarinah (indikasi).

Jika sebuah perbuatan tampak mengandung maksud untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka pastilah ia lebih dirorong untuk dilaksanakan daripada ditinggalkan. Namun, tidak adanya indikasi berupa ancaman hukuman bagi yang tidak meniru perbuatan itu, baik dari sunnah maupun al-Qur’an, menunjukkan bahwa perbuatan itu hukumnya sunnah.

Adapun jika dalam suatu perbuatan itu tidak ada maksud untuk mendekatkan diri kepada Allah, maka kenyataan bahwa Rasulullah saw melakukannya menunjukkan adanya thalab (yang bisa mubah, sunnah atau wajib). Adapun tidak adanya maksud untuk mendekatkan diri kepada Allah menunjukkan tidak adanya keutamaan untuk melaksanakannya (tak ada tarjih untuk melaksanakan). Ini menunjukkan bahwa di sana adapemberian pilihan (takhyir) untuk mengerjakan maupun tidak. Sehingga perbuatan tersebut hukumnya mubah.

Wallahu a’lam bish shawab.

 

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi