Mengapa Lonjakan Impor Menjelang Lebaran Selalu Berulang?

Oleh. Nabila Sinatrya
(Kontributor MazayaPost.com)

Idulfitri sudah menghitung hari. Hal yang berulang terjadi adalah meningkatnya konsumerisme yang memicu lonjakan impor barang-barang konsumsi. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan kenaikan impor barang konsumsi per Februari 2024 naik 5,11% atau sebesar sebesar US$ 1,86 miliar. Jika dirincikan, kenaikan impor mesin atau peralatan mekanis dan bagiannya (HS 84) sebesar 77,77%, kendaraan dan bagiannya (HS 87) 46,46%, dan mesin atau perlengkapan elektrik serta bagiannya (HS 85) 30,79%.

Komoditas pangan juga mengalami peningkatan pesat. Di antaranya beras naik 93% secara volume dan secara nilai naik 148,63% khusus periode Januari-Februari 2024. Bawang putih naik 374,20% secara volume, dan naik 357,01% secara harga. Gula naik volumenya 828,42 atau senilai US$ 508,86 juta ribu ton (cnbcindonesia.com, 15/03/2024).

Waka Satgas Pangan Polri Kombes Samsul Arifin memastikan ketersediaan beras mencukupi hingga Idulfitri 1445 H. Namun, keran impor masih saja terbuka lebar. Seringkali dalih yang digunakan adalah untuk mewujudkan swasembada pangan. Alasan lain karena perubahan iklim yang mempengaruhi lahan pertanian dan hasil panen juga meningkatnya pertumbuhan penduduk, sehingga langkah yang tepat menurut pemerintah adalah dengan impor.

Kebijakan impor harusnya menjadi solusi terakhir, namun hari ini seolah sudah menjadi tradisi yang berulang terjadi. Padahal sejatinya Indonesia memiliki potensi besar untuk mewujudkan kemandirian pangan tanpa harus impor. Penerapan sistem kapitalisme membuat Indonesia harus menandatangani ratifikasi Agreement of Agriculture yang tidak bisa lepas dari liberalisasi pasar. Artinya tidak boleh ada hambatan tarif dan hambatan lainnya dalam arus komoditas barang dan jasa antar negara. Ketergantungan terhadap impor dapat mengancam kedaulatan suatu negara.

Sejak disahkannya Undang-undang Cipta Kerja Omnibus Law pengadaan pangan hanya berorientasi pada bisnis. Swastanisasi tumbuh subur dalam sistem ini, tak heran jika korporasi raksasalah yang menguasai dari sektor hulu hingga hilir. Paradigma kapitalisme juga memandulkan peran negara dalam mengurusi urusan rakyatnya termasuk persoalan pangan.

Berbeda dengan Islam, negara bertugas layaknya penggembala sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Imam yang diangkat (penguasa) untuk memimpin manusia itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya).“ (HR. Imam Al Bukhari)

Islam mewajibkan negara berdaulat dan mandiri termasuk dalam masalah pangan. Upaya yang bisa dilakukan dengan intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi bisa dilakukan dengan pemberian subsidi untuk keperluan sarana produksi pertanian dan peternakan seperti pemberian modal, peralatan, pemasaran, pembangunan infrastruktur guna menunjang lancarnya arus distribusi, dan sebagainya. Sedangkan ekstensifikasi dengan meningkatkan luasan lahan yang akan dikelola, sebagaimana pernah dicontohkan pada masa Amirul mukminin Umar bin al-khatthab yang mengeringkan daerah Delta Sungai Eufrat dan Tigris untuk dibangun saluran-saluran irigasi dan di rekayasa menjadi lahan pertanian.

Negara terus memantau dari produksi sampai dapat dikonsumsi. Pemantauan ini juga menjaga harga produk di pasar normal dan wajar sehingga tidak terjadi distorsi pasar dan monopoli harga, sehingga negara tak lagi bergantung pada impor. Wallahu a’lam bissawwab

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi