Oleh. Tri S, S.Si.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah mengizinkan perusahaan berorientasi ekspor atau eksportir untuk memotong gaji buruh serta mengurangi jam kerjanya. Kebijakan ini dilakukan pada eksportir yang terdampak ekonomi global. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyesuaian Waktu Kerja dan Pengupahan Pada Perusahaan Industri Padat karya Tertentu Berorientasi Ekspor yang Terdampak Perubahan Ekonomi Global. Aturan ini membuat kalangan buruh dan pengusaha kembali tak akur. Buruh mengecam keras, sementara pengusaha tentu mendukung. Buruh menuding, langkah Ida Fauziyah menerbitkan aturan ini bahkan telah melanggar aturan yang ada (CNBCIndonesia, 19/03/2023).
Lebih lanjut, jika nilai penyesuaian upah ini di bawah upah minimum, maka itu adalah tindak pidana kejahatan. Apalagi ada aturan yang dilanggar dalam penerapan aturan ini. Ia pun menyerukan para buruh melakukan mogok kerja jika upahnya dikurangi. Tak hanya itu, Said Iqbal mengatakan bakal mendemo Kantor Menteri Ketenagakerjaan dan mengajukan gugatan ke PTUN. Di sisi lain dari kalangan pelaku usaha, Wakil Ketua Umum Apindo Bidang Ketenagakerjaan Anton J Supit menilai aturan ini memiliki tujuan yang lebih luas, yakni menyelamatkan perusahaan dari meledaknya pemutusan hubungan kerja masal.
“Pengaturan Permenaker bukan untuk selamanya tapi dibatasi waktu 6 bulan. Saya waktu itu terlibat dalam pembicaraan, ngga dikatakan sepanjang waktu. Intinya daripada mati seluruhnya lebih baik ada yang diselamatkan,” kata Anton dalam Evening Up CNBC Indonesia, dikutip Minggu (18/3/2023).
Artinya ketika situasi ekonomi dunia makin membaik, dimana permintaan ekspor seperti sepatu dari Amerika Serikat dan negara Eropa mulai bergairah, aturan ini bisa kembali dicabut. Namun, Anton menilai banyak yang menyalah artikan aturan ini, dimana sudah pasti ada pengurangan upah ketika tidak ada pengurangan jam kerja.
Selama negeri ini menganut konsep Freedom of Ownership alias kebebasan berpemilikan dalam ekenomi kapitalis problem perburuhan tidak akan pernah selesai. Konsep yang diadopsi dari ideologi kapitalisme ini meniscayakan adanya rekrutmen tenaga kerja dalam jumlah besar dan mengeksploitasinya di berbagai sektor strategis. Prinsipnya adalah para pemilik perusahaan mengeluarkan modal sekecil-kecilnya dan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Para buruh juga harus berhadapan dengan kasta ekonomi yang berkembang di masyarakat sehingga memicu sentimen antargolongan. Hal ini memunculkan tuntutan untuk mewujudkan kesejahteraan bagi buruh.
Tuntutan buruh yang selama ini terjadi sebagian besar terkait gaji yang tinggi, namun kompensasi berupa gaji yang tinggi tak mungkin teralisasi karena pasti akan memberatkan pengusaha dan mengurangi pemasukan bagi pemilik perusahaan. Tuntutan gaji yang tinggi merupakan sesuatu hal yang wajar terjadi, sebab seluruh kebutuhan hidup buruh beserta keluarganya dalam berbagai urusan, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan kebutuhan pokok lainnya dipenuhi melalui penghasilan yang didapat sebagai buruh.
Islam sebagai agama yang sempurna, menyelesaikan problematika kehidupan, termasuk menyelesaikan problem yang dihadapi oleh buruh. Di dalam Islam, negara berkewajiban menjamin terpenuhinya kebutuhan primer setiap anggota masyarakat, seperti sandang, pangan, dan papan. Negara juga diharuskan memberi jaminan terpenuhinya tiga kebutuhan pokok kolektif masyarakat yakni kesehatan, keamanan, dan pendidikan. Dengan adanya pemenuhan kebutuhan pokok dan kebutuhan pokok kolektif oleh negara, menjadikan para buruh (pekerja) tidak lagi menggantungkan biaya-biaya untuk kebutuhan pokoknya dari gaji.
Hal ini berbeda dengan kondisi saat ini, di mana gaji dari seorang pekerja (buruh) digunakan untuk membiayai pendidikan, kesehatan, ataupun kebutuhan lainnya.
Selain itu di dalam Islam hubungan pekerja dengan pemilik usaha hanya ditinjau dari aspek aqad kerja (halal/haram dan sah/tidak). Jika akadnya sudah sesuai syariah, jumlah gajinya disepakati, maka muamalah bisa dilangsungkan antara kedua belah pihak.
Negara juga berkewajiban memberikan fasilitas pendidikan dan pelatihan agar para karyawan memiliki kapasitas yang memadai sesuai kebutuhan dunia kerja.
Islam juga mewajibkan semua Sumber Daya Alam wajib dikelola oleh negara.
“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api” (HR. Abu Daud, Sunan Abu DAud, 2/596- 952)
Dalam hadis yang lain disebutkan, “Tiga hal yang tidak boleh dihalangi (dari manusia) yaitu air, padang dan api” (HR. Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, 3/177-606)
Sehingga dalam konteks penguasaan SDA, tidak mungkin ada perusahaan swasta yang melakukan eksploitasi SDA, melainkan negara yang berkewajiban mengelola dan hasilnya untuk kepentingan rakyat termasuk untuk membiayai kesehatan dan pendidikan. Dalam Islam, begara juga berperan menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyat atau membantu memfasilitasi masyarakat agar bisa membuka usaha. Misal, tanah yang tidak dikelola selama 3 tahun akan diambil oleh Negara dan kemudian Negara menyerahkannya kepada pihak yang membutuhkan dan mau mengelolanya.
Dari al–Harits bin Bilal bin al-Harits, dari ayahnya, “Bahwasannya Rasulullah saw. mengambil zakat dari pertambangan Al-Qabaliyah. Sementara Rasulullah saw. memberi seluruh kawasan al-Aqiq pada Bilal bin Al-Harits.” Ketika Umar ra (menjadi khalifah), maka Umar berkata kepada bilal, “Rasulullah saw. tidak memberimu kecuali untuk dikelola”. (Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam al Mustadrak Mustradak ala Ash-Shahihain).
Hal ini tentunya akan mengeleminir buruh migran, karena akan mendapatkan tempat di negerinya sendiri. Dengan demikian, Islam akan mampu menyelesaikan masalah perburuhan. Semua problem yang menimpa buruh selama dikeranakan diterapkannya sistem kapitalisme yang penuh dengan kezaliman, hanya dengan Islam buruh merdeka dari kezaliman tersebut.
Negara hadir bukan hanya berposisi sebagai fasilitator, namun sebagai pelayan masyarakat yang mempedulikan aspek pemenuhan kebutuhan pokok rakyat dan hak-haknya. Rasul saw. bersabda:
“Kepala negara adalah pelayan. Dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari)
Wallahu a’lam bi showab