Di Bawah Kibaran Bendera

Oleh. H. M Ali Moeslim

Bismillahirrahmanirrahim

Sebagaimana diketahui bahwa bendera atau panji bukan cuma sekadar kain yang dikibarkan dan diberi penghormatan dalam upacara atau kegiatan penting lainnya. Lebih dari itu, bendera menjadi lambang kedaulatan suatu negara.

Warna sebuah bendera menjadi simbol sebuah negara bahkan ditetapkan oleh undang undang yang disepakati, misalnya saja kalau kita perhatikan bendera negara Palestina sesungguhnya diambil dari warna yang menjadi simbol kekhalifahan Islam yang memerintah wilayah Syam atau Palestina sejak zaman kekhalifahan Islam.

Warna paling atas yakni hitam adalah warna khas dari pemerintahan Islam Khulafaur Rasyidin, di bawahnya adalah warna putih, menurut ahli sejarah adalah warna khas dari kekhalifahan penerusnya yakni Umayyah, berikutnya warna hijau adalah kekhalifahan dari keturunan Abbasiyyah dan yang terakhir adalah merah sebagai warna khas dari kekhalifahan Turki Utsmani.

Lebih jauh kalau kita berbicara simbol dan lambang, meskipun simbol bukanlah nilai itu sendiri, ia sangat diperlukan untuk kepentingan penghayatan akan nilai-nilai yang ia wakili. Simbol dapat digunakan untuk keperluan apa saja. Misalnya untuk ilmu pengetahuan, kehidupan sosial, juga keagamaan.

Bentuk simbol tak hanya berupa benda kasat mata, namun juga bisa berupa gerakan dan ucapan. Simbol juga dijadikan sebagai salah satu infrastruktur bahasa, yang dikenal dengan bahasa simbol. Karena itu, simbol paling umum ialah tulisan yang merupakan simbol dari kata-kata dan suara.

Selain simbol, juga ada lambang. Lambang adalah simbol yang tergambar. Lambang dapat berupa benda sesungguhnya, seperti salib (lambang Kristen) dan tongkat (yang melambangkan kekayaan dan kekuasaan).

Lambang dapat berupa warna atau pola. Lambang sering digunakan dalam puisi dan jenis sastra lain, kebanyakan digunakan sebagai metafora atau perumpamaan. Lambang nasional adalah simbol untuk negara tertentu.

Dalam Islam, dikenal juga sesuatu yang dianggap sebagai simbol. Misalnya bendera, khususnya yang bertuliskan kalimat tauhid.

Bendera tauhid atau bendera dengan kalimat tauhid itu memang tidak otomatis mencerminkan bobot ketauhidan kita. Namun, sebagai sebuah simbol, ia jelas bukan tanpa makna dan tanpa nilai. Menurut Imam Abdul Hayy Al-Kattani, sebagai simbol, bendera dengan tulisan kalimat tauhid mencerminkan persamaan pendapat kaum Muslim (ijtimâ’u kalimah Muslimîn) dan kesatuan hati mereka (ittihâdu qulûbihim). Dalam hal apa?

Pertama, dalam keyakinan atau aqidah. Sebagai Muslim kita memiliki keyakinan yang sama. Inti dari keyakinan itu adalah pada kalimat tauhid itu.

Kedua, simbol persatuan ummat. Sesama Muslim itu bersaudara. Persaudaraan itu terjadi karena kesamaan tauhid.

Ketiga, simbol perjuangan. Inti perjuangan Islam tak lain adalah untuk meninggikan kalimat tauhid itu.

Oleh karena itu, sebagai simbol, bendera tauhid itu memiliki makna yang sangat dalam dan nilai yang sangat tinggi sehingga semestinya ia dijaga dan dihormati.

Istilah liwa’ atau disebut juga dengan al-‘Alam (bendera) dan rayah mempunyai fungsi berbeda. Dalam beberapa riwayat disebutkan:

“Rayah yang dipakai Rasulullah Saw. berwarna hitam, sedangkan liwa’ (benderanya) berwarna putih.” (HR Thabrani, Hakim, dan Ibnu Majah)

Meskipun terdapat juga Hadis-Hadis lain yang menggambarkan warna-warna lain untuk liwa’ dan rayah, sebagian besar ahli Hadis meriwayatkan warna liwa’ dengan warna putih dan rayah dengan warna hitam.

Mengenai ukuran panjang dan lebarnya, tidak ditemui riwayat yang menjelaskan secara rinci dari bendera maupun panji-panji Islam pada masa Rasulullah Saw. Dalam sebuah Hadis dikatakan:

“Panji Rasulullah Saw. berwarna hitam, berbentuk segi empat dan terbuat dari kain wol.” (HR Tirmizi)

Rayah dan liwa’ sama-sama bertuliskan “La ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah.” Pada rayah (bendera hitam) ditulis dengan warna putih, sebaliknya pada liwa’ (bendera putih) ditulis dengan warna hitam.

Simbol dan lambang mestinya tidak menjadi sarana yang membangun dan mempertahankan ta’asub golongan atau seruan kepada ikatan selain ikatan aqidah, karena itu adalah seruan untuk berlepas diri dari kesatuan ummat, itu adalah seruan jahiliyah. Penyerunya dicela oleh Rasulullah Saw. Sebagaimana dalam hadits:

ﻋﻦ ﺟﺒﻴﺮ ﺑﻦ ﻣﻄﻌﻢ، ﺃﻥ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ، ﻗﺎﻝ: «ﻟﻴﺲ ﻣﻨﺎ ﻣﻦ ﺩﻋﺎ ﺇﻟﻰ ﻋﺼﺒﻴﺔ، ﻭﻟﻴﺲ ﻣﻨﺎ ﻣﻦ ﻗﺎﺗﻞ ﻋﻠﻰ ﻋﺼﺒﻴﺔ، ﻭﻟﻴﺲ ﻣﻨﺎ ﻣﻦ ﻣﺎﺕ ﻋﻠﻰ ﻋﺼﺒﻴﺔ»

Dari Jubair bin Muth’im bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Bukan termasuk golongan kami, orang yang mengajak kepada ashabiyah, berperang karena ashobiyah dan mati karena ashabiyah.” (HR Abu Dawud)

Dalam Hadits yang lain, Rasulullah Saw. bersabda:

ﻭﻣﻦ ﻗﺘﻞ ﺗﺤﺖ ﺭاﻳﺔ ﻋﻤﻴﺔ، ﻳﻐﻀﺐ ﻟﻠﻌﺼﺒﻴﺔ، ﺃﻭ ﻳﻘﺎﺗﻞ ﻟﻠﻌﺼﺒﻴﺔ، ﺃﻭ ﻳﺪﻋﻮ ﺇﻟﻰ اﻟﻌﺼﺒﻴﺔ، ﻓﻘﺘﻠﺔ ﺟﺎﻫﻠﻴﺔ

“Barang siapa mati di bawah bendera kebutaan, marah karena ashabiyah, berperang karena ashabiyah atau mengajak kepada ashabiyah, maka seperti kematian masa jahiliah.” (HR Ahmad)

Nasionalisme yang sering didengungkan dalam persatuan di setiap negara juga memiliki titik buruk dan rapuh. Sebuah ikatan pemersatu yang hanya bersandar pada aspek emosional dan kebangsaan ini justru menjadi alat penjajahan para kapitalis yang memanfaatkan kepentingan tiap bangsa dengan memecah belah dunia menjadi negara-negara parsial kemudian menyerang tanpa senjata hingga setiap bangsa mengikuti kemauan dari si pemilik modal.

Wallahu a’lam bishawab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi