Jejak Khilafah Di Sulawesi: Menyibak Jalinan Politik & Spiritual yang Dilupakan (9)

  1. Jalur Banten

Bukti alur pentahbisan sultan-sultan Sulawesi Selatan yang berasal dari Makkah-‘Utsmaniyah bisa kita lihat di fase berikutnya melalui Kesultanan Banten. Setelah Kesultanan Gowa dipimpin Sultan ‘Ala’uddin Tumamenang ri Gaukanna selama 46 tahun, pucuk kepemimpinan diambil-alih anaknya, I Manunntungi Daeng Mattola (berkuasa 1639-1653). Gelar Islamnya adalah Sultan Muhammad Malik as-Sa’id. Gelar ini disebut dalam Lontara’ Bilang Raja Gowa sebagai sebuah pemberian dari Makkah (anne karaeng uru nigallaraq ri Makka nikana Moammad Saed arenna memang nikana Malikosaid).1

Lontara’ Bilang Raja Gowa tidak banyak mengungkap bagaimana prosesi penganugrahan gelar “sultan” itu berlangsung. Justru kita akan mendapat banyak keterangan mengenai hal demikian dalam sumber Sajarah Banten. Sajarah Banten adalah sumber primer sejarah Kesultanan Banten. Ia ditulis oleh Sandisastra berdasarkan riwayat Ki Sandimaya, seorang sesepuh yang punya banyak pengetahuan sejarah. Sajarah Banten selesai ditulis pada tahun 1662 atau 1663,2 bertepatan dengan masa pemerintahan Sultan Abu’l-Fath ‘Abdul Fattah, yang terkenal dengan julukan Sultan Ageung II ing Tirtayasa (berkuasa 1651-1682).

Sebelum kita masuk dalam pembahasan Sajarah Banten yang menggambarkan prosesi pemberian gelar “sultan” dari Khilafah ‘Utsmaniyah-Syarif Makkah-Sultan Banten-Karaeng Gowa, mari kita perhatikan silsilah Sultan Ageung II ing Tirtayasa sebagaimana yang tertera dalam cap resminya: (a) al-Watsiq Billah as-Sulthan Abu’l-Fath bin; (b) as-Sulthan Abu’l-Ma’ali bin; (c) as-Sulthan Abu’l-Mafakhir bin; (d) Muhammad bin; (e) Yusuf bin; (f) Hasanuddin.3

Dalam silsilah tersebut, Sultan Ageung II ing Tirtayasa alias Sultan Abu’l-Fath menyertakan nasabnya sampai lima orang ke atas. Terlihat hanya dirinya, ayahnya (Sultan Abu’l-Ma’ali) dan kakeknya (Sultan Abu’l-Mafakhir) yang menggunakan gelar “Sultan”. Adapun buyut-buyutnya (Muhammad, Yusuf, Hasanuddin) yang merupakan tiga penguasa awal Banten hanya disebut nama tanpa ada gelar “Sultan”. Pada titik ini kita perlu menyorotkan pandangan secara khusus kepada sosok Sultan Abu’l-Mafakhir (berkuasa 1624-1651). Sebabnya, bermula dari posisinya dirinyalah gelar “Sultan” dalam urutan raja-raja Banten pertama kali dipakai, sebagaimana yang tertera dalam cap cucunya.

 

 

Cap-cap resmi Kesultanan Banten. (Kiri) Cap Sultan Abu’l-Fath ‘Abdul Fattah, alias Ageung II ing Tirtayasa; (kanan) Cap Sultan Abu’l-Mafakhir ‘Abdul Qadir, alias Ageung I ing Surasowan ketika masih bergelar “Pangeran Ratu”. Sumber: Gallop 2019, 661.

 

Nama asli Sultan Abu’l-Mafakhir adalah ‘Abdul Qadir bin Muhammad. Sebenarnya ia sudah diangkat menjadi penguasa Banten sejak tahun 1596 setelah ayahnya, Maulana Muhammad, syahid dalam perang di Palembang. Namun, saat itu ‘Abdul Qadir masih sangat belia sehingga urusan pemerintahan dijalankan oleh para mangkubumi Banten. ‘Abdul Qadir mulai efektif berkuasa tanpa perwalian mangkubumi pada tahun 1624. Ia juga punya cap resmi sendiri yang dibuat sebelum/sekitar tahun 1628. Sebagaimana cap cucunya, Sultan Ageung II ing Tirtayasa, ‘Abdul Qadir juga menyematkan nasabnya lengkap sampai Hasanuddin bin Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), pendiri Negara Banten yang berasaskan syariah Islam. Hanya saja, cap tersebut berpahatkan tulisan dan bahasa Jawa, yakni:

  1. Ngalamat Pangeran Ratu ingkang pandara ngadi Surasowan kang putra, (Cap Pangeran Ratu ‘Abdul Qadir penguasa agung di Surasowan, anak);
  2. Pangeran Sedangrana kang putu, (Pangeran Muhammad, cucu);
  3. Pangeran Pasareyan kang buyut, (Pangeran Yusuf, cicit);
  4. Pangeran Sabakingking ing Surasowan (Pangeran Hasanuddin di Surosowan).4

 

Cap di atas mengisyaratkan bahwa sejak pendirian Banten oleh Hasanuddin hingga era ‘Abdul Qadir, para penguasanya belum digelari sebagai “Sultan”, melainkan masih “Pangeran Ratu” atau “Pangeran”. Kalau begitu, dari mana Pangeran Ratu ‘Abdul Qadir mendapat gelar “Sultan” sebagaimana yang diisyaratkan dalam cap Sultan Ageung II ing Tirtayasa? [Bersambung]

 

Catatan kaki:

1        William P. Cummings, A Chain of Kings, 47, 79.

2        Hoesein Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sajarah Banten: Sumbangan Bagi Pengenalan Sifat-Sifat Penulisan Sejarah Jawa, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1983), 8-11.

3        Annabel The Gallop, Malay Seals from the Islamic World of Southeast Asia: Content, Form, Context, Catalogue, (Jakarta: The Lontar Foundation & The British Library, 2019), 661 (#1941).

       Ibid, 661 (#1940).

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi