𝐊𝐀𝐋𝐀𝐔 𝐌𝐀𝐔 𝐍𝐘𝐀𝐋𝐀𝐇𝐈𝐍, 𝐍𝐘𝐀𝐋𝐀𝐇𝐈𝐍 (AJA) 𝐍𝐄𝐆𝐀𝐑𝐀

Joko Prasetyo
Jurnalis

“Om, ini gue perjelas lagi. Ini bukan pernikahan sesama jenis, ini pernikahan antara kaum wanita dan laki-laki. Aku wanita dan dia laki-laki (Alan). Perlu gua perjelas, perlu gua perjelas: Gue wanita, dia laki-laki (Alan). Bukan pernikahan sesama jenis! 𝐒𝐚𝐡 𝐬𝐞𝐜𝐚𝐫𝐚 𝐡𝐮𝐤𝐮𝐦 𝐝𝐚𝐧 𝐧𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚! 𝐊𝐚𝐥𝐚𝐮 𝐦𝐚𝐮 𝐧𝐲𝐚𝐥𝐚𝐡𝐢𝐧, 𝐧𝐲𝐚𝐥𝐚𝐡𝐢𝐧 (aja) 𝐧𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚!” pekik lelaki terlahir bernama M Fattah kemudian ganti kelamin menjadi perempuan dan mengganti namanya menjadi Lucinta Luna dengan suara khas laki-lakinya dalam podcast Close the Door Deddy Corbuzeir di menit ke 3.43 sampai 4.01 pada tautan https://s.id/1Se7J
https://s.id/1Se7J
https://s.id/1Se7J

Sebejat-bejatnya Muslim yang bernama M Fattah, tetap aja dirinya sadar akar masalahnya memang ada di negara, aneh kalau ada Muslim baik-baik masih menganggap ini sebagai masalah individu dan harus diselesaikan secara individu semata (hanya mendidik keluarga terhindar dari perbuatan seperti yang dilakukan M Fattah tetapi tidak peduli dengan masalah negara).

Padahal, sudah jelas-jelas negara Pancasila ini, baik secara konstitusional maupun faktual tidak pernah mengategorikan perbuatan M Fattah dan orang-orang sepertinya sebagai kriminal, apalagi sampai menindak tegas. Walhasil, wajar saja M Fattah merasa tidak bersalah seraya berkata, “𝐊𝐚𝐥𝐚𝐮 𝐦𝐚𝐮 𝐧𝐲𝐚𝐥𝐚𝐡𝐢𝐧, 𝐧𝐲𝐚𝐥𝐚𝐡𝐢𝐧 (aja) 𝐧𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚!”

Badan yang paling otoritatif dalam pembinaan ‘ideologi’ Pancasila (BPIP) mestinya dengan tegas angkat bicara, apakah perbuatan M Fattah dan orang-orang seperti dirinya itu sesuai Pancasila atau tidak. Kalau dalam sudut pandang Islam sudah jelas kok, sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Dalam sudut pandang Pancasila bagaimana, BPIP?

Lantas bagaimana pula sikap BPIP terhadap anggota DPR yang tidak memasukan sanksi bagi perbuatan M Fattah dan kawan-kawan ke dalam KUHP Baru—sebagaimana diungkap Menko Polhukam Mahfud MD— dengan alasan perbuatan M Fattah dan kawan-kawan itu kodrat? Kalau dalam Islam jelas, itu bukan kodrat tetapi pilihan (pilihan yang salah alias maksiat alias kriminal) yang hukumannya juga sudah jelas dan tegas.

Dalam pandangan Islam, M Fattah itu selamanya lelaki, baik di dunia ini, di alam barzah, maupun di akhirat nanti. Perbuatannya mengganti kelamin, tentu wajib langsung ditindak tegas oleh negara, sehingga tidak ada cerita mau nikah dengan Alan segala. Begitu terbukti hubungan seksual dengan Alan ataupun sesama lelaki lainnya, baik di luar pernikahan maupun di dalam pernikahan langsung saja dihukum mati. Dalam pandangan Pancasila bagaimana?

Terlalu banyak kekosongan dari ‘ideologi’ Pancasila ini sehingga negara maupun pemerintah negara Pancasila gagal menjaga akidah, akal, nyawa, harta, nasab, kehormatan, dan lain-lain termasuk orientasi seksual rakyatnya (contoh kasus M Fattah ini). Beda dengan Islam, Islam dengan jelas dan lengkap memiliki aturan untuk semua itu. Negara tinggal menerapkan saja ajaran Islam tersebut secara kaffah. Habis perkara. 𝑊𝑎𝑙𝑙𝑎ℎ𝑢’𝑎𝑙𝑎𝑚 𝑏𝑖𝑠ℎ 𝑠ℎ𝑎𝑤𝑤𝑎𝑏.[]

Depok, 21 Muharram 1445 H | 8 Agustus 2023 M

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi