Keshalihan Anak, Karakter Muslim yang Harus Ditanamkan oleh Orang Tua Sejak Dini

Oleh. Afiyah Rasyad

Pernikahan bukan semata untuk menghalalkan hubungan jinsiyah antara laki-laki dan perempuan. Namun, harapan untuk memiliki anak menjadi salah satu tujuan pernikahan. Melestarikan keturunan adalah hal yang manusiawi, fitrah yang memang dianugerahkan pada manusia oleh Allah SWT. Ghorizah nau’ atau naluri melestarikan jenis sudah menjadi bekal bagi tiap insan yang terlahir ke dunia ini.

Kehadiran anak dalam pernikahan banyak diidamkan tiap pasangan. Walau saat ini banyak kegilaan yang menimpa pasutri dengan memilih child free misal. Ada juga yang tak berkomitmen menikah lantas mengasuh spirit doll, ini lebih gila lagi. Fitrah manusia tak bisa dikebiri begitu saja. Kecintaan akan anak sudah tersemat pada setiap manusia. Namun, seorang Muslim tentu memilih untuk memiliki keturunan, bahkan ada yang berharap dalam jumlah banyak.

Bagi kaum Muslim, ikatan suci pernikahan bukan hanya sekadar pengikat cinta kasih antara dua insan, tapi juga akan menjadi amal shalih. Pernikahan yang dilakukan berdasarkan dorongan keimanan akan membentuk keluarga asmara. Keluarga asmara adlaah keluarga penuh cinta kasih yang harmonis, diliputi ketenangan dan ketentraman, serta bersandar pada Allah. As-sakinah mawaddah warahmah (asmara) akan terwujud dalam beragam kisah suami-istri. Sehingga, world of marriage bernilai pahala bagi sesiapa yang menghadirkan ruh dalam pernikahannya, ruh dalam arti idrok shillah billah, yakni kesadaran hubungannya dengan Allah. Bahwa pernikahan yang dibangun senantiasa diawasi oleh Allah dan kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya.

Begitu pula dengan memilih untuk memiliki anak, anak banyak bahkan. Semua mengandung konsekuensi. Hadlonah, pendidikan, kesehatan, dan segala pernak-pernik pembentukan anak shalih dalam tumbuh kembang fisik dan akalnya akan dipertanggungjawabkan juga kelak di keabadian. Lelahnya seorang ibu dan ayah dalam mengasuh dan mendidik anak, termasuk segenap biaya yang keluar adalah investasi untuk di akhirat. Membentuk karakter Muslim, yakni anak shalih bagi tiap orang tua ataupun calon orang tua tentulah perlu persiapan. Maka dari itu, segala persiapan tersebut wajib dikaji dan disiapkan dengan sungguh-sungguh.

Kehidupan Keluarga Asmara dengan Kehadiran Anak

Syahdan, hedonisme telah memorak-porandakan dan mencabut fitrah manusia, termasuk naluri nau’. Kebanyakan kaum Muslim saat ini terjejali dengan pola pikir liar hedonisme. Ukuran kesenangan dan kebahagiaannya adalah banyaknya materi dan kepuasan jasadi. Hampir-hampir tak ada ruang untuk membasuh diri dengan luhurnya nilai ruhiyyah. Pandangan akan kebahagiaan pun sangat semu, bukan lagi keberlimpahan barokah dan pahala, tapi kepuasan pribadi, termasuk dalam pernikahan. Sehingga, hadirnya buah hati tak jarang dianggap sebagai beban dan penggangu kebahagiaan pernikahan.

Pasutri yang menikah karena dorongan keimanan dan bertujuan mendapat ridho Allah akan bergembira dengan kehadiran anak. Keluarga asmara yang mengalir di dalamnya keharmonisan, ketenangan, ketentraman, dan keutuhan visi misi rumah tangga justru akan lebih serius dalam menjalani hiruk-pikuk rumah tangga ketika mendapat anugerah anak. Keluarga asmara akan badilan juhdi (berupaya dengan sungguh-sungguh) dalam mendidik anak, berbagi kebahagiaan dengan pasangan dan anak-anak. Keyakinan pada Allah tentu 100%, meyakini Allah SWT. akan mengaruniakan rezeki halal, barokah, dan berlimpah untuk keluarga.

Kehidupan keluarga asmara akan terus berjalan dengan dorongan keimanan. Hadirnya anak shalih dalam keluarga asmara dipandang sebagai penyejuk hati, investasi pahala, dan kebanggaan Rasulullah Saw. Anak akan dirawat, dipelihara, dididik, diasuh, dan dijaga dengan sangat hati-hati agar tak luka fisik, akal, dan jiwanya. Keluarga asmara akan sangat bersuka cita dengan ramainya rumah karena celoteh anak-anak. Anak menjadi magnet kebahagiaan dalam merawat keharmonisan dan kemesraan keluarga asmara.

Betapa tidak, lucunya bayi, lucunya pola tingkah anak akan menjadi penawar kesedihan bagi pasutri Muslim yang membina keluarga asmara. Aroma bayi di pagi hari saat bangun tidur menjadi kenikmatan tersendiri bagi seorang ibu ataupun ayah. Rengekan dan manjanya akan menjadi salah satu sumber kerinduan bagi orang tua dalam mendidik dan mengasuh anak-anaknya. Keluarga asmara tak akan menjadikan pendidikan anak hanya seperti mengantar pakaian kotor ke tukang laundry, tapi keluarga asmara akan hadir dalam hadlonah (pengasuhan) dengan full hadir di hadapan anak (fisik dan jiwanya). Begitulah kehidupan keluarga asmara dengan hadirnya anak.

Saat Upaya Membentuk Karakter Anak Shalih Tak Sesuai Harapan

Sukses dan gagal adalah hal lazim dalam kehidupan, begitupun dengan membentuk karakter anak. Namun, kegagalan dalam membentuk karakter anak shalih akan menjadi petaka tak berkesudahan. Sebab, sangat besar peluang saat anak tumbuh dengan karakter tidak shalih, orang tua akan terjerumus dalam neraka. Alih-alih pahala jariyah, justru bisa-bisa saat gagal membentuk karakter anak sholih, maka neraka siap dengan api menyala.

Pembentukan karakter anak sholih bisa terjadi tak sesuai harapan dengan benerapa kondisi:
1. Lingkungan tidak kondusif
Sebagai orang tua yang menginginkan anak shalih, tentu tak akan menjerumuskan anak ke dalam lingkungan tidak shalih. Namun faktanya, banyak sekali orang tua yang sadar ataupun terpaksa membiarkan anak tumbuh fisik, akal, dan jiwanya di lingkungan tak kondusif. Misal, anak disekolahkan di sekolah yang tak peduli aturan Islam. Terkadang banyak anak dititipkan di day care karena kesibukan orang tua. Ada pula anak yang dibebaskan bermain dengan siapa saja, tidak selektif memilih teman, dan lainnya. Walhasil jangankan arahan keshalihan yang didapat anak, justru anak bereksplorasi sesuai ma’lumah yang dia peroleh dari lingkungan tersebut.

Banyak orang tua yang membiarkan anak berjuang untuk menjadi shalih. Sementara sistem kapitalisme terus menggerus alur berpikir dengan serangan budaya yang tiada henti. Sedikit sekali lingkungan yang kondusif. Tentu sangat berat bagi anak jika orang tua menginginkannya memiliki karakter anak shalih, sementara ia dibiarkan berjuang sendirian di lingkungan yang tidak kondusif tanpa arahan dan pendampingan full 100%. Niscaya, harapan membentuk karakter anak shalih sebatas angan belaka.

2. Tak ada keteladanan
Keteladanan orang tua shalih tentulah menjadi kunci untuk pembentukan karakter anak sholih. Anak, sejak bayi, bahkan dalam kandungan mengindra apa-apa yang dilakukan orang tuanya. Contoh dan ma’lumah yang baik dari aktivitas orang tua akan dikopi oleh anak dengan sedemikian rinci. Apalagi jika anak sehari-harinya lebih banyak dengan pengasuh, maka keteladanan dan kasih sayang orang tua berkurang. Parahnya, jika pengasuh yang disewa tak paham pendidikan katakter anak shalih, maka anak akan tumbuh tak sesuai harapan.

Jika ternyata orang tua telah berupaya mendidik dan mengasuh anak dengan segala persiapan seoptimal mungkin, namun karakter anak shalih jauh dari harapan, maka orang tua harus muhasabah atau intropeksi diri. Mungkin saja ada missing link saat memberi ma’lumah sabiqoh (informasi terdahulu). Jika benar, maka orang tua harus segera komunikasikan dengan anak bagaimana konsekuensi keimanan itu harus melekat dalam setiap aktivitas sehingga ia kembali menjadi anak shalih. Sementara jika anak berubah ketika sudah baligh, lalu dia memiliki pandangan lain dari apa yang diharapkan orang tua, maka membangun bounding, komunikasi dengan anak, dan melangitkan doa harus terus dilakukan agar anak kembali ke jalan yang lurus.

Benar, keshalihan dan iman tak dapat diwarisi dari orang tua yang bertaqwa, namun ikhtiar dan doa untuk membentuk dan menanamkan karakter Muslim dengan menjadikan anak shalih harus tetap diupayakan. Nasihat, amar ma’ruf, nahi munkar juga sangat perlu dilakukan agar anak terhindar dari perbuatan maksiat, terlebih saat dia sudah terkena taklif hukum.

Itulah beberapa faktor yang bisa membuat harapan membentuk anak shalih tak sesuai kenyataan. Maka, orang tua harus bersinergi dalam mendidik anak dengan pasangan, lingkungan keluarga besar, dan sekolah agar sejalan dalam menanamkan karakter Muslim pada anak.

Persiapan Para Orang Tua dan Calon Orang Tua untuk Membangun Krakater Keshalihan Anak

Saat ditanya, sebagaian besar orang tua ingin anaknya menjadi anak-anak yang shalih. Sayang seribu sayang, terkadang keinginan dan harapan itu kandas sebelum anak akil baligh. Sebab, di antara orang tua Muslim masih banyak yang terkungkung oleh pandangan kebahagiaan ala kapitalisme. Di mana memandang anak itu sebagai beban finansial yang kelak dari mereka harus balik bandar. Ada pula pandangan terkait tumbuh kembang anak adalah tercukupinya materi tanpa peduli gersangnya perhatian, kasih sayang, dan miskin pengasuhan. Sehingga, katakter keshalihan anak yang diimpikan hanya sebatas angan.

Harapan akan memiliki anak shalih adalah harapan paling asasi atau mendasar. Apalagi di sistem yang ada daat ini, anak sholih akan menjadi perhiasan yang sangat berharga. Tentunya sebagai Muslim, mendidik dan membangun karakter anak menjadi sholih semata diniatkan ibadah kepada Allah agar bisa berbuah pahala. Membentuk dan menenamkan keshalihan anak sebagai karakter Muslim perlu ditanamkan sejak dini dan perlu persiapan atau bekal. Hal ini harus diperhatikan betul oleh para orang tua dan calon orang tua. Persiapan tersebut antara lain:

1. Niat ikhlas karena Allah
Kemurnian niat dari tiap orang tua sangat diperlukan dalam mendidik dan membentuk karakter anak shalih. Niat yang lurus karena Allah akan menuntun orang tua mendidik anak sesuai koridor Islam agar bermuara pada ridho Allah Ta’ala. Jangan sampai niat mendidik anak hanya coba-coba atau mendidik sambil lalu. Niat secara bahasa artinya adalah al qashdu (maksud) dan al iraadah (keinginan) atau dengan kata lain qashdul quluub wa iraadatuhu (maksud dan keinginan hati). Tempatnya niat adalah di hati seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,

وَالنِّيَّةُ مَحَلُّهَا الْقَلْبُ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاءِ ؛ فَإِنْ نَوَى بِقَلْبِهِ وَلَمْ يَتَكَلَّمْ بِلِسَانِهِ أَجْزَأَتْهُ النِّيَّةُ بِاتِّفَاقِهِمْ

“Niat itu letaknya di hati berdasarkan kesepakatan ulama. Jika seseorang berniat di hatinya tanpa ia lafazhkan dengan lisannya, maka niatnya sudah dianggap sah berdasarkan kesepakatan para ulama.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 18:262)

Maka, walau niat itu tak terucap, hendaklah dimurnikan niat mendidik anak shalih semata untuk beribadah pada Allah. Sebab, sejatinya kehidupan pernikahan adalah ibadah paling lama, termasuk di dalamnya urusan pendidikan dan pengasuhan anak. Jangan sampai mendidik anak salah niat sehingga menabung dosa jariyah, naudzubillahi min dzalik.

2. Tsaqofah Islam tentang Hadlonah
Tiap orang tua Muslim wajib memahami tsaqofah Islam, termasuk tentang kepengasuhan atau hadlonah. Hadlonah hukumnya wajib bagi tiap orang tua dalam membentuk karakter anak shalih. Hadlonah tak hanya menjaga dan memfasilitasi anak dalam penjagaan tumbuh kembang fisiknya, namun juga menjaga tumbuh kembang akalnya dari bahaya ide kufur yang merebak, terutama dalam sistem kapitalisme ini.

Dengan bekal tsaqofah Islam tentang hadlonah, orang tua tidak akan sembarangan menyuguhkan pola pendidikan serampangan. Keteladanan orang tua yang kaya tsaqofah Islam akan senantiasa hadir di hadapan anak. Orang tua akan betul-betul memperhatikan hakikat berpikir anak, perkembangan akal sesuai level usianya, pola pikir dan pola sikap anak. Para orang tua akan mendidik dan mengaush anak untuk menjadi anak shalih dengan polesan akidah Islam saja. Sehingga, anak mampu menjadikan akidah Islam sebagai landasan (qoidah berpikir) dan meletakkan ideologi Islam sebagai kepemimpinan (qiyadah) berpikir anak. Jika hal itu berhasil ditanamkan dalam proses hadlonah pada anak, maka karakter kesholihan anak akan terpancar dari caranya menyelesaikan persoalan dengan sudut pandang Islam saja. Hal ini tentu perlu pembiasaan sejak dini agar menjadi habbits anak.

Maka, bekal tsaqofah Islam tentang hadlonah bukanlah khazanah pendidikan dan pengasuhan semata. Namun, ada konsekuensi keimanan untuk membetuk karakter utama anak Muslim, yakni anak shalih yang berkepribadian (bersyakhsiyah) Islam. Tidak bisa tidak, orang tua dan calon orang tua wajib memiliki bekal ini, apalagi mengkaji Islam sampai liang lahat memanglah sebuah kewajiban atas tiap Muslim, tak terkecuali para orang tua dan calon orang tua.

3. Nafkah yang Halal lagi Barokah
Tiap orang tua, terutama ayah yang menghendaki anak shalih akan bersungguh-sungguh dalam mencari nafkah. Tentu bukan sembarang nafkah, tapi ayah akan menunaikan kewajibannya dengan landasan keimanan mencari nafkah yang halal lagi barokah. Bagaimana katakter kesholihan anak akan muncul jika anak dijejali dengan makanan dari nafkah subhat atau haram. Bagaimana kesholihan anak akan tercipta jika fasilitas pendidikannya tidak diberkahi Allah.

Nafkah yang halal dan barokah memang perlu disiapkan terus menerus untuk mendukung pembentukan karakter anak sholih. Tak dimungkiri, kesehatan anak tetap harus dijaga dengan biaya tak sedikit, apalagi di sistem saat ini. Bagaimana anak sholih bisa terbentuk jika anak sakit-sakitan. Keberadaan nafkah memang tak sekrusial niat dan tsaqofah, namun jika orang tua tak memenuhi nafkah anak dengan benar sesuai tuntunan syariat, maka mudhorot akan mengancam tumbuh kembang fisik dan akal anak. Jika nafkah yang diberikan dari harta haram, tak menutup kemungkinan anak menjadi bebal, sulit berpikir mendalam, apalagi cemerlang, tidak patuh, dan lainnya.

4. Do’a
Senjata paling ampuh adalah dengan mengetuk pintu langit dalam bait-bait doa. Sebuah harapan dan impian akan anak sholih jika hanya dengan ikhtiar tanpa doa, maka kesombongan bergelayut di sana. Doa adalah inti ibadah sebagaimana sabda Baginda Nabi Saw. yang Masyhur. Selendang harapan tiap muslim akan sebuah keadaan atau satu hal, termasuk harapan mendidik dan membentuk anak shalih adalah dengan samudera doa. Dengan bekal doa, tiap orang tua dan calon orang tua bisa leluasa meminta secara terus menerus pada Allah untuk memudahkan dalam mendidik anak shalih bersyakhsiyah Islam. Orang tua juga bisa meminta pada Sang Mahakuasa anak yang qurrota a’yun, calon pemimpin orang bertaqwa, uyunul ummah, berjiwa pejuang, dan kebaikan lainnya.

Demikianlah bekal untuk membentuk dan menanamkan keshalihan anak sejak dini, bisa saja ada hal lain yang perlu dipersiapkan. Maka, sebagai orang tua Muslim harus terus belajar dalam rangka ibadah pada Allah. Apalagi untuk membetuk, menanamkan, dan merawat keshalihan anak, maka orang tua harus istiqomah dalam berpegang teguh pada syariat Islam.

Tulisan ini adalah materi kuliah online
Di WAG Uniol 4.0 Diponorogo
Diasuh oleh. Pak Prof. Suteki

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi