Impor Beras Makin Deras, Swasembada Pangan Kandas

Oleh. Q. Rosa

Swasembada pangan, sejak periode awal pemerintahan Jokowi telah digaungkan. Hingga di ujung akhir pemerintahan di periode kedua, program tersebut tak kunjung terwujud. Tiga bahan pokok yang ditargetkan untuk swasembada antara lain, jagung, kedelai, dan beras. Sementara beras yang dari awal ditargetkan menjadi komoditas yang paling memungkinkan dan mudah untuk diswasembada ditinjau dari sisi ketergantungan impor.

Tetapi sayang, di akhir pemerintahan, Jokowi justru telah jauh hari merencanakan impor beras sebanyak 3 jutaan ton untuk kebutuhan tahun 2024, yaitu 1 juta ton dari India dan 2 ton dari Thailand (Bisnis.com, 3/1/2024). Sungguh, harapan swasembada pangan kandas.

Impor Beras Bukan Solusi Baku

Impor senantiasa menjadi solusi praktis, menjadi pilihan saat terjadi stok beras dirasa kurang. Sementara persoalan ketahanan pangan negeri agraria ini kurang menjadi perhatian. Jika kondisi ini terus dibiarkan 20 tahun kedepan kita makan apa? Sungguh, kondisi yang miris jika dibayangkan. Analisis kenapa produksi beras terus menurun, mestinya digali secara detil guna mencari solusi yang tepat, agar ke depannya ketahanan pangan negeri agraria ini bisa mandiri, dan tidak tergantung pada asing.

Melihat fakta di lapangan, jika kita cermati berkurangnya produktivitas pertanian khususnya gabah disebabkan karena beberapa faktor antara lain:

Pertama, persoalan rencana tata ruang wilayah (RTRW), saat ini pemerintah lebih mengedepankan program percepatan ekonomi yang fokus pada industrialisasi yaitu alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan industri.

Pembangunan infrastruktur yang besar-besaran tanpa memperhitungkan pemetaan wilayah dan kontruksi lahan/tanah tepat untuk area apa, justru telah mengikis lahan pertanian. Mestinya regulasi yang dibuat dengan memperhatikan dan berdasarkan analisis tata ruang wilayah yang tepat dan sesuai kondisi tanah bukan di dasarkan pada permintaan investor, yang mencari lahan untuk membangun industri. Jika tidak memperhatikan hal tersebut maka menjadi wajar kalau produktivitas pertanian terus menurun.

Kedua, profesi yang kurang diminati generasi. Gambaran petani yang pekerjaannya berat, panas, dan penghasilan yang kurang menjanjikan, tentu tidak pernah menjadi cita-cita generasi muda. Apalagi para petani sering kali digambarkan dengan sosok yang lekat dengan kemiskinan dan kekurangan.

Generasi milenial lebih memilih pekerjaan menjadi buruh pabrik terlihat keren meski penghasilan minim. Harusnya faktor ini menjadi pengkajian pemerintah dengan perkembangan teknologi yang pesat dapat digunakan untuk menunjang produktivitas pertanian dan tentu akan menarik bagi generasi milenial untuk terjun dibidang pertanian.

Jadi, bukan hanya impor beras dari Thailand saja yang kita ambil. Kenapa tidak kita coba kemajuan teknologi yang digunakan pada pertanian juga kita impor agar menjadi inspirasi bagi petani khususnya kalangan milenial.

Ketiga, kurangnya perhatian pemerintah atas nasib para petani. Selama ini kelangkaan pupuk, mahalnya harga obat-obatan masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan. Petani dibiarkan pontang panting mencari pupuk saat musim tanam. Maka, terasa aneh jika dikatakan lahan pertanian menyusut, mestinya pupuk melimpah. Fakta yang terjadi justru sebaliknya keberadaan pupuk justru langka dan mahal.

Sisi lain yang menyulitkan petani adalah harga obat-obatan terus melambung, itu pun seringkali saat digunakan tidak ampuh, entah karena faktor palsu atau memang kwalitas obat yang menurun. Belum lagi jika dihadapkan dengan persoalan hama tikus seperti yang terjadi di Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, salah satu wilayah lumbung padi nasional. Petani dibiarkan menyelesaikan hama tersebut tanpa pendampingan, yang bahkan hingga hari ini telah banyak memakan korban nyawa karena kesengat arus listrik jebakan tikus.

Islam Menyelesaikan Persoalan Pertanian

Jika dalam sistem kapitalisme sekuler posisi pemerintah hanya menjadi regulator, dan menghilangkan fungsi pengurus atas urusan rakyat, tentu harapan swasembada pangan akan terus kandas. Itu artinya ketahanan negara juga menjadi taruhannya. Sementara posisi Islam sebagai sebuah sistem aturan yang sempurna karena berasal dari Sang Maha sempurna. Islam memiliki konsep yang rinci dan menyeluruh dalam mengatasi persoalan ketahanan pangan, antara lain:

Pertama, intensifikasi yaitu sebuah kebijakan dan regulasi yang di buat untuk meningkatkan produktivitas pertanian dengan penyediaan bibit unggul, obat-obatan, pupuk , teknologi peralatan pertanian dan lain sebagainya.

Yang semua ada dalam kontrol ketersediaan untuk rakyat dengan harga murah dan terjangkau. Memfungsikan kerjasama dengan para ahli, laboratorium dan perguruan tinggi dan sekolah-sekolah, untuk terus melakukan inovasi dan mengembangkan teknologi yang sumber dananya dari Baitul mal demi swasembada pangan, ketahanan dan pertahanan negara, kesejahteraan petani dan rakyat secara umum

Kedua, ekstensifikasi program yang berkaitan dengan peningkatan perluasan lahan. Konsep pemberian lahan (ihktha’) oleh negara untuk para petani yang tidak memiliki lahan secara cuma-cuma. Dalam Islam konsep ini pernah dijalankan oleh Khalifah Umar bin Khattab, yaitu pemberian lahan untuk penduduk Irak agar diolah jadi lahan pertanian.

Atau konsep tentang ihyaul mawat (menghidupkan tanah mati), bagi siapa saja yang tidak menanami lahannya selama tiga tahun maka lahan tersebut akan dianggap menjadi tanah mati, yang itu artinya jika ada orang lain yang datang untuk memagari dan menghidupkan tanah tersebut dengan menanami maka tanah tersebut menjadi miliknya. Mekanisme ini akan membuat pemilik lahan bisa memaksimalkan produktivitas lahannya, disamping akan memberikan kesempatan bagi petani lain yang tidak memiliki lahan, menjadi miliki lahan hingga bisa meraih kesejahteraan bagi keluarganya

Produktivitas peningkatan lahan ini akan berjalan dengan baik jika RTRW (Rencana Tata Ruang w
Wilayah) dilaksanakan sesuai pengkajian dan penelitian kontruksi lahan yang tepat. Tanpa memperhitungkan pihak pemberi investasi baik lokal atau asing

Ketiga, dukungan baitul mal.
Dalam sistem Islam, keluar masuknya APBN negara ada di baitul mal yang sumber pendapatannya bukan dari pajak. Tetapi dari hasil lahan kepemilikan umum berupa pertambangan, hutan dan laut, harta milik negara dan zakat mal.

Sementara pengeluaran, bisa digunakan untuk pengembangan produksi pangan negara dan pemberian modal maupun pinjaman negara pada para petani tanpa bunga

Keempat, dukungan politik ekonomi Islam. Sistem politik ekonomi dalam Islam dijalankan secara mandiri dengan pihak dalam dan luar negeri. Dengan seperangkat aturan yang sesuai syariah Islam demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Tanpa memberikan peluang pada pihak swasta atau asing yang dapat merugikan rakyat maupun negara.

Sistem politik Islam hanya bisa diterapkan oleh Khilafah, sistem Islam yang diridai Allah dan warisan Rasulullah saw.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi