BBM Melimpah, untuk Siapa Membayar Bioetanol?

Oleh. Fatmawati

Baru-baru ini, terdengar lebih santer kabar tentang launching-nya bioethanol yang digadang-gadang akan mampu mengurangi tekanan impor BBM serta lebih ramah lingkungan. Campuran E5 etanol dengan BBM jenis Pertalite dinilai mampu meningkatkan kualitas RON menjadi setara dengan Pertamax.

Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati, menyatakan bahwa bioetanol dibuat dari tetes tebu, selain dapat juga dibuat dari berbagai bahan seperti singkong dan jagung yang sumber dayanya cukup banyak di Indonesia (industri.kontan.co.id, 7/6/2023).

Produksi bioetanol dalam sekala besar juga akan mampu menyerap tenaga kerja baik di perkebunan maupun fasilitas produksi molase dan etanol. Demi menunjukkan keseriusan implementasi penggunaan Bioetanol ini, peta jalan strategis untuk percepatan implementasi Bioetanol di Indonesia telah diluncurkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), bersama tim riset Institut Teknologi Bandung (ITB), serta didukung oleh US Grains Council (USGC) (esdm.go.id, 7/12/2022).

Bahkan, perkumpulan produsen etanol, Asosiasi Penyalur Spiritus dan Ethanol Indonesia (Apsendo), telah berkonsolidasi dengan Kementerian ESDM dalam rangka menyambut rencana Pertamina untuk mengedarkan BBM jenis baru yaitu campuran Pertamax dengan bioetanol (katadata.co.id, 9/6/2023).

Sayangnya, dari banyak wacana keunggulan yang ditawarkan bahan bakar campuran bioethanol ini, ternyata harganya tidak semenarik keunggulan-keunggulan lainnya. Menurut VP Corporate Communication, Fadjar Djoko Santoso, bahan bakar beroktan 92 itu diperkirakan harganya akan di atas harga pertamax saat ini karena Research Octane Number (RON) bioethanol lebih tinggi (cnnindonesia.com, 9/6/2023).

Munculnya inovasi baru berupa penggunaan bioetanol yang memiliki banyak keunggulan dari berbagai aspek tentu saja terdengar menyenangkan. Bahan bakar minyak bumi akan lebih bisa dihemat, kerusakan lingkungan terminimalisir, masyarakat dapat ikut memproduksi bioetanol, pengangguran akan berkurang, dan seterusnya. Namun, sepertinya ada banyak hal pula yang tidak dimunculkan dalam pewacanaan implementasi penggunaan bioetanol ini.

Misalnya, ketika implementasi penggunaan bioetanol ini benar-benar telah dilaksanakan, maka akan sangat besar kebutuhan lahan penyedia bahan baku etanol ini. Hal ini juga berarti mengharuskan pembukaan lahan yang akan mengurangi luasan hutan sebagai paru-paru dunia. Akibatnya, masalah lingkungan bukan berkurang, tetapi bertambah. Selanjutnya, jika masyarakat pun dapat membuat etanol, tentu saja harus dipikirkan dengan matang dampak ikutan yang mungkin terjadi. Dengan produksi etanol skala rumah tangga, penyalahgunaan bahan ini untuk minuman keras juga terbuka lebar.

Pertanyaan berikutnya, apakah benar, masyarakat mampu untuk membuat etanol dengan standar kualitas tertentu yang siap pakai untuk kendaraan bermotor dan keamanannya? Tentu saja produksi bioetanol untuk bahan bakar hanya akan mampu diproduksi oleh pabrik-pabrik besar dengan standar yang teruji. Kita juga tentu saja masih ingat bagaimana para petani jarak mengalami banyak kerugian dengan mangkraknya pabrik yang dibangun oleh pemerintah daerah maupun pusat mangkrak (kompas.id, 7/2/2017).

Berikutnya adalah tentang harga. Harga pertamax-etanol ini diprediksi lebih mahal dari pertamax (merdeka.com, 24/06/2023), lalu implementasi penggunaannya akan dilakukan di seluruh Indonesia, maka pertanyaannya, ini sebenarnya kebijakan untuk siapa?

Bukan mempermudah urusan masyarakat, kebijakan implementasi bahan bakar bioetanol ini seakan memaksa rakyat untuk membeli kebutuhan mereka yang sebenarnya telah tersedia di alam. Bagaimana tidak, Indonesia tercatat sebagai penghasil BBM terbesar nomor 24 di dunia (detik.com, 5/9/2022), tetapi rakyatnya harus membayar mahal bahan bakar ini.

Inilah akibat dari hegemoni sistem kapitalisme. Para kapitalis menguasai seluruh kebutuhan strategis rakyat untuk mendapatkan keuntungan yang besar bagi diri mereka sendiri.

Kita bisa melihat bagaimana pihak-pihak yang hanya memperhatikan keuntungan bagi dirinya memonopoli aspek strategis ini untuk kepentingan mereka sendiri. Sistem ini melanggengkan kesengsaraan terhadap manusia bahkan lingkungan. Dengan penerapan sistem ini, masalah tidak akan selesai tetapi akan terus bertambah parah. Maka sistem ini harus segera diganti dengan sistem yang berasal dari Allah, Zaat Yang Maha Adil, yakni sistem Islam.

Sistem Islam menjamin kebutuhan masyarakat dengan adil. Di dalam sistem Islam, BBM adalah milik ummat yang seharusnya dikelola negara dan dikembalikan untuk mereka dengan gratis atau dengan harga murah. Khalifah harus mengatur urusan ini dengan hukum Islam. Bagaimana jika ada inovasi baru dalam hal energi yang mampu memberikan manfaat lebih baik bagi masyarakat? Maka, khalifah harus mempertimbangkan seluruh aspek dengan melibatkan para ahli dalam bidang ini, meskipun keputusan akhirnya tetap ada pada tangan Khalifah. Misalnya dari sisi efisiensi, pengadaan bahan baku, kelestarian lingkungan, keterjangkauan harga oleh masyarakat, dan seterusnya.

Keadilan kebijakan yang diambil Khalifah akan terjamin dalam sistem Islam karena adanya kontrol masyarakat yang bertaqwa dengan standar yang jelas, yaitu hukum Islam. Ketika kebijakan Khalifah tidak sesuai dengan hukum syara’, maka majelis umat atau bahkan masyarakat akan memberikan muhasabah bagi Khalifah.

Bagaimana pun, legalisasi sebuah kebijakan ada di tangan pemerintah. Mereka akan diminta pertanggungjawabannya kelak di hari perhitungan amal dan terwujudnya kepemimpinan yang adil harus didukung dengan sistem yang benar, yang berasal dari Allah, yakni sistem Islam.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi