Oleh. H. Ali Muslim
Bismillahirrahmaanirrahiim
NABI MUHAMMAD SAW menggambarkan Kehidupan suami-istri sebagai kehidupan yang sarat dengan ketenangan, ketenteraman, kasih sayang dan persahabatan. Interaksi suami-istri tegak di atas prinsip ta’awun (tolong-menolong), saling menopang, bersahabat, harmonis, menyegarkan, tidak kaku dan formalistik. Interaksi suami-istri adalah interaksi yang penuh kehangatan, kesejukan dan jauh dari kekakuan.
Adapun kepemimpinan seorang suami di dalam rumah tangga adalah kepemimpinan yang bersifat mengatur dan melayani (ri’ayah), bukan kepemimpinan diktator layaknya seorang penguasa yang selalu menggunakan pendekatan kekuasaan.
Begitu pula bahwa seorang istri diwajibkan taat kepada suami dalam batas-batas yang telah ditetapkan syariah. Adapun suami diwajibkan memberi nafkah kepada istri dengan cara yang makruf.
Di dalam al-Quran, Allah SWT menjelaskan bahwa ikatan suami-istri ditetapkan untuk melahirkan ketenangan (sakinah):
۞هُوَ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَجَعَلَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا لِيَسۡكُنَ إِلَيۡهَاۖ
Dialah Yang menciptakan kalian dari diri yang satu dan darinya Dia menciptakan istrinya agar dia merasa senang kepadanya (TQS al-A’raf [7]: 189).
Allah SWT pun berfirman:
وَلَهُنَّ مِثۡلُ ٱلَّذِي عَلَيۡهِنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ
Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf (TQS al-Baqarah [2]: 228).
Imam al-Qurthubi menjelaskan makna ayat ini dengan mengutip sebuah riwayat dari Ibnu ‘Abbas ra. yang berkata, “Maknanya, para istri memiliki hak mendapatkan persahabatan dan pergaulan yang baik dari suami-suami mereka sebagaimana kewajiban mereka taat kepada suami-suami mereka dalam perkara-perkara yang diwajibkan atas diri mereka.” (Al-Qurthubi, Al-Jami` li Ahkam al-Qur’an, 3/123-124.
Adapun dalam hal ketaatan, Allah SWT memerintahkan istri untuk taat kepada suami dan mengharamkan nusyuz (membangkang kepada suami) (Lihat: QS an-Nisa‘ [4]: 34).
Di dalam hadis sahih, Nabi SAW bersabda:
لَوْ أَمَرْتُ أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ لِأَمَرْتُ الْمَرْأَة أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عَظِيْمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا، وَلاَ تَجِدُ امْرَأَةٌ حَلاَوَةَ اْلإِيْماَنِ حَتَّى تُؤَدِّي حَقَّ زَوْجِهَا وَلَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى ظَهْرِ قَتَبٍ
Andai aku diperbolehkan memerintahkan seseorang untuk sujud (menyembah) kepada orang lain, niscaya aku memerintahkan seorang wanita untuk sujud kepada suaminya karena begitu besarnya hak suami atas istrinya. Seorang wanita tidak akan merasakan manisnya iman hingga ia memenuhi hak suaminya walaupun suami meminta dirinya, sedangkan ia sedang berada di atas kendaraan.” (HR al-Hakim).
Terkadang di dalam rumah tangga , seorang laki-laki diuji dengan kedurhakaan istri. Di dalam istilah agama disebut dengan nusyuz. Wanita nusyûz kepada suami artinya membangkang dan bersikap buruk (kitab Mu’jamul Wasith).
Nabi SAW menjelaskan bahwa sikap istri yang tidak bersyukur kepada suami merupakan sebab banyaknya wanita masuk neraka;
. عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أُرِيتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ، يَكْفُرْنَ قِيلَ: أَيَكْفُرْنَ بِاللَّهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ العَشِيرَ، وَيَكْفُرْنَ الإِحْسَانَ، لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا، قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ
Dari Ibnu Abbas RA, dia berkata, “Nabi SAW bersabda : “Neraka telah diperlihatkan kepadaku, ternyata mayoritas penghuninya adalah wanita, mereka kufur (mengingkari)”. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Apakah mereka kufur (mengingkari) Allâh?” Beliau menjawab, “Mereka mengingkari suami dan mengingkari perbuatan kebaikan. Jika engkau telah berbuat kebaikan kepada seorang wanita (istri) dalam waktu lama, kemudian dia melihat sesuatu (yang menyakitkannya) darimu, dia berkata, “Aku sama sekali tidak melihat kebaikan darimu!”. (HR. Al-Bukhâri dan Muslim)
Jika sudah terbukti bahwa istri melakukan nusyuz, maka tindakan yang perlu dilakukan oleh suami, sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an, yakni:
وَاللاَّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيّاً كَبِيراً
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS an-Nisa: 34)
Cara pertama ialah suami menasihati istrinya bahwa apa yang dilakukan tersebut adalah haram dan bisa mengakibatkan terhentinya pemberian nafkah lahir. Jika masih nusyuz, maka langkah kedua ialah memisahkan ranjang. Langkah terakhir jika masih tetap nusyuz ialah dengan memukulnya, namun memukul di sini tidak boleh sembarangan, pukulan yang dilakukan hanyalah pukulan yang sifatnya ancaman belaka, dan tidak boleh melukai.
Tindakkan dalam menangani nusyuz tentu selama sesuai syariat ada dalam bingkai kasih sayang, mencegah dan menghalangi terjerumus kemasyiatan yang lebih dalam lagi, tindakkan syariah itu pastilah bernuansa jawajir (mencegah dan membuat jera) serta jawabir (menghapus dosa).
Kalau suami memukul tanpa sebab, menyakiti isteri tentu adalah KDRT, begitupula jika sebaliknya isteri kepada suami, namun jika terjadi nusyuz beginillah cara menaganginya.
Meski wanita yang tidak taat pada suami (nusyuz) diancam neraka, namun, sejatinya, para istri atau wanita muslimah tidak boleh tunduk pada suami yang memerintah kepada kemaksiatan meskipun hati begitu cinta dan sayangnya kepada suami. Jika kewajiban patuh pada suami sangatlah besar, maka apalagi kewajiban mematuhi Allah, tentu lebih besar lagi. Istri tidak boleh taat pada suami yang durhaka kepada Allah.
Suami yang mengajak atau menyuruh pada kemusyrikan tidak boleh ditaati. Istri juga tidak boleh taat pada suami yang mengajak pada ritual-ritual bid’ah, menyuruh istri melepas jilbab atau membuka aurat, dan tidak wajib taat pada suami yang mengajak hubungan intim saat istri haid atau melalui dubur.
Wallahu A’lam Bishawab