Grasi Bagi Terpidana Mati, Lemahnya Sistem Hukum Sekuler

Oleh. Fathimah A. S.
(Aktivis Dakwah Kampus)

Baru-baru ini, presiden memberikan grasi kepada terpidana mati kasus narkoba Merry Utami (MU). Sontak kasus ini menuai kontroversi. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyambut baik keputusan grasi ini, karena dinilai merupakan langkah penting yang dalam perubahan kebijakan hukuman mati (jawapos.com, 14/4/2023).

Sementara, menurut LBH Masyarakat, pemberian grasi tersebut dinilai setengah hati, bila melihat durasi pemenjaraan Merry Utami yang telah melebihi 22 tahun dan pernah menjalani rangkaian untuk pelaksanaan eksekusi mati pada 2016 (nasional.tempo.co, 16/4/2023).

Seperti yang kita ketahui, MU merupakan terpidana mati dalam kasus 1,1 kilogram heroin yang diungkap di Bandara Soekarno Hatta pada 2001. Ia dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Tangerang karena ketahuan membawa heroin saat pulang dari Taiwan (kompas.com, 13/4/2023).

Selain MU, hukuman mati juga diberikan kepada Eks Kepala Divisi Propam Polri, Ferdy Sambo (FS) yang telah melakukan pembunuhan disengaja dan terencana (nasional.tempo.co, 16/4/2023).

Tidak Memiliki Batasan Jelas

Bila kita amati, kejahatan yang mereka lakukan amatlah besar. Mereka pantas dihukum seberat-beratnya. Meski begitu, dalam sistem sekulerisme demokrasi, masih terdapat perbedaan dalam hukuman tertinggi. Ada yang menggunakan hukuman tertinggi adalah hukuman mati. Namun, ada yang menilai bahwa hukuman mati adalah melanggar HAM.

Sungguh, sanksi dalam sistem kapitalisme demokrasi tidak memiliki batasan jelas dan begitu kabur. Hal ini merupakan keniscayaan dalam sistem sekulerisme demokrasi. Sistem yang memisahkan agama dari kehidupan ini tampak nyata tak mampu memberikan sanksi yang memberi keadilan. Sebab, aturan yang ada bukanlah bersumber dari Sang Pencipta, melainkan berdasarkan akal manusia yang terbatas. Tak pelak, sering kali hukuman yang diberikan adalah tumpul keatas dan tajam kebawah.

Keadilan Sanksi dalam Islam

Berbeda jauh dengan Islam. Karena bersumber dari Allah Subhanahu wa ta’ala yaitu Sang pencipta dan pengatur negeri ini, aturannya mampu membawa pada keadilan. Sanksi dalam islam ini mempunyai 2 fungsi, yaitu sebagai zawajir (pencegah agar tidak terjadi kejahatan serupa dalam masyarakat) dan jawabir (penebus bagi pelaku di akhirat).

Dalam Islam, definisi kejahatan (jarimah) beserta sanksinya sudah sangat jelas. Kejahatan adalah setiap perbuatan yang melanggar ketentuan hukum syariat, sehingga berimplikasi pada dosa dan pelakunya layak diberi sanksi hukum (uqubat). Terdapat 4 jenis sanksi dalam Islam:

Pertama, hudud, yaitu sanksi terhadap suatu kemaksiatan yang telah ditetapkan (kadarnya) oleh syariat dan sekaligus telah menjadi hak Allah. Tindakan yang harus dijatuhkan hudud adalah zina, homoseksual (liwath), meminum khamar, murtad, bughat (pembangkangan), membegal, dan mencuri.

Kedua, jinayat, yaitu penganiayaan atas badan yang mewajibkan adanya qishash (balasan setimpal) atau diyat (denda). Tindakan yang termasuk jinayat adalah pembunuhan dan pelukaan anggota badan.

Ketiga, ta’zir, yaitu hukuman yang disyariatkan atas pelaku maksiat yang tidak ditentukan hudud dan kafaratnya. Ketentuan ta’zir diserahkan kepada Khalifah, namun hakim dibenarkan untuk menetapkan ketentuannya, berdasarkan ijtihadnya. Tindakan yang termasuk ta’zir adalah: pelanggaran terhadap kehormatan (seperti perbuatan cabul), perbuatan yang membahayakan akal, penipuan dalam muamalat, mengganggu keamanan negara, dsb.

Keempat, mukhalafat, yaitu sanksi yang kepada orang yang menentang perintah penguasa. Ketentuan hukumannya diserahkan kepada khalifah atau hakim sebagai wakil khalifah.

Seluruh sanksi hukum dalam Islam ini harus bersumber dari wahyu. Sehingga, tidak akan terjadi diskriminasi dihadapan hukum. Semua orang memiliki kedudukan setara, baik ia muslim, non-muslim, pria, maupun wanita. Selain itu, penanganan pengadilan islam juga bersifat efektif dan efisien. Sehingga, tidak berlarut-larut dan bertele-tele.

Melalui penerapan sistem sanksi seperti ini, maka keadilan dan keamanan dapat kita rasakan. Namun, semua ini tidak dapat berdiri sendiri, melainkan harus ada penerapan Islam secara kaffah dalam bingkai Kh1l4f4h. Marilah kita mulai mengkaji Islam secara kaffah dan mendakwahkannya ke tengah-tengah masyarakat.

Wallahu a’lam bi shawwab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi