Pesta Demokrasi Rawan Depresi

Oleh. Sri Rahayu Lesmanawaty
(Aktivis Muslimah Peduli Generasi, Kontributor MazayaPost.com)

Dikutip dari Detik.com 26/1/2024, anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta Abdul Aziz meminta Dinas Kesehatan DKI Jakarta menyiapkan layanan konseling maupun fasilitas kesehatan kejiwaan untuk calon anggota legislatif (caleg) Pemilu 2024 yang stres karena gagal terpilih. Menurutnya, dua hal itu sangat diperlukan. “Belajar dari situasi dan kondisi di pemilu-pemilu sebelumnya, kecenderungan orang stres meningkat pascapemilu,” kata Aziz dalam keterangannya, Jumat (26/1/2024).

Psikiater sekaligus Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional Dr. dr. Nova Riyanti Yusuf, Sp.KJ. menyampaikan, caleg yang mencalonkan diri, tetapi tanpa tujuan jelas dan hanya untuk kekuasaan ataupun materi, rentan mengalami gangguan mental. Ini karena jika kalah, pasti kecewa berat, hingga depresi dan ingin mengakhiri hidupnya. Bahkan, yang depresi bukan hanya calegnya, melainkan juga keluarga dan tim suksesnya (AntaraNews, 11/12/2023).

Gangguan Mental Menghantui

Mengamati pemilu-pemilu sebelumnya, usai pesta demokrasi, RSJ mendadak kebanjiran pasien. Hal ini menguatkan dugaan bahwa kondisi seperti ini akan terjadi kembali usai pemilu 2024. Kegelisahan, kecemasan, kekecewaan mendalam, insomnia, bahkan sampai depresi tingkat tinggi menggejala pada caleg-caleg yang gagal memenangkan pesta demokrasi. Gangguan mental (kejiwaan) menghantui setiap gerak nafas hidupnya.

Viralnya caleg gagal terganggu mental, membuktikan bahwa pemilu dalam sistem demokrasi tidaklah baik-baik saja. Keburukan sistem, telah menjadikan para calon wakil rakyat mengalami ketidakwarasan. Alih-alih bisa memimpin dan tetap percaya diri atas kemampuannya, yang terjadi adalah menjadi manusia tak berdaya dengan pola pikir tak sempurna.

Miris dan tragis. Sistem di negeri ini sangat rapuh untuk mewujudkan para wakil-wakil rakyatnya. Sampai-sampai posisi yang penuh amanah dan tanggung jawab besar ini ternyata diperebutkan pula oleh orang-orang yang rapuh. Beberapa hal telah menghantarkan hantu demokrasi ini pada gangguan mental, gangguan kejiawaan baik ringan maupun berat.

Mari kita telisik bersama, pertama, pemilu dalam sistem demokrasi butuh dana sangat banyak. Para kontestan butuh biaya ekstra mahal untuk maju. Masalah klasik dalam pesta demokrasi di Indonesia, adalah tingginya dana kampanye.

Angka-angka yang dirilis KPU memicu kritik, keprihatinan, dan pertanyaan publik terhadap para kontestan pemilu, khusunya soal sumber pendanaan mereka dan kekhawatiran adanya upaya balik modal atau balas budi pasca pemilu. Amru dan Dartanto dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universtias Indonesia mencatat bahwa dana kampanye yang dikeluarkan oleh calon anggota DPR mencapai rentang sebesar Rp750 juta-4 milliar. Sementara untuk memperebutkan kursi DPRD Provinsi, besaran dana kampanye mencapai Rp 250-500 juta. Keduanya percaya bahwa angka-angka ini hanya akan terus meningkat di setiap tahunnya.

Salah satu contoh yaitu dana kampanye yang harus digelontorkan oleh Arsul Sani, anggota DPR periode 2014-2019 dari PPP. Arsul Sani mengeluarkan dana kampanye hingga Rp2,5 miliar untuk membiayai kampanyenya. Uang tersebut digunakan untuk membayar para relawan, membuat kaos, bendera, souvenir, dan ongkos saksi penghitungan suara (Kompas.com, 31/1/2024). Wajarlah jika mereka gagal, mental mereka pun ‘mental’.

Kedua, mayoritas caleg bertujuan meraih kekuasaan dan materi sekalipun beberapa dari mereka ada yang tulus ikhlas untuk membangun negara dan bangsa dan ada yang ingin menerapkan hukum Islam. Namun, selain sangat sedikit, keberadaan mereka pun terlibas para ambisius kekuasaan dan harta. Para mukhlisin kalah karena tidak mau bermain curang.

Sementara para kontestan yang sangat sekuler menghalalkan segala cara untuk memenangkan pertarungannya. Jabatan dituju untuk memperkaya diri, meningkatkan prestise, dan mendapatkan kemudahan-kemudahan lainnya di negeri ini jika dia menjadi pejabat. Alhasil kontestan produk sekuler, depresi saat kalah, sebab mereka dari awal sudah salah memaknai tujuan hidupnya, jauh dari keimanan dan ketakwaan.

Ketiga, dari fakta yang ada, para pemenang bukanlah representasi rakyat. Terbukti dari kebijakan yang disahkan dan diterapkan tidak memihak rakyat. Slogan demokrasi hanya ilusi tanpa bukti. Pembohongan publik terjadi dengan pencitraan dan harapan-harapan palsu.

Pesta demokrasi sejatinya hanya legitimasi meneguhkan kekuasaan para oligarki. Kemenangan tetaplah diraih oleh pemenangan yang diusung oligarki. Akhirnya, siapa pun presidennya, siapa pun anggota parlemennya, kesejahteraan rakyat tidak terwujud, keadilan pun menjadi tak niscaya.

Sistem Islam Menjaga Kewarasan

Dalam Islam, penguasa sebagai pemegang jabatan adalah orang-orang yang paham tentang jabatan dan kekuasaan. Mereka paham bahwa jabatan adalah amanah dan tanggung jawab yang besar serta berat. Sehingga mereka harus benar-benar meyakini bahwa dirinya memiliki kemampuan untuk mengembannya.

Dalam Islam, jabatan negara harus dijalankan sesuai dengan ketentuan Allah Swt. dan Rasul-Nya. Para kontestan dalam pemerintahan Islam adalah mereka yang taat kepada Allah Swt. dan tujuan meraih jabatannya semata untuk mencari rida-Nya. Jika ia kalah, tidak akan berpengaruh terhadap mentalnya sebab ia yakin bahwa apa pun yang terjadi pada dirinya adalah yang terbaik baginya.

Dalam Islam, kontestasi tak perlu berbiaya tinggi. Kontestasi begitu sederhana dan tidak menghabiskan harta. Sehingga kalah pun tak menjadi beban, tak depresi, tak kena gangguan jiwa.

Demikianlah, Sistem Islam akan senantiasa menjaga kewarasan. Produknya tidak menghasilkan individu yang gila harta gila kuasa hingga gila beneran jika alami kegagalan.

Penutup

Oleh karena itu, mewujudkan kembali sistem politik Islam adalah sesuatu yang sangat krusial agar kehidupan umat manusia senantiasa berada dalam kewarasan yang menghasilkan kebahagiaan hakiki , sejahtera yang terealisasi. Wallaahu a’lam bisshawaab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi