Negeri Sakit, KDRT Kian Melejit?

Oleh. Ummu Ghozi (Komunitas Menulis Setajam Pena)

Kehidupan rumah tangga yang bahagia dan harmonis itu adalah harapan setiap orang. Namun, untuk mewujudkannya bukan hal mudah. Harus ada usaha dan kemauan yang kuat. Namun, terkadang harapan dan cita-cita harus pupus di tenggah jalan. Bagaikan sebuah perjalanan, pasti ada saja halangan dan rintangan yang datang. Apabila salah satu dari suami ataupun istri ada yang kehilangan arah, itulah pembuka pintu gerbang ketidakbahagiaan berawal.

Sering kita dengar banyak kasus rumah tangga yang terjadi di sekitar kita. Bahkan, di banyak stasiun TV juga menyiarkan tentang aneka kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). KDRT begitu lekat dekat dengan masyarakat, inipun terjadi disebabkan banyak pemicu di antaranya masalah perekonomian. Ini bukti jika negeri ini sedang tidak baik-baik saja.

Baru-baru ini, ada kasus KDRT/kekerasan/penganiayaan sampai pembunuhan yang mengakibatkan meninggalnya sang anak dan luka berat istri. Anggota Komnas Perempuan Rainy Hutabarat bahkan mengungkap bahwa kasus penganiayaan terhadap istri dan anak di Depok, Jawa Barat, yang berujung pada kematian anak merupakan bentuk kekerasan berbasis gender yang ekstrem. Pelaku kekerasan gender ekstrem RNA (31) menganiaya putri kandungnya KPC (11) hingga meninggal dan istrinya NI (31) hingga mengalami luka berat. Peristiwa tragis itu terjadi di Perumahan Klaster Pondok Jatijajar, Tapos, Depok, Jawa Barat pada Selasa (Republika.com, 6/11/2022).

Dilihat dari kacamata mana pun, itu adalah sebuah kesalahan. Dalam Pasal 1 angka 15a Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.

Dalan Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga atau yang dikenal dengan nama UU Penghapusan KDRT (disahkan 22 September 2004). UU ini melarang tindak KDRT terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya dengan cara kekerasan fisik, psikis, seksual atau penelantaran dalam rumah tangga. Orang-orang dalam lingkup rumah tangga yang dimaksud adalah suami, istri, anak, serta orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian, menetap dalam rumah tangga serta orang yang bekerja membantu dan menetap dalam rumah tangga.

Misalkan, dilihat dari sisi moral serta adat pun ini bukan perbuatan yang berfaedah dan tidak disukai banyak orang. Apalagi yang paling penting dampak yang ditimbulkan pada mereka itu luar biasa, rekoveri mental, fisik dan spikis.

Banyak juga orang beranggapan bahwa itu dilihat dari sisi gender. Bagi para pengiat keseteraan gender, isu ini semakin dikibarkan. Sebenarnya, itu adalah sebuah mimpi semu bagi pengiat ini. Karena dalam negara maju, kasus serupa banyak terjadi. Kekerasan dilakukan oleh sesama laki-laki ataupun pembunuhan oleh sesama perempuanpun bukan tak biasa. Jadi misalkan dipandang dari gender ini bukanlah kacamata yang cocok untuk menilai perbuatan itu baik dan buruk.

Kita sebagai seorang muslim memang diwajibkan melakukan segala sesuatu dan menentukan baik buruk itu bersumber dari Allah Swt. Segala sesuatu yang dilarang pasti itu mengandung mudhorot untuk kita. Bahkan, kita juga diperintahkan untuk menjaga keluarga. Allah berfirman:

“Jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka.” (QS. At-Tahrim: 6)

Ayat ini bisa dijadikan rambu-rambu dalam berkeluarga terutama bagi seorang suami atau ayah yang punya peranan penting sebagai nahkoda sebuah kapal rumah tangga itu terus melaju lambat, sedang, cepat maupun bertahan hingga karam di tengah jalan. Sebab Allah menciptakan manusia laki-laki dan perempuan dengan segala potensi kekuatan, kewenangan, tugas, dan tanggung jawab yang berbeda.

Seorang laki-laki dilebihkan oleh Allah dalam fisik dan pemikiran diberikan tanggung jawab sebagai pemimpin rumah tangga serta mencari nafkah. Sedangkan seorang perempuan dilebihkan perasaan dan diberikan amanah untuk mendidik anak dan keturunannya. Mereka berdua disatukan dalam rumah tangga untuk saling melengkapi, menjaga dan kerjasama. Bukan untuk mengunakan kelebihan potensi yang dimilikinya untuk menyakiti yang lain.

Memang untuk menyelesaikan ini bukan pekerjaan yang mudah, PR untuk kita semua. Sebagai muslim, tentu kita mengharap hukum Islam diterapkan. Dalam kasus-kasus seperti ini, maka hukum diyat bisa memberi solusi. Seseorang yang melukai mata, telingga, hidung, perut, dan anggata tubuh yang lain ada sanksinya. Untuk pembunuhan juga harus dihilangkan nyawanya. Itu sebagai penghormatan bahwa Islam sangat menghargai nyawa.

Membunuh seseorang tanpa hak dalam Islam bagaikan menghancurkan alam semesta ini. Kenapa juga ini diterapkan? Sebagai penebus dosa untuk pelaku di hadapan Allah nanti serta sebagai pencegah bagi muslim lainnya untuk tidak melakukan perbuatan tersebut. Orang akan berpikir berulang kali akan melakukan perbuatan kejahatan, jarimah, merugikan orang lain karena melihat atau paham sanksi yang akan mereka terima.

Allahu a’lam bishowab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi