Gen Saladin | @gen.saladin | t.me/gensaladin
Kekuasaan memang melenakan, maka tidak sembarang orang bisa bertahan dengan attitude mulia ketika merengkuhnya. Jika punya power, kau seakan-akan punya alasan untuk berlaku sewenang-wenang. Maka itulah yang ditakutkan oleh Khalifah Umar bin Khattab. Itulah yang dikhawatirkan sekali oleh Umar bin Abdul Aziz. Itulah pula yang membuat Shalahuddin sangat menjaga amanat kekuasaan.
Sebab yang merasakannya bukan cuma pemangku kekuasaan, tapi juga keluarganya. Jika ayahnya berkedudukan, anaknya tentu otomatis akan dipandang istimewa oleh orang-orang. Jika orangtuanya pejabat, anaknya kadang jadi merasa tinggi dan serasa bisa melakukan apa yang tidak bisa dilakukan orang-orang, meski tentu tidak semuanya. Privilege kadang bisa membuat orang berlaku sewenang-wenang. Maka biarlah sejarah memberi pesan.
Kita beberapa waktu ini sedang dipertontonkan beberapa berita tentang seorang anak pejabat yang membuka jilbabnya saja harus membuat press release, lalu lebih ramai lagi ketika orang yang sama memposting produk makanan yang masuk dalam list pemboikotan. Kemudian, yang paling baru, seorang wakil rakyat yang juga anak seorang pejabat, dengan bangga memposting produk minuman yang juga masuk dalam list pemboikotan kita. Ketika diingatkan, malah merasa tinggi dan tak bersalah.
Dalam sejarah Umat Islam pun, ada saja anak-anak pejabat seperti itu. Tapi lewat tulisan ini, kami justru hendak memberi cermin teladan tentang anak-anak pejabat yang sebenarnya bisa melakukan segalanya, tapi mereka memilih untuk jadi inspirasi yang qana’ah dan tawadhu. Kita mulai dari Muhammad Al Fatih. Sosok yang bisa saja bebal dan semena-mena, kan dia anak sultan Murad yang perkasa. Tapi, bagaimana anak raja ini berakhlak pada orang-orang di sekitarnya?
Beliau menghormati orang-orang berilmu, santun pada yang seusia dengannya, ramah pada orang lain dan solid dengan pasukannya. Alih-alih membatasi pergaulan, Al Fatih tahu bahwa rasa cinta rakyatnya hanya akan didapatkan dari rendah hati, bukan sekadar perintah-perintah tanpa ada kedekatan empati.
Dulu, jauh sebelum Muhammad Al Fatih, Umar bin Abdul Aziz pun memberi contoh pada semua orang tentang mempersiapkan anak-anak yang shalih dan tawadhu. Salah satu episodenya terlihat ketika orang-orang memberanikan diri bertanya pada Sang Umar ketika beliau sedang sakit menjelang wafatnya. Mereka bertanya, “apa yang engkau tinggalkan untuk anak-anakmu wahai Umar?”
Khalifah Umar menjawab, “Aku meninggalkan pada keluargaku ketaqwaan pada Allah. Jika mereka orang-orang shalih maka Allah pasti akan menjamin mereka. Namun jika mereka tak melakukannya, maka aku pun tak meninggalkan harta yang akan mereka gunakan untuk bermaksiat kepada Allah.” (Sirah wa Manāqib Umar bin Abdul Aziz Al Khalifah az Zahid, Ibnul Jauzi)
Bagaimana kemudian anak-anak Umar bin Abdul Aziz ini?
Dr Ali Ash Shalabi menulis, “saat wafat, anak-anak Umar bin Abdul Aziz hanya diwarisi 19 dirham saja, sedangkan anak-anak Hisyam bin Abdul Malik masing-masing mewarisi sejuta dirham. Namun, di kemudian hari orang-orang melihat salah satu anak Umar bin Abdul Aziz memberikan 100 kuda untuk berjuang di jalan Allah, sedangkan anak-anak Hisyam bin Abdul Malik terlihat di jalanan sedang meminta-minta.” (Ad Daulah Al Umawiyah, Dr Ali Ash Shalabi)
Dan contoh terbaik tentu akan kita dapatkan dari Baginda Rasulullah ﷺ, teladan utama dari setiap teladan-teladan. Rasul ﷺ bisa saja membangunkan istana megah untuk anak-anaknya. Bisa saja menyuruh orang untuk mengabdikan diri menjadi asisten bagi keluarga Ali dan Fatimah.
Namun Rasul ﷺ bersabda suatu hari ketika anaknya kelelahan, “Tunaikanlah kewajiban pada Tuhanmu dan laksanakanlah pekerjaan keluargamu. Jika engkau hendak berangkat ke pembaringan, berdoalah dengan membaca tasbih sebanyak 33 kali, tahmid 33 kali, dan takbir 34 kali. Semuanya berjumlah 100. Itu semua lebih baik bagimu daripada pembantu rumah tangga.” (HR Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Kami rindu padamu wahai Rasulullah ﷺ 😭😭😭
Referensi:
1. Sirah wa Manāqib Umar bin Abdul Aziz Al Khalifah az Zahid, Ibnul Jauzi
2. Ad Daulah Al Umawiyah, Dr Ali Ash Shalabi