Oleh. K.H. M Ali Moeslim
Bismillahirrahmanirrahim
Hari ketiga berada di Makkah biasanya jamaah umroh diajak city tour Makkah mengunjungi Arafah, Muzdalifah, Mina, Jabal Nur (Gua Hiraa), Jabal Tsur (Gua Tsur), dan mengambil Miqat ihram di Dji’ronah.
Bagi kalangan Syafi’iyah, miqat Dji’ronah adalah miqat utama kaum muslim yang tinggal di Makkah, di samping Miqat Tan’im dan Hudaibiyah.
Sesungguhnya, City tour bagi jamaah itu sekaligus sebagai simulasi manasik ibadah haji langsung di lokasi, yakni Makkah Al-Mukaromah. Dikisahkan sebuah peristiwa yang menguras air mata terjadi di Dji’ranah, setelah kaum muslim bersama Rasulullah saw. menaklukan Thaif dalam perang yang sangat terkenal, yakni perang Hunain pasca Futuhul Makkah.
Dikisahkan bahwa kepada para muallaf penduduk Makkah, Rasulullah saw. memberikan ghanimah dan sejumlah pemberian yang berlimpah. Tetapi, ada sebagian kaum Anshar yang merasa keberatan atas tindakan ini dan su’udhan, sampai-sampai berprasangka bahwa Rasulullah telah bermaksiat, “Semoga Allah Swt. mengampuni Rasul-Nya. “Baginda telah memberikan Quraisy dan membiarkan kita padahal pedang-pedang kita masih meneteskan darah mereka.“
Setelah mendengar “kasak-kusuk” itu, Rasulullah saw. memerintahkan orang-orang Anshar dikumpulkan di suatu tempat khusus. Setelah mereka berkumpul, Rasulullah berdiri di hadapan mereka menyampaikan khutbah:
“Hai kaum Anshar, aku telah mendengar perkataan kalian! Bukankah ketika aku datang, kalian masih dalam keadaan tersesat kemudian Allah memberikan hidayah kepada kalian dengan perantaraan aku? Bukankah ketika itu kalian masih bermusuhan, kemudian Allah mempersatukan hati kalian dengan perantaraanku? Bukankah ketika itu kalian masih hidup menderita, kemudian Allah Swt. membuat kalian berasa cukup dengan perantaraanku?“
Setiap kali Rasulullah bertanya, mereka menjawab: “Benar! Allah dan Rasul-Nya lebih pemurah dan utama.“
Selanjutnya Rasulullah bertanya: “Hai kaum Anshar, kenapa kalian tidak menjawab?“ “Apa yang hendak kami katakan wahai Rasulullah? Dan bagaimanakah kami harus menjawab kemuliaan bagi Allah dan Rasul-NYA,” sahut mereka.
Rasulullah saw. melanjutkan: “Demi Allah, jika kalian mau! Tentu kalian dapat mengatakan yang sebenarnya: Anda datang kepada kami sebagai orang yang didustakan, kemudian kami benarkan. Anda datang sebagai orang yang dihinakan kemudian kami bela. Anda datang sebagai orang yang diusir kemudian kami lindungi. Anda datang sebagai orang yang menderita kemudian kami santuni.“ Mereka menyahut dengan menjerit diselangi isak tangis: “Kemuliaan itu bagi Allah dan Rasul-Nya.“
Rasulullah meneruskan: “Hai kaum Anshar, apakah kalian berasa marah karena tidak menerima sampah kemewahan dunia yang tiada berarti? Dengan sampah itu aku hendak menjinakkan suatu kaum yang baru saja memeluk Islam sedangkan kalian telah lama Islam! Wahai, kaum Anshar apakah kalian tidak puas melihat orang lain pulang membawa kambing dan unta, sedangkan kalian pulang membawa Rasulullah? ”
Selanjutnya, “Demi Allah , apa yang kalian bawa pulang itu lebih baik daripada apa yang mereka bawa. Demi Allah yang nyawa Muhammad berada di tangan-NYA, kalau bukan karena hijrah niscaya aku menjadi salah seorang dari Anshar. Seandainya orang lain berjalan di lereng gunung yang lain, aku pasti turut berjalan di lereng gunung yang ditempuh kaum Anshar.”
“Sesungguhnya kalian akan menghadapi diskriminasi sepeninggalku, maka bersabarlah hingga kalian berjumpa denganku di telaga (surga). Ya Allah limpahkanlah rahmat-MU kepada kaum Anshar, kepada anak-anak kaum Anshar, dan kepada cucu kaum Anshar.“
Mendengar ucapan Rasulullah tersebut, kaum Anshar menangis sehingga janggut mereka dibasahi air mata. Kemudian mereka menjawab: “Kami rela mendapatkan Allah dan Rasul-Nya sebagai pembahagian dan kepunyaan kami.”
Wallahu a’lam bishawab.
Makkah, 20 Oktober 2022