Kelangkaan Pupuk, Bukti Buruknya Sistem Kapitalisme

Oleh. Arsanti Rahmayanti (Pegiat Literasi)

Ketua Komisi IV DPR RI, Sudin, menyoroti perbedaan angka e-alokasi dan realisasi kontrak dalam pupuk subsidi imbas adanya laporan langkanya pupuk subsidi di daerah. Menurut data yang diperoleh Sudin, pupuk subsidi yang dialokasi oleh Kementerian Pertanian (Kementan) tercatat sebesar 7,85 juta ton, sedangkan dalam realisasi kontrak Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) antara Kementan dengan PT Pupuk Indonesia (Persero) hanya 6,68 juta ton.

Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian (Kementan), Ali Jamil menjelaskan realisasi kontrak subsidi pupuk subsidi memang hanya 6,68 juta ton dan alokasi 7,65 juta ton. Menurutnya, masalah terletak pada anggaran Kementan untuk pupuk subsidi sebesar Rp25 triliun yang cukup hanya untuk 6,68 juta ton. Maka dari itu, Kementan meminta tambahan anggaran pupuk subsidi ke Kementerian Keuangan. Dengan begitu, alokasi 7,65 juta ton pupuk subsidi diharapkan bisa terpenuhi.

Menanggapi kelangkaan pupuk yang terjadi, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menggelar workshop bertema ‘Transformasi Kebijakan Subsidi Pupuk’ bersama Kementerian Pertanian di Sentul, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Hadir dalam kegiatan itu Wakil Ketua Ombudsman RI, Bobby Hamzar Rafinus, dan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo.

Bobby mengatakan, Ombudsman melakukan pengawasan terhadap distribusi pupuk bersubsidi. Menurutnya, pengawasan itu dilakukan hingga tingkat kota/kabupaten. “Karena peredaran pupuk bersubsidi ini melibatkan berbagai pihak. Tidak hanya BUMN, tapi juga para masyarakat yang masuk ke dalam lini perdagangan distribusinya,” kata Bobby.

Untuk diketahui, tidak jarang ada petani yang mengeluh pupuk langka di daerahnya karena dua hal, yakni petani tersebut belum terdaftar sebagai penerima pupuk bersubsidi dan jatah yang diterima tidak sesuai dengan keinginan. Masalahnya, Pupuk Indonesia tidak bisa mendistribusikan dengan jumlah yang melebihi atau di luar dari ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Ditambah lagi sejak Februari 2022, yang tidak lain adalah masa tanam, ternyata harga pupuk dunia terus merangkak naik sehingga membuat konsumen kebingungan.

Memang harga pupuk global pada Desember 2021 hingga Januari 2022 masih berada di kisaran US$1.000 atau sekitar Rp15 juta per ton. Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia (APPI) menganggap level tersebut sudah termasuk tinggi bila dibandingkan dengan rata-rata harga sebelumnya (Kontan, 7/2/2022).

Permasalahan Pupuk

Sekretaris Jenderal APPI, Achmad Tossin Sutawikara menyatakan bahwa kenaikan harga pupuk yang terjadi saat ini tidak akan terlalu berpengaruh terhadap produktivitas maupun harga produk jadi yang dipasarkan. Ia juga menyatakan, terkait hal ini, para produsen pupuk nonsubsidi tetap berupaya menjalankan langkah-langkah penyesuaian harga jual pupuk agar tidak terlalu memberatkan konsumen. Beberapa langkah yang sudah ditempuh para produsen sejak November 2021 antara lain tidak melakukan ekspor.

Selain itu, memberlakukan harga jual lebih rendah dibandingkan harga pasar untuk konsumen ritel atau eceran dengan tetap memperhatikan mekanisme pasar. Hal ini karena perbedaan harga yang terlalu lebar dengan harga pasar internasional, berpotensi menimbulkan rembesan. Akibatnya, bantuan ini bisa saja tidak tepat sasaran.

Pengamat Kebijakan Publik, Dr. Deni M. Danial, S.Sos., M.M. menilai, masalah kebijakan pupuk subsidi ini sudah terjadi sejak 1969. “Sejak 1969, sebetulnya, hingga saat ini pupuk masih terus menjadi masalah di Indonesia, apalagi pupuk bersubsidi ini sangat dibutuhkan bagi petani,” ungkapnya.

Deni melanjutkan, program pupuk subsidi dimulai pada waktu itu (1969) dan terus berkembang hingga 1998. “Pada 1998 terjadi krisis moneter yang menyebabkan subsidi dihentikan. Baru pada 2003 program dilanjutkan kembali dengan perbaikan-perbaikan,” imbuhnya.

Ia menyebut, setidaknya ada lima perbaikan yang dilakukan pemerintah, mulai dari mekanisme pendataan, penyaluran, pembuatan kartu tani, sistem informasi manajemen penyuluh pertanian, dan realokasi anggaran. Meski demikian, kata Deni, perbaikan itu masih tetap menyisakan permasalahan yang banyak. Ia menyebut setidaknya ada sepuluh masalah terkait pupuk bersubsidi ini.

Adapun permasalahan pupuk yaitu (1) subsidi tidak seluruhnya dinikmati oleh petani, tetapi justru oleh pengecer, (2), kartu tani yang dibuat pemerintah tidak sinkron. Misalnya, kartu tani dibuat seratus buah, tetapi yang bisa membeli pupuk subsidi hanya 50 orang, (3), meski bersubsidi, harga tetap mahal. Ini yang membuat hasil produksi tidak seimbang dengan biaya yang dikeluarkan, (4) perdagangan pupuk bersubsidi antar daerah banyak yang ilegal sehingga harganya melebihi harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah, (5) produksi pupuk kadang tidak sesuai dengan musim tanam petani sehingga tidak ada gunanya.

Selain itu, (6) banyak data penerima pupuk bersubsidi dipalsukan, (7) pengecer resmi menjual pupuk bersubsidi secara bebas tanpa mengacu pada daftar kartu tani, (8) pengecer resmi menjual pupuk bersubsidi dengan harga di atas HET, (9) pengecer ketika menjual pupuk bersubsidi disertai paket lain yang harus dibeli oleh petani yang makin membebani petani, serta (10) realisasi anggaran pupuk bersubsidi kurang dari separuh dari yang seharusnya.

Munculnya berbagai permasalahan pupuk bersubsidi ini tidak lepas dari kreasi mafia kapitalis. Contohnya kelangkaan rantai pasok pupuk terjadi karena ada penimbunan oleh para kapitalis. Di samping itu, para kapitalis membuat ketergantungan pertanian dengan pupuk kimia, sedangkan pembuat pupuk kimia itu merupakan industri yang dibuat oleh para kapitalis. Dengan ketergantungan ini, mereka bisa memainkan harga dengan mekanisme kelangkaan sehingga menguntungkan mereka dan merugikan petani.

Islam Memandang

Masalah kebijakan pupuk tidak bisa dipisahkan dengan kebutuhan ekonomi. Islam sebagai agama yang sempurna pun mengatur masalah pertanian terutama pupuk, diatur dalam Departemen Kemaslahatan Biro Pertanian. Di mana masalah pertanian adalah fokus utama karena terkait dengan terpenuhinya kebutuhan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Anas ra meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda,

“Seorang muslim tidaklah menanam sebatang pohon atau menabur benih ke tanah, lalu datang burung atau manusia atau binatang memakan sebagian daripadanya, melainkan sesuatu yang dimakan itu merupakan sedekahnya.” (HR. Bukhari)

Maka, Khilafah akan mengupayakan secara serius masalah pertanian ini, menjamin ketersediaan pupuk dengan baik, dan tidak akan ada kelangkaan karena tidak adanya biaya. Khilafah akan mengalokasikan dana pertanian dari Baitul Mal dari Pos kharaj, fai’, ghonimah, ghulul, usyur dan sebagainya.

Negara Islam akan benar-benar mengurus urusan rakyatnya tanpa mencari keuntungan dari rakyatnya. Khalifah dan perangkatnya paham betul bahwa keberadaan mereka sebagai pelayan masyarakat semata-mata karena kewajiban mereka yang telah di bebankan oleh syariat, bukan untuk mencari keuntungan.

Betapa lengkap solusi yang ditawarkan sistem Islam. Semoga sistem kembali tegak demi kemaslahatan manusia. Wallahu a’lam bishowab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi