Abu Zaid
Berapa pun banyaknya anak kita, baik laki-laki dan perempuan, toh pada akhirnya sepi lagi. Moga anak-anak kita semua menjadi generasi penerus yang lebih baik dalam hidup sebagai pejuang Islam. Moga anak-anak kita bisa hidup dalam naungan Khilafah. Aamiin.
Satu per satu, anak-anak kita pasti pergi dari rumah. Sekolah, mondok, kuliah, kerja, bahkan nikah. Tinggallah yang terakhir kita sebagai orang tua …, sepi lagi. Sedih? Ya, pastinya ada perasaan itu. Namun, sebagai orang tua, kita hanya bertugas mengasuh, membesarkan, dan mendidik anak anak agar menjadi manusia yang mampu mengambil peran dalam membangun peradaban mulia, yakni Islam.
Menjadi orang tua tidak boleh egois sama sekali. Yakni, demi diri tidak kesepian, akhirnya anak-anak jadi korban. Tak boleh pergi jauh dari rumah, baik itu sekolah, mondok, atau kuliah. Seolah anak-anak tak pernah dewasa sehingga tidak bisa memilih jalan hidupnya sendiri. Padahal semua itu karena orang tua egois. Akhirnya, anak terbonsai tidak bisa memiliki kapasitas memadai guna ikut berjuang tegakkan peradaban mulia.
Sebaiknya, orang tua memiliki jiwa besar. Seberat apa pun rasa di hati, mestinya tetap mendorong sekuat tenaga agar anak-anak itu berproses yang terbaik. Intinya, agar mereka punya kapasitas ikut andil membangun dunia dengan Islam. Meskipun semua itu sebatas usaha. Berhasil tidaknya Allah yang menentukan.
Mendidik anak tanpa pamrih kecuali ridho Allah. Bukan supaya anak-anak kita mengurus kita nantinya, bukan supaya anak-anak kita memberikan harta nantinya, bukan supaya anak-anak kita memberikan imbalan apa pun. Meskipun mereka wajib berbakti kepada orang tuanya, tetapi orang tua tidak memandikan balas budi anak sebagai sebab mendidik mereka.
Namun, selama orang tua ikhlas dan benar dalam mendidik anak-anak, orang tua juga istiqomah dalam berjuang di jalan Islam, maka kesholihan kedua orang tuanya insyaallah akan membawa berkah bagi anak-anaknya. Dalam surah Al-Kahfi ayat 82:
وَأَمَّا ٱلْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَٰمَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِى ٱلْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُۥ كَنزٌ لَّهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَٰلِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَن يَبْلُغَآ أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنزَهُمَا رَحْمَةً مِّن رَّبِّكَ ۚ وَمَا فَعَلْتُهُۥ عَنْ أَمْرِى ۚ ذَٰلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِع عَّلَيْهِ صَبْرًا
“Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya”.
Kesholihan kedua orang tuanya menjadikan Allah menolong anak-anak mereka pada saat kedua orang tuanya tiada lagi.
Maka, tugas kita sebagai orang tua hanyalah mengantarkan anak-anak ke jalan perjuangan. Apakah mereka nantinya bisa mengambil peran mengurus kita saat sudah udzur atau tidak pun bukan perkara penting bagi kita. Jika kita bertaqwa, maka Allah pasti akan menjaga kita dan tidak menyia-nyiakan kita dan anak-anak kita.
Wallaahu a’lam