Politik Utang


Oleh Yuliati Sugiono

Hiroshima dan Nagasaki hancur karena bom. Warteg hancur karena bon. Bom merusak secara fisik, kalau bon merusak psikis dan fisik. Berarti lebih parah bon daripada bom. Apalagi yang tukang ngebon ini bukan sekelas warteg tapi negara. Tentu seluruh rakyatnya merasakan sengsara.

Sri Lanka diberitakan sebagai negara bangkrut atau default karena sudah tidak bisa membayar utang-utangnya kepada IMF ( International Monetary Fund). Utang sebesar 51 milyar dollar AS atau jika dirupiahkan sama dengan Rp 731 triliun itu telah menyedot cadangan devisa Sri Lanka (Kompas.com, 12/7/2022).

Para pejabat Sri Lanka satu persatu mengundurkan diri dari pemerintahan Gotapaya Rajapaksa. Rakyatnya melakukan protes masal karena banyaknya pengangguran, kelaparan, melonjaknya harga dan pemadaman listrik.

Negara itu kini tengah bernegosiasi dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk program pinjaman baru agar negara itu bisa keluar dari krisis ekonomi.

Jebakan Utang

Penjajahan ekonomi adalah desain baru Kapitalisme untuk menjajah dunia Islam pasca Perang Dunia ke-2. Tonggak sejarah globalisasi ditancapkan tahun 1944, saat negeri-negeri muslim menjadi negara bekas jajahan Barat. Pada waktu itu dilaksanakan pertemuan di Bretton Woods, Amerika Serikat. Pertemuan ini dihadiri oleh negara-negara sekutu pemenang PD II yaitu Amerika Serikat, Inggris dan Perancis.

Dalam pertemuan ini telah disepakati adanya keputusan-keputusan penting yaitu:

Pertama, pemberlakuan mata uang dollar AS sebagai mata uang internasional, penghapusan mata uang dinar dan dirham (emas dan perak) yang dikeluarkan kekhilafahan Turki Utsmani.

Kedua, pembentukan IMF sebagai lembaga penjaga stabilitas moneter Internasional.

Ketiga, pembentukan World Bank ( Bank Dunia) untuk memberi utang pada negara-negara bekas jajahan.

Keempat, pembentukan GATT (General Agreement on Tarif and Trade) untuk mengatur lalu lintas perdagangan internasional. Tahun 1995 berubah menjadi WTO (World Trade Organization) Organisasi Perdagangan Dunia.

Selama ini negara-negara besar memberikan pinjaman dengan berbagai persyaratan, salah satu diantaranya adalah pasar bebas atau liberalisasi ekonomi.

Negara-negara kecil atau berkembang membuka negaranya bagi perusahaan multinasional dan transnasional, sebagai pangsa pasar, disamping pinjaman riba itu sendiri. Dengan dalih pembangunan negara pasca kemerdekaan, negara-negara kecil termasuk dunia Islam terjebak dengan resep ekonomi hasil kesepakatan Bretton Woods.

Sikap Kita

Islam sebagai agama yang sempurna jelas mengharamkan riba. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 275 yang artinya :

“Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

Terlebih bila yang berutang itu sebuah negara, maka segala pembangunan berbasis riba, apakah – jalan tol, bandara, pelabuhan, dan pembangunan ibukota baru kemudian ada persyaratan yang mengiringi pemberian utang, misalnya tenaga kerja harus didatangkan dari negara yang memberi utang.

Ketika proyek-proyek tersebut tidak menguntungkan, sementara mereka tetap terkena beban membayar utang dan ribanya, maka ekonomi negara tersebut hancur. Solusinya mereka berutang lagi untuk membayar utang yang sudah jatuh tempo. Gali lubang tutup lubang.

Selain dari IMF, Sri Lanka berutang ke China. Bagi China Sri Lanka adalah bagian penting dari Belt and Road Initiative, sebuah rencana jangka panjang untuk mendanai dan membangun infrastruktur yang menghubungkan China dengan seluruh dunia.

Maka, jebakan utang dari negara besar bertujuan untuk menguasai negara-negara kecil dan miskin. Sementara, Allah tidak memberi jalan bagi orang kafir untuk menguasai kaum muslimin. Sebagaimana firman Allah dalam surat An Nisa ayat 141 yang artinya:

“Allah sekali-kali tidak memberi jalan bagi orang kafir untuk menguasai orang mukmin.”

Jika negara tersebut tidak lagi mampu melunasi utangnya, maka aset negara satu persatu dijual atau dikuasai oleh negara yang memberi pinjaman, sehingga tak ada celah bagi rakyat untuk menikmati kekayaannya bahkan, menjadi budak di negeri sendiri.

Kemandirian pun tergadai. Kemerdekaan hanya slogan. Sebagaimana yang menimpa Sri Lanka dan akankah Indonesia menyusul ? Mengingat utang luar negerinya sudah mencapai Rp 7.000 triliun.

Tentu kita berharap hal ini tidak terjadi. Maka solusi satu-satunya adalah jauhi riba dengan kembali menerapkan sistem Islam secara kafah, dengan sistem ekonomi yang berkah lagi menyejahterakan.

Wallahu a’lam.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi