Menyoal Pemberantasan Korupsi

Oleh. Ummu Aqila

Lagi-lagi korupsi seolah menjadi menu wajib peradilan. Korupsi bisa terjadi di mana dan kapan saja, bahkan terjadi di lembaga yang notabene yang digadang-gadang antikorupsi. Praktik pungutan liar atau pungli di lingkungan rumah tahanan (rutan) KPK saat ini tengah menjadi sorotan. Selain nominal besar hingga Rp4 miliar, sejumlah parpol memandang perlu pembenahan sistem internal KPK.

Insiden ini terungkap setelah Dewan Pengurus (Dewas) KPK mengumumkan temuannya terkait pungutan liar di Rutan KPK. Ketua Dewan KPK Tumpak Hatorangan Panggabean mengatakan, temuan itu berdasarkan inisiatif riset dewan. “Oleh karena itu, dewan sudah menginformasikan kepada pimpinan KPK untuk melanjutkan penyidikan,” kata Tumpak dalam jumpa pers di gedung ACLC KPK (kumparannews, 19/6/2023).

Wakil Presiden KPK, Nurul Ghufron mengungkapkan, dugaan pungli di Rutan Cabang Merah Putih di Distrik Kuningan, Jakarta Selatan diduga sudah terjadi sejak lama. Namun, ini menjadi jelas baru-baru ini. Pungli diduga berupa penerimaan suap, hadiah, dan memeras narapidana KPK untuk menerima bantuan dan menggunakan alat komunikasi. Menanggapi kejadian tersebut, Zaenur Rohman, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (PUKAT UGM), melihat terungkapnya kasus dugaan pungli di Rutan KPK sebagai bukti pemerintah KPK bisa bertindak tegas. Sayangnya, ketegasan tersebut meninggalkan kesan selektif.

“Bisa dilihat Dewas bisa tegas banget kalau berhadapan dengan karyawan yang artinya level bawah. Tapi dengan Lili Pintauli Siregar, Dewas sepertinya tidak menunjukkan sikap tegas,” kata Zaenur dalam keterangannya. Kritik terhadap kinerja Dewas juga datang dari mantan penyidik KPK Novel Baswedan yang mengatakan bahwa klaim Dewas menemukan kasus dugaan pemerasan sebenarnya palsu karena penyidik KPK melaporkan hal tersebut namun Dewa tidak menanggapinya (tirto.id, 23/6/2023).

Apa pun bentuknya, korupsi yang terjadi di lembaga-lembaga pemerintahan menunjukkan lemahnya kekuatan hukum yang mengikat mereka. Masih ada celah yang memberikan kesempatan untuk berbuat hal yang sama di massa mendatang. Perubahan regulasi tidak menghasilkan perubahan yang signifikan terhadap koruptor dan calon koruptor. Sungguh disesalkan adanya korupsi di lingkungan antirasuah. Sebuah lembaga yang seharusnya menjadi contoh justru melakukan hal yang sama.

Dugaan pungli Rp4 miliar menjadi bukti bahwa integritas pembentukan dan personel lembaga dipertanyakan. Orang-orang yang dipilih sebagai pegawai atau penyidik lembaga harus berintegritas tinggi dalam memberantas korupsi. Sebab, merekalah tumpuan dan harapan rakyat agar korupsi tidak merajalela di lembaga-lembaga pemerintahan. Bak sebuah sindiran, “Jangan salahkan tikus masuk rumah, bila rumah adalah sarang tikus”.

Rumah tikus ibarat sistem yang ada pada saat ini. Sistem demokrasi sekuler yang menghasilkan pejabat yang korup di mana-mana, diakui atau tidak integritas dikorbankan demi uang. Kepercayaan bisa dikhianati oleh nafsu akan kekuasaan. Dari korupsi tingkat rendah seperti pemerasan hingga korupsi besar seperti suap milyaran. Di sisi lain, sistem sekularisme tidak membentuk ketakwaan masyarakat yang memungkinkan setiap orang untuk melindungi diri dari godaan kekayaan duniawi dan saling menasihati antar individu bila ada yang curang atau mengkhianati rakyat. Yang terjadi, mereka justru melakukan korupsi ber jemaah tanpa malu dengan perbuatan maksiatnya.

Tidak mengherankan jika pemberantasan korupsi juga terkesan formalitas belaka, namun sangat jauh dari bisa dipercaya. Pelaku bukannya malu, tetapi justru menjijikkan ketika peradaban yang korup disamakan dengan cara mencari nafkah. Semua ini adalah mimpi buruk yang menunggu untuk dihancurkan. Selama rumah tikus ini masih dipelihara, Indonesia yang bebas korupsi hanyalah mimpi. Sudah menjadi rahasia umum sistem kapitalis demokrasi sekuler memberi jalan bagi korupsi. Konsekuensi dari munculnya kapitalisme adalah tentakel korupsi itu sendiri. Ini karena kapitalisme menempatkan uang/kapital pada mahkotanya.

Hal ini tentu saja membuat setiap orang yang terlibat fokus dengan cara yang sama ketika bertindak, yaitu uang dan uang. Jika mereka tidak puas dengan jumlah keuntungan yang mereka peroleh dari (kurang) saluran resmi, mereka selalu mencari celah baru untuk mengumpulkan lebih banyak uang melalui saluran tidak resmi juga.

Kondisi ini tentu sangat berbeda dengan sistem hukum dan sanksi Islam. Islam memiliki mekanisme yang tepat untuk memberantas korupsi, yaitu pilar negara, masyarakat, dan individu beriman dan bertaqwa dalam menekan segala kejahatan dan maksiat, termasuk korupsi. Mekanismenya adalah sebagai berikut, pilar negara yang menegakkan seluruh syariat Islam dan kekuasaan Islam kaffah yang menjadi perisai bagi seluruh rakyat. Hukum peradilan Islam dalam memberantas korupsi tidak terlepas dari sifat sistem pidana Islam, yaitu zawajir (pencegahan) dan jawabir (penebus). Tujuannya adalah untuk mencegah orang lain yang bukan pelaku melakukan kejahatan yang sama, dan jika pelaku dihukum, sanksi tersebut dapat menebus dosa-dosa mereka.

Pilar masyarakat dengan perasaan yang sama dalam memenuhi semua aturan negara, memberikan koreksi kepada mereka yang berkuasa ketika hukum dilanggar. Adapun pilar individu yang beriman dan bertakwa kepada Allah. Pejabat yang salah tidak butuh waktu lama untuk menyimpan kesalahan. Dia berpikir bahwa hukuman setelah kematian lebih berat. Oleh karena itu, pelaku menyerahkan diri kepada pihak berwenang dan mengakui kesalahannya. Dia juga senang dengan hukuman yang diberikan kepadanya. Hal ini jelas memudahkan proses hukum bagi pelaku kejahatan.

Dalam.pengadilan Islam, hakimnya adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa. Hakim yang mengadili menurut hukum Islam dan hakim yang menerapkan hukum secara adil menurut aturan syariah. Penguasa Islam memberikan kontrol maksimum pada semua pejabat, termasuk mengontrol semua harta hakim. Dengan demikian, sistem Islam mampu menerapkan sistem antikorupsi, yaitu penerapan Islam kafah dalam kerangka Khilafah. Memberantas tikus dalam rumah tikus adalah sebuah ilusi, sama mustahilnya melindungi kebenaran dan kejujuran dalam sistem sekuler yang melemahkan akidah dan menjauhkan manusia dari aturan Islam.

Wallahu’ a’lam bishawab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi