Kekerasan Seksual dicegah dari keluarga, Cukupkah?

Oleh. Nikmatul Choeriyah (Aktivis Muslimah Purwakarta)

Dikutip dari Jakarta, IDN Times.com , Staf Ahli Menteri Bidang Pembangunan Keluarga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Indra Gunawan mengatakan, banyak anak enggan melapor saat jadi korban kekerasan seksual di rumah. Korban berpikir hal itu adalah aib atau mencoreng nama baik. Dia mengimbau agar orang tua juga bisa menciptakan ruang aman dan nyaman bagi anak untuk berkomunikasi.

“Mencegah terjadinya kekerasan seksual dapat dimulai dari keluarga, sebab keluarga sebagai lembaga terkecil yang aman bagi setiap anggota bisa melindungi anak-anak mereka dari kekerasan seksual. Peran keluarga dalam pencegahan dapat dimulai dari memberikan edukasi kepada seluruh anggota keluarga terutama anak-anak serta membangun komunikasi yang berkualitas bagi anggota keluarga,” kata Indra dalam kegiatan Media Talk di kantor KemenPPPA, Jakarta Jumat (25/8/2023).

Memang benar bahwa keluarga memiliki andil dalam kasus ini. Namun perlu dipahami, kasus kekerasan seksual yang terjadi bukan hanya karena rapuhnya keimanan seseorang semata atau minimnya literasi terkait hal itu. Tidak bisa dimungkiri bahwa banyaknya kasus kekerasan seksual adalah buah dari sistem yang diterapkan saat ini yakni sistem sekularisme kapitalis yaitu memisahkan agama dari kehidupan. Sehingga orientasi hidupnya hanya untuk meraih kesenangan dan kepuasan duniawinya saja.

Di dalam sistem kapitalisme saat ini kekerasan bersandar pada persetujuan/ consent. Ketika ada wanita yang genit ke seorang pria tidak dianggap kekerasan seksual sebab seorang pria tidak ambil pusing alias setuju-setuju saja atau jika ada seorang pria berinteraksi seksual dengan pacarnya tidak dianggap kekerasan, karena dianggap saling setuju.

Kapitalisme mendefinisikan kekerasan seksual sebatas tindakan seksual yang dilakukan pada seseorang tanpa persetujuan si objek seksual. Jika persetujuan telah ada, kekerasan dianggap tidak ada.

Kondisi tersebut berbeda dengan Islam, bagaimana Islam memandang kekerasan seksual? Dalam Islam, dianggap terjadi kekerasan seksual ketika interaksi lawan jenis tidak sesuai hukum syara. Ada tidaknya persetujuan, interaksi di luar ikatan halal adalah kekerasan seksual. Meskipun kedua belah pihak dalam ikatan sexual consent atau saling setuju melakukan aktivitas seksual. Dari kacamata syara tetap dianggap kekerasan seksual.

Betapa Islam memiliki standar yang konsisten, sebab lahir dari Sang Pencipta manusia. Aturan Allah tidak memiliki kepentingan apa pun kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Bagaimana Islam menyelesaikan kasus kekerasan Seksual? Ada dua klasifikasi tindakan yang dilakukakan negara dalam hal ini, yaitu:

Pertama, aturan pencegahan. Adanya aturan ini dalam rangka mencegah jauh-jauh hari sebelum adanya kemungkinan kekerasan seksual. Di antaranya adalah syariat terkait bagaimana manusia memposisikan diri. Allah Swt. mengatur aurat bagi laki-laki dan perempuan. Kapan, bagaimana, dan pada siapa pakaian syar’i wajib dipakai, semua ditulis rinci dalam Al-Qur’an.

Selain itu, ada kewajiban menundukkan pandangan (ghadul bashor). Seseorang tidak dibenarkan melihat lawan jenis dengan penglihatan jahat, dan bersyahwat. Dua syariat ini wajib bagi laki-laki dan perempuan.

Ada pula syariat yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia lain (hablum minan naas) dalam aspek sosial. Aktivitas laki-laki dan perempuan terpisah. Tidak boleh ada muamalah laki-laki dan perempuan tanpa tujuan yang dibolehkan hukum syara’.

Interaksi hanya dibolehkan dalam hal pendidikan, kesehatan, dan jual beli. Berdua-duaan(khalwat) itu haram. Berinteraksi dengan bercampur-baur antara laki-laki dan perempuan(ikhtilat) itu haram.

Proses pendidikan dalam negara sangat penting dalam rangka membangun pemikiran rakyatnya. Ilmu dan iman dipupuk di sekolah. Individu beriman lahir dari proses pembelajaran di sekolah. Sehingga, individu-individu memiliki rasa takut kepada Allah. Mereka juga memahami syariat bagaimana ia memperlakukan diri (berpakaian) dan berinteraksi dengan lawan jenis.

Kemudian media dan politik. Dua poin ini terkait dalam tindakan pencegahan kekerasan seksual. Aktivitas seksual adalah fitrah dari Allah, itu termasuk naluri berkasih sayang. Pemenuhannya diizinkan dalam bingkai pernikahan. Selain itu, haram. Maka, negara punya peran menjaga isi kepala rakyatnya agar tidak membangkitkan naluri ini. Tayangan porno atau semiporno ditutup aksesnya. Konten-konten bacaan dan tontonan dilarang berisi muatan dewasa. Undang-undang negara bersikap tegas dalam menghukum pelanggarnya.

Kedua, sistem sanksi atau uqubat. Islam juga mengatur apabila kekerasan seksual telah terjadi meski tindakan pencegahan telah dilakukan.

Berikut adalah beberapa sanksi terkait kekerasan seksual. Zina bagi sudah menikah adalah dirajam sampai mati. Zina bagi belum menikah dicambuk 100 kali dan diasingkan. Pelaku homoseksual dieksekusi mati. Penyedia fasilitas zina dipenjara lima tahun dan dicambuk.
Pelaku kekerasan verbal dipenjara enam bulan atau dicambuk. Hukuman kekerasan seksual selain di atas akan digali oleh hakim(qadli) atau sesuai tabanni hukum oleh Khalifah.

Hanya Islam yang mampu menyelesaikan masalah kekerasan seksual. Lebih-lebih Islam mampu mencegahnya. Para pelaku disanksi dengan hukuman yang sangat berat, menjadi penebus dosa(jawabir) bagi pelakunya serta pencegahan (zawajir) bagi yang lainnya. Semua itu hanya bisa dilakukan ketika diterapkannya sistem Islam secara keseluruhan, yang mampu dan mau mengupayakan ketaatan total rakyat dan penguasa dalam setiap aspek kehidupan.

Wallahu a’lam bhishowwab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi