Tambahan Personel Brimob Untuk Kasus Rempang, Bukti Kediktatoran Rezim?

Hesti Nur Laili, S. Psi.

Kasus Rempang dalam 2 pekan terakhir kian memanas. Antara pihak pemerintah dan warga kampung tua Pulau Rempang tak ada satupun yang mengalah. Pemerintah terus mendesak ratusan warga Rempang untuk segera angkat kaki, sementara warga Rempang sendiri enggan sedikitpun meninggalkan tanah mereka.

Pemerintah pusat melalui keputusan 3 menteri, dengan pengeksekusi Badan Pengusahaan (BP) sekaligus walikota Batam, Muhammad Rudi telah sepakat untuk segera melakukan penggusuran terhadap 4 kampung tua warga Rempang. Dan untuk memaksakan hal tersebut, pemerintah juga melakukan penambahan personel Brimob sebanyak 200 orang untuk pengamanan. (Riau.antaranews.com,14/9/2023).

Seperti yang kita tahu, akibat kasus yang kian memanas ini, timbul bentrokan antara warga sipil dengan aparat gabungan. Tembakan gas air mata dilakukan aparat hingga mengenai anak-anak sekolah di jam mereka belajar pada 7 September 2023 lalu. (cnnindonesia.com, 12/9/2023). Oleh karenanya, penambahan 200 personel Brimob diturunkan pemerintah dengan dalih membackup pengamanan di Rempang, termasuk ikut menjaga ketertiban unjuk rasa yang dilakukan masyarakat.

Tak hanya masyarakat penghuni kampung tua Pulau Rempang yang melakukan unjuk rasa terkait penolakan relokasi untuk pembangunan Rempang Eco City, tetapi juga masyarakat Batam yang merasa berempati terhadap nasib warga Rempang itu juga turun ke jalan, menyuarakan penolakan relokasi tersebut sekaligus menuntut pemerintah untuk membebaskan 8 warga Rempang yang ditangkap oleh aparat.

Kericuhan kembali terjadi setelah adanya keputusan bahwa 8 warga Rempang yang telah ditangkap justru dijadikan tersangka. (TribunPekanbaru.com, 14/9/2023). Diturunkannya ratusan personel Brimob bersenjata lengkap dan terlatih ke Pulau Rempang seolah membuat publik bertanya, pantaskah warga Rempang yang enggan untuk direlokasi dihadapan oleh ratusan personel Brimob yang bersenjata lengkap?

Padahal, tanah Rempang merupakan tanah rakyat. Warga yang tinggal di kampung-kampung tua yang hendak direlokasi tersebut adalah warga yang secara turun temurun dari generasi ke generasi sudah menempati pulau tersebut, bahkan sejak Indonesia belum merdeka. Namun nyatanya kini, tanah milik mereka disengketakan. Mereka dipaksa pergi meninggalkan tanahnya demi investor asing. Memaksa rakyat dengan menghadapkan mereka yang tak bersenjata itu dengan ratusan personel Brimob terlatih dan bersenjata lengkap.

Situasi dihadapkannya rakyat sipil dengan aparat militier dan kepolisian bukan sekali ini saja terjadi. Sebelumnya, ramai kasus Kanjuruhan pada 1 Oktober 2022 lalu yang memakan banyak korban sipil dengan total 794 orang, dan 134 orang di antaranya meninggal dunia. (Detik.com, 21/10/2022). Kasus tersebut menjadi panas lantaran penyebabnya tak lain adalah tindakan aparatur negara yang sewenang-wenang kepada para penonton sepak bola di dalam stadion. Warga sipil dipukul, ditendang, dihajar beramai-ramai oleh aparat dengan pentungan. Bahkan penonton di tribun pun tak luput oleh serangan aparat dengan ditembakkannya gas air mata sebanyak 7 kali. (Regional.kompas.com, 8/10/2022).

Selain kasus Kanjuruhan dan Rempang, masih banyak kasus-kasus kekerasan serupa yang dilakukan aparat militer dan kepolisian kepada rakyat sipil yang beredar melalui video-video amatir yang diunggah oleh warga melalui berbagai sosial media, yang bahkan tidak termuat di channel-channel berita televisi tanah air.

Berdasarkan fakta-fakta di atas, sungguh sangat mengherankan dan menjadi kontradiktif. Polisi, Brimob dan aparat militer lainnya yang seharusnya berfungsi menjaga, melindungi dan mengayomi rakyat seolah hanya sebagai wacana belaka. Bukti-bukti kekerasan yang dilakukan mereka kepada rakyat sipil menjadi sebuah fakta yang tak terelakkan, bahwa rakyat justru tidak dilindungi, tidak dijaga, dan tidak diayomi.

Sebenarnya, jika ditelisik lebih jauh, sungguh tak mengherankan jika sejatinya definisi aparat militer dan kepolisian menjadi pelindung dan pengayom masyarakat, berubah fungsi menjadi pembela, penjaga dan pelayan kepentingan oligarki. Aparat militer dikerahkan tidak lain bertujuan untuk kepentingan oligarki semata. Memuluskan proyek-proyek investor melalui proses pengurusan paksa yang disertai dengan kekerasan. Itulah yang terjadi jika suatu negara menerapkan ideologi dan sistem demokrasi kapitalis.

Penertiban kondisi masyarakat hingga terciptanya kondisi yang aman, lancar dan terkendali, tak lain hanya untuk kepentingan oligarki semata sebagai pemegang saham terbesar suatu negara. Tak peduli harus mengenyahkan hak rakyat yang seharusnya berhak dilindungi, atau justru kontraksi dengan wacana-wacana misi yang terpampang di serambi-serambi kantor kepolisian yang berisi “Melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat”.

Sangat berbeda dengan kepolisian di dalam negara Islam. Kepolisian atau yang disebut dengan syurthah merupakan suatu alat negara sekaligus penjaga tegaknya hukum-hukum syariat Islam. Selain itu, fungsi kepolisian di sini juga menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat dengan menjinakkan para pelanggar syariat pelaku maksiat, seperti perjudian, pencurian, narkotika, asusila, prostitusi, pelaku separatis, terorisme, pelanggaran lalu lintas, dan lain sebagainya.

Di dalam sistem daulah Islamiyyah, lembaga kepolisian atau syurthah ini berada di bawah Departemen Keamanan yang dipimpin oleh Amirul jihad.

Selain itu, fungi lain dari syurthah adalah
untuk menjaga sistem Islam dan terlaksanana hukum syara’ di dalam negeri. Syurthah juga membina, membimbing, serta mengevaluasi kualitas keamanan dalam negeri dan melaksanakan seluruh aspek teknis dalam eksekusi.

Fenomena membelotnya tugas, fungsi dan kewajiban kepolisian akhir-akhir ini seolah mengingatkan kita akan hadits Rasulullah shalallahu alaihi wasallam berikut yang selayaknya bisa menjadi bahan renungan untuk aparatur negara agar tidak lagi bertindak sewenang-wenang terhadap masyarakat sipil, yakni:

سَيَكُوْنُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ شُرْطَةٌ يَغْدُوْنَ فِـي غَضَبِ اللهِ، وَيَرُوْحُوْنَ فيِ شَخَطِ اللهِ، فَإِيَّاكَ أَنْ تَكُوْنَ مِنْ بِطَانَتِهِمْ.

“Akan ada di akhir zaman para penegak hukum yang pergi dengan kemurkaan Allah dan kembali dengan kemurkaan Allah, maka hati-hatilah engkau agar tidak menjadi kelompok mereka.” (HR Thabrani dalam Al Kabiir, Ithaaful Jamaa’ah ).

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi