Oleh. Afiyah Rasyad
(Aktivis Peduli Umat)
Anak, terutama usia balita adalah sosok insan yang identik dengan wajah polos tanpa dosa, lucu nan menggemaskan, banyak tanya, dan mungkin saja aktif ke sana ke mari. Dunia anak memanglah dunia bermain. Kegembiraan serta canda tawa melekat dengan kehidupan sehari-hari mereka. Energi positif terpancar dari wajah tanpa dosa anak usia balita. Secara fitrah, manusia usia berapa pun akan senang melihat anak kecil itu.
Namun, beberapa tahun belakangan ini, dunia anak seakan diintai oleh kriminalitas. Kekerasan pada anak kerap terjadi bahkan hingga anak meregang nyawa. Nahasnya, pelaku kekerasan anak didominasi oleh orang terdekat anak seperti orang tua kandung, paman atau bibi, kakak atau adik, kakek atau nenek, pengasuh, atau tetangga mereka. Akhir bulan Maret, tersiar kabar bahwa putri dari seorang selebgram asal Malang, Aghniya Punjabi mengalami kekerasan.
Peristiwa penganiayaan balita berusia 3 tahun (putri selebgram) itu terjadi pada Kamis (28/3/2024) sekira pukul 04.18 WIB. Tempat kejadian perkara berada di kediaman Aghnia Punjabi, kawasan Permata Jingga, Lowokwaru Kota Malang.
Sang balita dianiaya oleh pengasuhnya sendiri (Liputan6.com, 30/3/2024).
Faktor Penyebab Kekerasan pada Anak
“Tak ada asap jika tak ada api.” Peribahasa ini tentu saja berlaku dalam kasus kekerasan yang menimpa anak, terutama balita. Motif jengkel pelaku sepertinya tak cukup kuat menjadi penyebab faktor kekerasan pada anak. Negeri ini sepertinya sudah memiliki rapor merah terkait kasus kekerasan anak. Sebagaimana berita yang dilandir Jawapos.com (9/10/2023), KPAI mencatat sebanyak 2.355 kasus pelanggaran yang masuk sebagai laporan kekerasan anak hingga Agustus 2023. Dilansir dari data KPAI, ada 723 kasus kekerasan yang berhubungan dengan satuan pendidikan, sebagaimana laporan tersebut terdiri:
* Anak Yang Sebagai Korban Bullying Atau Perundungan Terdapat 87 Kasus.
* Anak korban kebijakan pendidikan 27 kasus.
* Anak korban kekerasan fisik atau psikis 236 kasus.
* Anak korban kekerasan seksual 487 kasus.
Menurut KPAI, ada tujuh penyebab maraknya kekerasan pada anak, di antaranya budaya patriarki, penelantaran anak, pola asuh, rendahnya kontrol anak, menganggap anak sebagai aset dari orang tua, kurangnya kesadaran melaporkan anaknya tindakan kekerasan, pengaruh media dan maraknya pornografi, disiplin identik dengan kekerasan, serta merosotnya moral. Apa yang disampaikan KPAI benar adanya. Namun, semua itu tak lepas dari sebuah sistem kehidupan yang diterapkan saat ini.
Kekerasan pada anak berada di bawah bayang-bayang sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme ini memiliki akidah sekularisme yang menjauhkan bahkan meninggalkan agama dari kehidupan, termasuk dalam pengasuhan anak. Orang tua, pengasuh, atau orang terdekat anak tak memiliki ketakwaan individu yang kuat dengan hadirnya sekularisme ini. Walhasil, kebanyakan orang tua hanya ingin membahagiakan anak dengan memenuhi kebutuhan materinya semata, tanpa memikirkan tumbuh kembang akal yang sejalan dengan fitrah manusia.
Sistem kapitalisme juga berhasil menanggalkan empati dari setiap individu karena sistem ini meniscayakan individualisme. Asas kehidupan sistem ini adalah materialisme, di mana mengukur kebahagiaan adalah dengan berlimpahnya materi sehingga pola asuh anak cenderung mengikuti paradigma kehidupan keluarga tersebut. Paradigma kapitalisme yang mengabaikan norma dan agama dalam tiap gerak-gerik dan tumbuh kembang anak.
Gaya hidup bebas juga merasuki orang tua dan orang-orang terdekat anak sehingga kerap menganggap hanyalah beban saja. Orang tua atau pengasuh jengkel sedikit, anak akan menjadi korban luapan amarah dan kejengkelan. Kekerasan akhirnya tak dapat dihindari.
Maraknya media yang kontennya tidak sehat buat tumbuh kembang anak, seperti pornografi atau kekerasan itu sendiri begitu menjamur di negeri ini. Kebijakan media oleh negara yang menerapkan sistem kapitalisme terkesan setengah hati bahkan cenderung membiarkan konten-konten tersebut. Pola asuh sedikit banyak terpengaruh oleh media yang begitu bar-bar dalam menampilkan kekerasan. Seakan tidak ada kontrol negara dalam media ini.
UU Perlindungan Anak dan juga gerakan Zero Kekerasan terhadap Anak tampaknya menjumpai kebuntuan. Bukan hanya keluarga yang terpapar kapitalisme, masyarakat pun cuek saat ada kekerasan bahkan mereka banyak yang tidak tahu-menahu telah terjadi kekerasan di sekitarnya. Hal itu juga kian diperparah dengan negara yang juga seolah lepas tangan dengan keadaan yang terjadi dengan membiarkan sekularisme kapitalisme menjadi fondasi dalam kehidupan bernegara.
Dampak Kekerasan pada Anak
Kekerasan pada anak bukan kekerasan fisik semata, tetapi juga kekerasan emosional yang bisa berasal dari kata-kata yang cenderung membully anak. Apa pun bentuk Kekerasan anak, hal itu akan memiliki dampak negatif bagi anak yang menjadi korban kekerasan. Ada sedikitnya 16 dampak kekerasan pada anak yang diasuh, dididik, dan disiplinkan dengan kekerasan, baik di rumah, lingkungan masyarakat, maupun di lembaga pendidikan, yaitu:
1. Membentuk mental sebagai korban.
2. Anak yang pernah menajdi korban kekerasan cenderung akan melakukan kekerasan, sehingga juga menjadi korban kekerasan justru bisa berubah menjadi pelaku kekerasan tersebut.
3. Rendahnya kepercayaan diri disebabkan oleh ketakutan akan melakukan sesuatu yang salah dan ia akan mengalami kekerasan lagi.
4. Anak bisa mengalami trauma.
5. Anak kerap memiliki perasaan menajdi anak yang tidak berguna.
6. Anak akan sering bersikap murung.
7. Anak akan sulit mempercayai orang lain.
8. Anak bisa bersikap agresif.
9. Anak akan mengalami depresi apabila kekerasan terus-terusan ia dapatkan.
10. Anak akan mengalami kesulitan dalam mengendalikan emosi.
11. Anak akan sulit berkonsentrasi.
12. Anak bisa mengalami luka, cacat fisik, atau kematian.
13. Anak akan susah tidur karena dibayangi kekerasan yang menimpanya.
14. Anak akan mengalami gangguan kesehatan dan pertumbuhan.
15. Kecerdasan anak terancam tidak berkembang.
16. Anak terkadang akan menyakiti diri sendiri atau bunuh diri.
Begitu fatal dampak kekerasan pada anak. Bukan hanya fisik dan indra pendengarannya yang sakit atau terluka, tetapi jiwa dan akal anak bisa terluka sepanjang usianya.
Mekanisme Islam Menyelesaikan Permasalahan Kekerasan Anak dengan Tuntas
Anak dalam pandangan Islam adalah aset berharga bagi orang tuanya, pun menjadi aset berharga suatu negeri. Anak adalah calon generasi penerus bangsa. Peradaban manusia bergantung pada bagaimana kondisi dan kualitas anak. Apa jadinya jika anak di masa golden age sudah sering mengalami kekerasan? Bagaimana masa depan peradaban bangsa jika banyak anak yang menjadi korban bahkan pelaku kekerasan?
Berbeda dengan kapitalisme, sistem Islam begitu melindungi anak. Akidah Islam akan mewujudkan perlindungan sesuai fitrah manusia saat diterapkan oleh negara. Dalam Islam, anak adalah amanah dan titipan dari Allah Taala. Sudah semestinya orang tua dan para guru mendidik dan mengasuh mereka sesuai kehendak yang menitipkan, yakni mendidik anak agar memiliki ketaatan serta kepribadian yang sesuai dengan syariat Islam. Ada tiga pilar pelindung anak sebagai generasi penerus peradaban, yaitu keluarga, masyarakat, dan negara yang harmonis menerapka. syariat Islam secara kaffah. Penerapan Islam secara menyeluruh tentu saja hanya bisa dilakukan dalam institusi negara.
Negara yang menerapkan Islam memiliki kewajiban melindungi akal, fisik, psikis, ekonomi, intelektual, jiwa sosial, serta akidah anak. Bagaimana Islam Menyelesaikan masalah kekerasan anak? Ada tiga pihak yang berkewajiban menjaga dan menjamin kebutuhan anak-anak. Pertama, keluarga sebagai madrasah pertama dan utama bagi tumbuh kembang anak. Ayah dan ibu wajib bersinergi mendidik, mengasuh, merawat, memenuhi kebutuhan jasmani anak, dan membentengi mereka dengan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Taala agar anak timbuh menjadi generasi yang berkepribadian Islam.
Kedua, lingkungan. Lingkungan di sini adalah masyarakat yang berperan dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak. Masyarakat akan menjadi pengontrol perilaku anak dari kejahatan, kekerasan, ataupun kemaksiatan. Masyarakat yang bertakwa akan menegakkan amar makruf nahi mungkar kepada siapa pun sehingga kemaksiatan akan terhindar dari dunia anak ataupun orang dewasa.
Ketiga, negara. Negara inilah yang akan menerapkan syariat Islam dengan kaffah. Suasana keimanan akan terus dijaga dalam setiap aspek kehidupan, apakah pendidikan, media (penerangan), sosial, pemerintahan, sanksi, dan keamanan dalam melindungi generasi. Negara akan memastikan dan menjamin pemenuhan kebutuhan tiap anak berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan setiap anak.
Khatimah
Dengan demikian, hanya Islam yang mampu menyelesaikan persoalan kekerasan pada anak. Sinergisme tiga pihak ini akan mampu melenyapkan kekerasan dan kriminalitas lainnya. Terutama negara yang menjadi garda terdepan dalam melindungi anak. Sistem sanksi yang tegas, adil, dan tanpa pandang bulu akan terus ditegakkan agar tak ada celah bagi siapa pun untuk melakukan kejahatan dan kekerasan pada anak. Wallahu a’lam.