Ritual Laut Berujung Maut: Masihkah Layak Negara Melindungi Aliran Kepercayaan yang Tak Patut?

Oleh. Ervan Liem

Sempat kaget, karena beberapa hari sebelum tragedi penulis berada persis dilokasi tewasnya belasan orang yang sedang mengadakan ritual laut. Dikabarkan bahwa sebanyak 24 orang dari Kelompok Tunggal Jati Nusantara terseret arus di Pantai Payangan-Jember pada Ahad dini hari, 13 Februari 2022. Kejadian itu menewaskan 11 orang. Mereka diketahui terseret arus lantaran ingin melakukan ritual mandi di laut untuk mengharapkan segala urusan berjalan lancar. Ritual tersebut dilakukan dengan cara bermeditasi dan membaca doa pada pukul 00.00 WIB.

Kiranya bukan hal baru bagi masyarakat Indonesia, keberagaman dinegeri ini memang tidak bisa dinafikkan. Apapun kebudayaan leluhur saat ini dijadikan sebagai bentuk kearifan lokal yang dianggap perlu untuk dilestarikan, bahkan dilindungi oleh peraturan negara dan dianggap sebagai wujud toleran. Namun disisi lain dengan hal itu, sesungguhnya terjadi hal serius yang justru bisa merusak dan menimbulkan kekacauan sebagaimana yang telah dialami oleh kelompok ritual laut tersebut yang mengancam keselamatan dan menghilangkan nyawa mereka.

Tak bisa dipungkiri, sistem kehidupan sekuler yang diadopsi Indonesia mengakibatkan negara tidak bisa tegas menyikapi kelompok aliran kepercayaan yang menyimpang dari syariat agama. Sistem sekuler memisahkan urusan dunia dengan akhirat di mana urusan agama/kepercayaan seseorang dianggap sebagai hak asasi setiap individu yang tidak boleh diganggu gugat oleh siapa pun. Inilah yang membahayakan akidah umat. Akibatnya, penyimpangan dan aliran yang menyempal dari agama cenderung dibiarkan dan semakin menjamur.

Banyak Aktivitas Ritual dari Aliran Kepercayaan yang menyimpang dari ajaran agama

Memang hak masing-masing warga negara untuk menganut agama atau kepercayaan tertentu, namun yang jadi problem saat ini adalah negara terkesan tidak melihat lagi dari segi apakah ajaran atau aliran kepercayaan tersebut menyimpang dan sesat atau tidak dari ajaran Islam yang hakiki. Terlebih lagi, selama ini mereka yang menjalankan ritual rata-rata mengklaim diri masih sebagai warga muslim dan itu sangat meresahkan masyarakat muslim di Indonesia. Karena aktifitas mereka justru menunjukkan melenceng dari syariat yang diajarkan Islam. Berkaca pada kejadian ritual laut yang berujung maut di pantai selatan Jember. Nur Hasan pimpinan Padepokan Tunggal Jati Nusantara dikenal masyarakat sekitar sebagai paranormal. Setiap hari banyak tamu atau pengikut yang mendatangi rumahnya untuk berobat, mulai dari masalah mencari solusi ekonomi atau masalah kehidupan rumah tangga yang lainnya. Menurut keterangan dari para tetangga, sebenarnya kegiatan dirumah atau padepokannya terlihat normal karena seringkali kalau malam hari terdengar suara lantunan baca ayat Al-Qur’an, shalawat dan sejenisnya. Untuk kegiatan meditasi atau ritual di laut selatan memang sudah sering dilakukan, selain dilaut biasanya juga di adakan meditasi dipegunungan dengan alasan untuk menolak balak.

Dikutip dari Antaranews 16/02/2022, Polres Jember telah menetapkan ketua padepokan Tunggal Jati Nusantara (JTN) Nur Hasan sebagai tersangka dalam kasus ritual yang menewaskan 11 orang di Pantai Payangan Jember tersebut, karena yang bersangkutan dinilai pihak yang bertanggung jawab atas tragedi ritual di pantai laut selatan. Nur Hasan melanggar pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang dengan ancaman penjara di atas 5 tahun, sehingga yang bersangkutan dijebloskan ke dalam tahanan. Sebelumnya rombongan padepokan Tunggal Jati Nusantara melakukan ritual di sekitar Pantai Payangan pada Minggu (12/2) dini hari, namun naas mereka dihantam ombak tinggi hingga menyebabkan 11 orang meninggal dunia dan 12 orang selamat, serta sopir yang menunggu di area parkir juga selamat karena tidak ikut ritual. Polisi menjelaskan bahwa pimpinan padepokan Tunggal Jati Nusantara itu dalam melaksanakan kegiatannya menggabungkan kegiatan keagamaan dan memiliki semacam aliran kepercayaan yang menggunakan bahasa Jawa dalam pelaksanaan ritual, kemudian pembacaan mantra dan kidung.

Kejadian semacam itu sebenarnya bukan baru terjadi kali ini saja. Ada banyak kejadian dan aliran kepercayan yang dilindungi dan seperti sengaja ditumbuhkan di negeri ini. Jika ditilik lebih dalam maka bisa disinyalir bahwa tumbuhnya aliran-aliran kepercayaan dinegara ini adalah salah satu upaya untuk menjegal kebangkitan Islam. Orang yang berusaha taat dan menjalankan Islam secara mendalam dianggap fanatik terhadap agama dan dinilai sebagai suatu kesalahan besar karena dapat menciptakan sikap intoleran, publik pun jadi bertanya, “Bagaimana dengan demokrasi yang selalu menghasilkan kerusakan dalam setiap lini kehidupan? Bukankah demokrasi membebaskan setiap orang beragama (mau beragama atau tidak), lalu menuntut menyamakan agama dan mengatakan salah jika menganggap hanya satu agama yang benar?”
Dalam demokrasi, tidak boleh fanatik terhadap agama bahkan dibenarkan untuk tidak beragama dan membuat aliran kepercayan sesuai keyakinan individu masing-masing. Namun pada sisi lain, aliran kepercayaan semacam itu mendapat perlindungan. Maka, jelas sekali ada upaya pencegahan terhadap kebangkitan Islam. Seorang muslim yang taat malah harus dicurigai dan dipaksakan nilai-nilai kebangsaan agar jangan sampai lebih mencintai agamanya sendiri daripada bangsanya.

Barat mengetahui dengan baik, pemikiran Islam bagi umat Islam ibarat darah. Ketika darahnya kotor, tubuh dengan darah yang kotor akan menimbulkan penyakit dan melemahkan umat Islam. Jika tubuh telah penuh dengan penyakit, akhirnya mudah untuk dilumpuhkan. Begitulah kiranya tujuan musuh-musuh Islam menumbuhkan ide untuk mengangkat kembali aliran kepercayaan yang sebenarnya usang dan tidak sesui fitrah manusia itu sendiri. Berlindung atas nama pelestarian budaya bangsa, namun justru merapuhkan akidah ummat. Kebangkitan pun menjadi suatu hal yang mustahil bisa diwujudkan. Negeri Islam dan umatnya akan terus menjadi negeri dan umat yang terjajah. Maka, upaya Barat yang terus meracuni umat Islam dengan pluralisme dan -isme lainnya adalah bagian dari perjuangan kafir penjajah. Sayangnya, kaki tangan penjajah justru datang dari kaum muslimin sendiri. Mereka lupa atas Tuhannya, seolah kehidupan yang mereka miliki pemberian dari tuannya.

Dampak Negatif Banyaknya Aliran Kepercayaan

Dampak negatif terhadap kehidupan sosial keagamaan dari semakin banyaknya aliran kepercayaan, akan semakin runyam dan tidak jelas, karena masyarakat akan semakin banyak membuat kepercayaan masing-masing. Setiap kelompok dan individu masyarakat ingin menunjukkan eksistensinya, nanti akan berdampak pada stabilitas politik dan stabilitas nasional. Pasalnya, semakin bermunculan aliran-aliran kepercayaan justru akan semakin sulit untuk dikontrol. Karena masing-masing akan menunjukkan eksistensinya. Orang akan bisa membuat kepercayaan masing-masing, lalu bermunculan aliran-aliran yang akan menyempal dari agama, tidak mau dikontrol atau tunduk pada agama yang akui Indonesia.

Tragedi maut yang berawal dari ritual meditasi dan mandi laut untuk menolak balak merupakan peristiwa patologi sosial, yakni suatu penyakit atau gejala sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Hal ini timbul karena masyarakat ingin cepat kaya, ingin digdaya, dan ingin cepat tercapai tujuannya secara instan. Sebenarnya fenomena patologi sosial ini terjadi di seluruh dunia. Di mana sering kali ketika masyarakat merasa tidak terpenuhi hajat hidup atau proses pencarian solusi kehidupannya lalu mereka berharap bahwa akan ada shortcut atau cara instan untuk memenuhinya, akhirnya jalan pikiran yang terdesak semacam itu dimanfaatkanlah oleh dukun atau paranormal. Jadi masalah semacam ini bukan hal sepele karena akan merusak akidah, tatanan masyarakat dan membahayakan jiwa.

Fenomena bercampurnya praktik dan kepercayaan dari satu agama dengan agama yang lainnya akan menciptakan tradisi baru. Pemahaman tentang semua agama memiliki kelebihan dan kebenaran menjadikan orang menggabungkan ajaran beberapa agama, tentu ini juga akan membahayakan keimanan. Contohnya adalah tarekat Daudiyah yang menggabungkan ajaran Islam, Syiah, Nasrani dan Yahudi sekaligus. Anggapan dan pemahaman semacam ini kiranya senada dengan yang ada di masyarakat jawa yang sebagian menggabungkan ajaran Islam dengan kejawen, tak terkecuali ritual mandi laut yang berujung maut di Jember tersebut. Tidak hanya itu bahwa adanya aliran kepercayaan yang muncul akibat pemahaman pluralisme (menganggap semua agama sama) maka akan memiliki pula pola pikir bahwa tidak boleh aturan suatu agama menjadi aturan negara, tidak boleh ada aturan suatu agama yang mendominasi atau menjadi identitas, itulah dampak negatif terbesar yakni menghambat kebangkitan Islam.

Strategi Islam Melindungi Akidah ummat dari Berbagai Pengaruh Aliran Kepercayaan

Kelompok menyimpang dan aliran sesat seharusnya segera diberantas negara sampai ke akar-akarnya. Organisasinya segera dibubarkan dan eks anggotanya harus dibina negara agar kembali kepada ajaran Islam yang benar dan lurus. Yang penting adalah negara harus dibangun atas landasan akidah Islam. Sebenarnya masalah aliran kepercayaan yang sesat akan segera terantisipasi dan terselesaikan tuntas karena negara Islam akan senantiasa menjaga akidah warga negaranya. Negara bertanggung jawab membina warga negaranya dalam berislam kaffah dan terhindar dari kesesatan akidah apalagi pemurtadan. Bahkan, kepada warga negara kafir, negara Islam akan mendakwahi mereka agar memahami agama Islam dan syariatnya dengan cara yang baik dan tanpa paksaan. Dengan begitu, warga negara nonmuslim akan melihat cahaya kebenaran dan kebaikan syariat Islam bagi kehidupan semua umat manusia bahkan semua makhluk di dunia sehingga harapannya mereka pun akan masuk Islam dengan sepenuh keyakinan.

Pada prinsipnya, negara yang dibangun atas dasar syariat Islam dan menerapkannya secara total dalam seluruh aspek kehidupan ini sangat menghargai pluralitas warga negaranya. Meskipun orang kafir apa pun warna kulit, suku, agama, ras. Jika ia mau tunduk dengan aturan Islam yang diterapkan negara, hak-haknya akan dilindungi dan kebutuhannya akan diperhatikan negara Islam. Inilah pluralitas atau kondisi keberagaman manusia yang diakui dalam Islam. Berbeda halnya dengan pluralisme yang mengakui semua agama dan kepercayaan adalah sama-sama benar, maka yang semacam itu tertolak dalam ajaran Islam. Islam tidak mengakui pluralisme, bahkan dengan terang-benderang menolak konsep pluralisme karena satu-satunya ajaran agama yang benar dan lurus adalah Islam. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta’ala,

“Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Alkitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (QS Ali ‘Imran: 19)

Sesungguhnya agama yang diterima di sisi Allah ialah Islam. Yaitu ketundukan kepada Allah semata dengan menunjukkan ketaatan dan kepasrahan kepada-Nya melalui ibadah dan keimanan kepada semua Rasul hingga Rasul penutup, Muhammad ṣhallallāhu ‘alaihi wa sallam yang menjadi penutup risalah, sehingga tidak ada syariat yang bisa diterima kecuali syariatnya. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Negara Islam akan melindungi akidah warga negaranya dari segala bentuk penyimpangan dan kesesatan. Pelaku penistaan terhadap ajaran Islam dan penyebar aliran sesat akan ditindak tegas negara.

Para ulama dan fukaha sepakat hukuman bagi penista ajaran Islam adalah hukuman mati jika dia tidak mau bertobat. Jika dia bertobat, maka dia tak dihukum mati, tetapi tetap bisa dijatuhi sanksi sesuai dengan ketetapan Khalifah atau Qadhi. Hukuman yang tegas itu akan bisa memberi efek jera kepada pelakunya dan akan mencegah orang lain untuk melakukan hal yang sama. Penyimpangan dan kesesatan bisa menyebabkan pelakunya murtad/keluar dari Islam. Pelakunya jika tidak mau bertobat kembali pada Islam dan sudah tidak bisa didakwahi oleh negara dihukum mati. Rasulullah Saw. bersabda:

“Siapa yang mengganti agamanya (murtad) maka bunuhlah.” (HR al-Bukhari, an-Nasai, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).

Demikianlah bentuk penjagaan akidah rakyat dari negara Islam secara totalitas yang hanya akan kita temui dalam sistem pemerintahan Islam di bawah naungan Khilafah Islamiyah, bukan sistem sekuler saat ini.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi