Tol


Oleh. Yulweri Vovi Safitria

Firdaus terkagum-kagum melihat langsung jalan bebas hambatan dan gedung-gedung pencakar langit. Mulutnya tak henti berucap, takjub akan keindahan ibu kota. Firdaus sibuk mengabadikan momen itu dengan kamera handphone miliknya.

**

Saat sebagian orang memilih untuh pindah dari kota yang padat, Firdaus justru meminta untuk bekerja di ibu kota. Ya, sekolah atau bekerja, dan tinggal di ibu kota, begitu keren di telinganya. Bahkan teman-teman seusianya, yang lebih dahulu tinggal di kota metropolitan itu, sangat antusias bercerita tentang indahnya hidup di ibu kota.

Firdaus pun tergoda, ia membujuk kedua orang tuanya untuk mengizinkan ikut pamannya yang berada di Jakarta.

“Saya ikut paman ya, Mak, siapa tahu rezeki saya, bisa bekerja di kota. Izinkan saya berangkat.” Bujuk Firdaus kepada mak dan bapaknya.

Meski berat, mak dan bapak Firdaus akhirnya mengizinkan sang putra untuk berangkat bersama pamannya, adik dari bapak.

“Hati-hati di sana, kalau kamu tidak betah, kamu balik lagi ya Nak, lebih baik kamu lanjutkan usaha Bapakmu.” Nasihat mak sebelum keberangkatan.

Keluarga Firdaus bukanlah orang sembarangan, ataupun hidup kekurangan. Orang tuanya memiliki usaha peternakan dan memiliki karyawan.

Bapaknya mendapat amanah sebagai ketua DKM sekaligus sebagai ketua remaja masjid. Bapak dan maknya aktif berdakwah, mendidik masyarakat dan remaja untuk menerapkan Islam secara kafah, dengan satu tujuan untuk mengembalikan kehidupan Islam.

Namun Firdaus enggan untuk mengikuti jejak bapak dan maknya, ia memilih bekerja ke Jakarta sekaligus mencari pengalaman baru. Firdaus beralasan itu bukan passionnya.

“Masuk jalan ini harus bayar Paman? Memangnya ini jalan milik siapa?” Tanya Firdaus keheranan, setiap kali sang paman menggosokkan card melewati jalan bebas hambatan.

Firdaus tak percaya melihat tarif yang tertera. Baru kali ia menyaksikan jalan raya berbayar, selama ini yang ia lihat adalah warga yang minta sumbangan di pinggir jalan untuk perbaikan jalan. “Lah ini jalannya sudah bagus begini, kenapa masih minta sumbangan?” Batinnya.

“Pemiliknya beragam, ada pemerintah, dan ada swasta. Tarifnya pun bervariasi, tergantung panjang rutenya.” Akhirnya sang paman menjawab pertanyaan Firdaus.

Jawaban laki-laki di sampingnya, tidak membuat Firdaus puas begitu saja. Apalagi saat melihat tulisan pada plang yang terdapat sebelum pintu masuk jalan bebas hambatan itu. Sang paman pun bercerita adanya rute terpendek namun tarif termahal. Firdaus geleng-geleng kepala.

“Kalau tidak ada saldo pada card paman, artinya kita tidak bisa jalan. Bagaimana mungkin, jalan milik umum harus berbayar dengan tarif tertentu?” Tanya Firdaus lagi, entah pada siapa, karena sang paman pun tidak tahu apa jawabannya.

Meski orang desa, tingkat kecerdasan Firdaus memang di atas rata-rata, ia kritis, turunan dari bapak dan maknya, terutama terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang tidak masuk akal, dan terkesan mengada-ngada.

“Kasihan mobil sewaan, upahnya hanya numpang lewat, akhirnya habis untuk bayar jalan, bisa tekor juga.” Suara Firdaus sedikit ditahan.

Akalnya tidak bisa menerima. Apalagi jika jalan ini dibangun dengan uang rakyat yang disetorkan melalui pungutan pajak. Tentu semakin tidak masuk akal, rakyat yang punya, tapi rakyat harus membayar untuk bisa mendapatkan fasilitasnya. Aturan macam apa itu. Pikiran Firdaus berkecamuk.

“Ya, bagaimana lagi. Kita tidak bisa berbuat apa-apa, ikut saja apa peraturannya.” Suara pamannya terdengar pasrah sambil terus menyetir mobil menuju kawasan padat penduduk.

Mendadak Firdaus mual, ia ingin muntah menyaksikan kejadian hari ini. Pembangunan yang dibanggakan sebagian orang, tidak sedikit pun menarik baginya. Gedung-gedung pencakar langit tak lagi indah bagi Firdaus, ia tak ubah seperti raksasa dan monster yang sedang berkuasa dan siap menerkam siapa saja. Semua terasa semu bagi Firdaus.

Firdaus ingin pulang, mengabdi pada mak dan bapak, melanjutkan perjuangan bapak, untuk mencerdaskan pemikiran umat di desanya.

**

Firdaus sudah chek in, pesawat yang ia naiki masih satu jam lagi. Sedangakan pamannya sudah balik setelah mengantar dan memastikan Firdaus sudah berada di ruang tunggu bandara. Ia menekan satu nomor di telepon genggamnya.

“Firdaus pulang Mak, Bapak. Firadaus akan lanjutkan perjuangan Mak dan Bapak. Berjuang bersama Mak dan Bapak untuk mengembalikan kehidupan Islam.”

Firdaus menutup pembicaraan. Mak dan Bapak sangat kegirangan mendengar kepulangan anak semata wayang.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi