Menggagas Kota Layak Anak, Nihil Kelayakan


Oleh. Puji Ariyanti
(Pegiat Literasi untuk Peradaban)

Anak adalah potensi dan generasi muda penerus cita-cita sebuah peradaban bangsa. Ia memiliki peran strategis dan mempunyai ciri serta sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa depan.

Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental, maupun sosial. Untuk itu, diperlukan jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.

Untuk itulah, pemerintah memberikan dukungan agar anak Indonesia tumbuh dan berkembang secara optimal. Pemerintah telah mengantisipasi melalui program kota layak anak atau KLA. Bahkan, KLA makin diangkat dan dijadikan prioritas pembangunan daerah. Pemerintah menjadikan KLA sebagai suatu cara untuk memenuhi hak anak.

Namun faktanya, semakin hari berita miris kekerasan terhadap anak makin marak. Bahkan, modusnya beragam hingga memunculkan banyak korban. Sungguh ironis, kasus eksploitasi anak masih terjadi di negeri yang menyebut dirinya kota layak anak.

Dirangkum dari Republika Jakarta, seorang remaja putri berinisial NAT (15 tahun) mengaku disekap dan dijadikan pekerja seks komersial selama 1,5 tahun. Korban dijanjikan pekerjaan dengan gaji besar dan dijebak dengan alasan memiliki utang (21/9/2022).

Konvensi Dijadikan Acuan Hak Anak
Adapun hak anak mengacu pada konvensi hak anak yaitu:
-Hak sipil dan hak kebebasan lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif.
-Kesehatan dan kesejahteraan dasar pendidikan dan pemanfaatan waktu luang.
-Kegiatan budaya serta perlindungan khusus anak.

Predikat KLA akan diraih jika memenuhi 31 cakupan indikator yang sudah ditetapkan. KLA diharapkan memutus mata rantai kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak agar terwujud idola 2030 (Indonesia layak anak pada tahun 2030).

Namun begitu, di beberapa daerah masih terjadi kekerasan serta eksploitasi terhadap anak. Fakta eksploitasi anak yang terus bermunculan. Predikat KLA tidak dapat menjamin terwujudnya perlindungan anak. Bisa jadi perlindungan anak hanya ada pada selembar kertas atau sekedar syarat agar lolos memperoleh predikat KLA.

Artinya, solusi yang diambil pemerintah tidak mampu untuk mencegah eksploitasi terhadap anak. Sebab solusi yang dibangun diambil dari nilai-nilai sekuler barat yang jauh dari ajaran agama (Islam).

Terlebih lagi liberalisme masih menjadi panduan kehidupan. Tak heran jika persoalan anak tak dapat terselesaikan. Selama tata kehidupan berlandaskan pada kebebasan akal manusia yang terbatas, sebagaimana dalam sistem kapitalis-sekularisme. Korban anak akan terus bermunculan dengan beragam modus.

Solusi Hanya Ada pada Islam
Islam memandang anak adalah amanah yang harus dijaga. Selain itu anak adalah calon pemimpin masa depan dan aset bangsa yang sangat berharga. Oleh karena itu anak harus tumbuh kembang secara optimal agar menjadi generasi yang mumpuni.

Kita butuh solusi menyeluruh untuk menyelesaikan persoalan anak secara tuntas. Islam memiliki serangkaian aturan yang mampu menyelesaikan persoalan anak dan memenuhi kebutuhan akan rasa aman pada diri anak-anak.

Islam bukan sekedar agama, tetapi sebuah aturan yang mengatur secara rinci kehidupan manusia. Untuk itulah Islam tidak hanya mengatur ritual atau aspek ruhiyah semata, tetapi juga akidah yang memancarkan seperangkat aturan untuk mengatur setiap aspek kehidupan.

Negara memiliki perlindungan terpadu nan utuh dari semua sektor. Dengan demikian anak tidak menjadi korban apalagi menjadi pelaku kekerasan. Dan ini semua adalah upaya negara.

Negara menjamin anak yatim dan anak-anak terlantar. Dalam hal ini sektor ekonomi berperan penting dalam pengaturan mekanisme perlindungannya dengan menjamin nafkah bagi tiap warga negara.

Sistem ekonomi Islam akan membuka lapangan kerja seluas-luasnya bagi pencari nafkah sehingga anak tidak menjadi korban eksploitasi dalam mencari uang untuk nafkah keluarganya.

Seorang Ibu berperan penting dalam mendidik dan membentuk kepribadian anak. Untuk itu, Islam membebaskan wanita dalam mencari nafkah, sehingga mereka bisa berkonsentrasi sebagai seorang ibu dalam pengasuhan anak-anaknya kelak.

Pembentukan kepribadian Islam agar masyarakat memiliki keimanan nan kokoh adalah mutlak. Sehingga dalam sektor pendidikan menerapkan pendidikan berbasis akidah Islam adalah urusan negara. Dengan demikian masyarakat senantiasa terikat kepada syariat Islam sehingga masyarakat akan memiliki kesadaran untuk melaksanakan seluruh kewajiban, serta mampu menghindari segala tindak kemaksiatan kepada Allah Swt.

Tayangan yang buruk dapat merusak pemikiran anak sehingga dapat mengantar kejahatan terhadap anak. Sistem informasi Islam menjaga berbagai tayangan merusak.

Jika terdapat tindak kekerasan dan eksploitasi terhadap anak, Islam akan memberikan sanksi dengan tujuan memberi efek jera dan mencegah pihak lain melakukan kejahatan serupa (zawajir) juga sebagai penebus dosa bagi pelaku (jawabir). Tentu saja sanksi ini digali dari hukum syariat Islam dan dijalankan oleh Khalifah/Qadhi.

Hanya saja penerapan berbagai sistem kehidupan tersebut tidak akan terwujud jika sistem yang digunakan masih bermuara pada sistem demokrasi seperti saat ini. Butuh sistem yang dapat membingkainya agar dapat menjadi sebuah aturan yang diridhoi oleh Allah SWT. Tentu saja hanya sistem yang bersumber dari wahyu Ilahi, yakni syariat Islam. Terkait pemimpin negara, Rasul saw. bersabda:

“Sesungguhnya imam itu laksana perisai tempat orang-orang berperang dibelakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim)
“Imam adalah pengurus, dia dimintai pertanggung jawaban terhadap rakyat yang diurusnya.” ( HR Muslim dan Ahmad)

Wallahu a’lam bissawab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi