Sistem Keadilan Islam, Solusi Pemerkosaan Sesama Jenis

Oleh. Hesti Nur Laili, S.Psi.
(Pemerhati Generasi)

Kasus pemerkosaan maupun pelecehan seksual di tengah masyarakat bersistem sekularisme kian hari kian meningkat. Bahkan, tak hanya menyasar kaum perempuan saja, kaum sesama jenis hingga anak-anak pun menjadi sasaran empuk manusia-manusia berhati iblis tersebut.

Penjagaan terhadap anak-anak kini tak hanya berfokus terhadap anak perempuan saja, bahkan anak laki-laki juga berpeluang tinggi mendapatkan ancaman pemerkosaan sesama jenis dari predator anak-anak tersebut. Q1Seperti pada kasus baru-baru ini, seorang anak lelaki berusia 14 tahun di Kota Pekanbaru mengalami pemerkosaan oleh 4 pria dewasa secara bersamaan hingga 20 kali. Berdasarkan laporan yang disampaikan pihak kepolisian pada Kamis, 24 April 2023 lalu, tindakan kriminal pada anak di bawah umur tersebut ternyata sudah dilakukan oleh para pelaku sejak September tahun 2020 silam (Jpnn.com 27/4/2023).

Masih di wilayah Provinsi Riau, kasus serupa juga terjadi di Indragiri Hulu. Seorang bocah berusia 10 tahun menjadi korban sodomi seorang pria terungkap ke publik pada Jumat, 6 Januari 2023. Dikutip dari Antara, pelaku predator anak-anak tersebut tak hanya menyodomi seorang bocah berusia 10 tahun, tetapi juga 9 anak lain yang usianya di bawah umur di sekitar rumah pelaku (Liputan6.com, 5/1/2023).

Berbagai kasus serupa, tindakan kriminal yang dilakukan pihak-pihak yang memiliki kelainan seksual, yakni menyukai sesama jenis, melakukan pemerkosaan pada anak di bawah umur yang kian hari kian meningkat angka kasusnya. Tak hanya di wilayah Riau, kejadian serupa hampir terjadi di seluruh penjuru Indonesia, bahkan dunia.

Seperti yang viral sebelumnya, pada tahun yang sama, pada 20 Januari silam, pasangan g4y sekaligus aktivis L68TQ di Georgia, Amerika Serikat, didakwa pengadilan setempat karena telah memperkosa 2 anak laki-laki berumur 9 dan 11 tahun yang mereka adopsi. Pemerkosaan tersebut tak hanya disertai kekerasan fisik, tetapi juga merekam adegan tak senonoh itu (Liputan6.com, 20/1/2023).

Padahal, hukum bagi para pelaku tindakan kriminal tersebut telah dilaporkan ke polisi dan dalam proses hukum. Akan tetapi, mengapa kasus serupa terus terjadi dan ada?

Menjadi sebuah pertanyaan besar, mengapa hukuman-hukuman yang diberikan kepada pelaku kejahatan pemerkosaan sesama jenis seolah tidak membuat para pelaku jera dan bahkan semakin menjadi dan bertambah angka kasusnya?

Semua tidak lebih karena hukum yang ditegakkan tidak adil dan bahkan bisa dibeli oleh siapa pun. Belum lagi dalih HAM yang membuat sebuah hukum di sistem sekularisme ini seolah menjadi penghalang para pelaku kejahatan tingkat tinggi untuk mendapatkan hukuman mati.

Seperti yang terjadi pada salah seorang artis tanah air berinisial SJ yang divonis 8 tahun penjara akibat melakukan pemerkosaan sesama jenis. Pedangdut itu pun bebas pada 2 Agustus 2021 lalu setelah mendapatkan potongan masa tahanan dan remisi menjadi 5 tahun saja (bbc.com 8/9/2021).

Sama halnya dengan SJ, begitu pun kasus serupa lainnya. Tak ada tindak lanjut pada kasus-kasus yang telah merugikan masa depan seorang anak akibat penyodomian yang dialaminya kecuali hanya sebatas hukuman penjara saja. Hukuman yang paling berat dialami pelaku adalah vonis penjara seumur hidup.

Seperti yang didapatkan oleh salah seorang WNI bernama Reynhard Sinaga, yakni penjara seumur hidup oleh Pengadilan Manchester, Inggris, pada Januari 2020 setelah dinyatakan bersalah dalam 159 kasus perkosaan dan serangan seksual terhadap 48 korban pria, selama rentang waktu 2,5 tahun dari 1 Januari 2015 sampai 2 Juni 2017 (bbc.com, 4/10/2021).

Lemahnya sebuah hukum dalam memberikan hukuman, tentu tidak akan menjadikan efek jera bagi pelaku maupun calon-calon pelaku lain yang memilikj penyimpangan seksual lainnya. Apalagi jika pelaku memiliki latar belakang ekonomi dan sosial yang tinggi, maka hukuman yang diterima masih bisa dinegosiasikan agar sama-sama enak baik dari pihak pelaku maupun dari pihak pengemban hukum. Namun, jelas tidak adil bagi korban yang pastinya akibat dari musibah pemerkosaan tersebut, beban mental dan traumatis tak akan mudah hilang begitu saja dari ingatan sampai korban wafat.

Sadar atau tidak, itulah potret hukum dalam sistem sekularisme yang penuh dengan ketimpangan. Jangankan efek jera yang bisa didapat bagi pelaku, bahkan penyakit penyimpangan seksual kian hari kian bertambah angkanya akibat dari minimnya atau bahkan tidak adanya tindak lanjut hukum dalam menghentikan penyimpangan seksual ini dengan dalih Hak Asasi Manusia (HAM).

Padahal, bibit-bibit penyimpangan seksual inilah yang menjadikan manusia gelap mata demi menyalurkan hasrat seksualnya hingga melakukan berbagai cara, termasuk melakukan pemerkosaan bahkan kepada anak di bawah umur, demi agar hasratnya cepat tersalur.

Seperti yang diceritakan oleh salah seorang dokter spesialis penyakit kulit dan kelamin, dr. Dewi Inong Irana, spKK yang dalam beberapa wawancara di kanal YouTube, menceritakan bagaimana salah seorang pasiennya yang tak tahan menahan hasrat seksual kepada sesama jenisnya, pasien tersebut akhirnya melakukan pemerkosaan kepada seorang pemulung di pinggir jalan (YouTube.com).

Maka, sudah saatnya umat sadar bahwa hukum dalam sistem pemerintahan sekuler sudah tidak lagi layak dipertahankan. Karena nyatanya baik kejahatan pemerkosaan sesama jenis, maupun kejahatan lainnya tidak dapat ditangani dengan baik. Banyak kelemahan dari segala sisi, termasuk dari aspek keadilan itu sendiri. Seperti dipotongnya masa tahanan bagi pelaku korupsi, vonis bebas bagi pelaku pembunuhan berencana yang dilakukan oleh aparat kepada 6 anggota laskar eFPe1, dan berbagai kasus lain yang begitu timpang.

Sedangkan bagi masyarakat biasa yang lemah secara ekonomi, maupun pihak-pihak yang berseberangan dengan rezim, hukum begitu ketat ditegakkan. Bahkan tak segan hukuman mati atau penjara bertahun-tahun didapat oleh pelaku dengan kejahatan ringan seperti mencuri kayu bakar atau sekedar melakukan kritikan pedas kepada penguasa.

Berbeda dengan hukum yang diterapkan dalam sistem pemerintahan Islam. Hukum yang diterapkan murni merupakan wahyu dari Allah yang diturunkan kepada Rasulullah shalallahu alaihi wasallam yang begitu tegas dan adil tanpa pandang bulu.

Kasus pemerkosaan sendiri pernah terjadi pada zaman Rasulullah hidup. Dalam menentukan sebuah hukuman, pelaku pemerkosaan terbagi menjadi dua. Yakni pelaku yang belum pernah menikah dan pelaku yang sudah pernah menikah. Bagi pelaku yang belum pernah menikah, hukuman yang didapatkan berupa hukuman cambuk 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Sementara bagi korban pemerkosaan tidak mendapatkan hukuman apa pun selain jika keduanya berzina dengan suka rela.

Adapun bagi pelaku pemerkosaan yang pernah menikah akan mendapatkan hukuman rajam alias mengubur pelakunya hingga leher dan hanya menyisakan kepalanya, lalu melemparinya dengan batu sampai pelakunya mati. Hukuman rajam sendiri selama masa pemerintahan Rasulullah, hanya dijatuhkan pada 6 pelaku saja, karena selain melakukan perzinaan, ada yang melakukan pemerkosaan. Mereka adalah Al-Ghamidiyah, Maiz, majikan buruh, dua orang Yahudi, dan Azh-Zhahir. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abduljabbar bin Wa’il dari ayahnya, yang mengatakan, “Bahwa beliau (Nabi) memerintahkan untuk merajam pelaku pemerkosaan.”

Jika pemerkosa disertai dengan kekerasan dan juga perampasan harta, maka hukuman yang dijatuhkan akan ditambah dengan hukuman yang lebih kejam lagi. Beberapa ulama berpendapat, tambahan hukuman bagi pemerkosa yang menyiksa atau merampas harta sesuai dengan Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 33. Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya, hukuman terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, adalah mereka dibunuh atau disalib, dipotong tangan dan kaki mereka dengan bersilang, atau dibuang (keluar daerah). Yang demikian itu, (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka mendapat siksaan yang besar.”

Penjabaran hukuman di atas adalah hukuman bagi pelaku pemerkosaan seorang pria pada wanita. Sedangkan jika dalam kasus pemerkosaan sesama jenis, tentu hukuman yang didapat oleh pelaku tidak lagi terbagi menjadi dua antara yang belum pernah menikah maupun yang sudah pernah menikah. Karena hubungan sesama jenis, baik pada kasus pemerkosaan sesama jenis maupun perzinaan sesama jenis di dalam Islam dianggap sebagai perbuatan menjijikan, sangat keji, bahkan rendah melebihi perilaku hewan.

Untuk itu, dalam menentukan hukuman bagi pelaku perzinaan sesama jenis maupun pelaku pemerkosaan sesama jenis menurut Imam Malik dan Imam Ahmad ibn Hanbal, sanksi yang didapatkan bagi pelaku perzinaan sesama jenis maupun pemerkosaan sesama jenis adalah dibunuh, baik yang mengerjai maupun yang dikerjai dengan alasan hadits riwayat Imam Lima (Imam Abu Daud, Tirmidzi, Ahmad, Ibnu Majah, Nasai).

“Bila kalian menemukan seseorang mengerjakan pekerjaan kaum Luth (homoseks), maka bunuhlah yang mengerjai dan dikerjai.” (HR. Abu Daud, Nasai, dan Ibn Majah)

Perilaku penyimpangan seksual sendiri sudah ada sejak zaman Nabi Luth ‘alaihissalam, dan Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wasallam juga memperingatkan kaumnya tentang bahayanya perbuatan ini. Bahkan dalam sabdanya, Rasulullah mengatakan bahwa umatnya akan mendapatkan kebinasaan jika menghalalkan 5 hal, yakni: “Sikap saling melaknat, meminum khamr, lelaki memakai sutra, banyaknya penyanyi (wanita), serta kaum lelaki merasa puas dengan lelaki dan kaum wanita merasa puas dengan wanita (merebaknya homoseksual dan lesbian).” (HR. Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 5086)

Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa hukuman yang diberikan dalam sistem pemerintahan Islam yang sesuai dengan syariat Islam, tentu dapat memberikan efek jera bagi calon-calon pelaku yang hendak melakukan perbuatan kejinya. Sementara bagi korban, tentu hukuman tersebut menjadi salah satu kepuasan tersendiri karena bersifat adil. Selain berupaya fokus untuk menyembuhkan traumatis akibat musibah yang dialami, korban juga tidak akan lagi melihat wajah pelaku karena tidak lenyap dari dunia ini.

Sekilas memang hukuman yang diberikan oleh Allah melalui syariat Islam tampak sangat kejam dan tak berperikemanusiaan. Akan tetapi, ketegasan hukuman tersebut memberikan hasil dengan minimalnya angka pelaku yang melakukan perbuatan tersebut. Manusia akan berpikir puluhan bahkan ribuan kali lipat untuk melakukan tindak kejahatan, karena takut akan hukuman yang akan diterimanya. Itulah keadilan Allah yang tertuang dalam Al-Qur’an dan sunnah rasulNya demi kemaslahatan umat manusia.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi