Beginilah Cinta

Oleh. M. Taufik NT.

Anas bin Malik r.a pernah bercerita, “Seorang tukang jahit (pakaian) mengundang Rasulullah saw untuk makan masakan yang telah dibuatnya. Aku ikut pergi bersama Rasulullah saw. Lalu penjahit itu menyuguhkan hidangan kepada Beliau berupa roti dan kuah yang berisikan labu dan daging kering (dendeng). Anas berkata;

فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَتَبَّعُ الدُّبَّاءَ مِنْ حَوَالَيْ الصَّحْفَةِ قَالَ فَلَمْ أَزَلْ أُحِبُّ الدُّبَّاءَ مُنْذُ يَوْمَئِذٍ

‘Aku melihat Rasulullah saw mengambil labu dari pinggir nampan, sejak saat itu aku senantiasa senang dengan labu.” (Shahih Muslim [1]).

Hadits ini, walaupun menceritakan kejadian yang ‘sederhana’, tetapi memberi pelajaran kepada kita akan cinta. Bagaimana cintanya Nabi saw. kepada umatnya, tanpa membedakan kaya-miskinnya, beliau saw. memenuhi undangan walaupun pengundangnya bukanlah orang yang kaya, ‘hanya’ seorang tukang jahit, makanan yang dihidangkan pun sederhana, yaitu roti, labu, dan daging yang sudah disimpan lama dengan cara dikeringkan di bawah terik matahari, sementara orang kaya biasa masak daging yang masih segar.

Hadits ini juga menunjukkan bagaimana cintanya para sahabat kepada Nabi saw, kesederhanaan tidak menghalangi penjahit tersebut untuk mengundang makan orang yang dicintainya.

Juga mengajarkan bahwa kecintaan yang sejati adalah dengan mencintai apa yang dicintai oleh kekasihnya. Anas, yang melihat Rasulullah memakan labu, beliau sejak saat itu menjadi senang memakan labu, hanya dengan melihat, tanpa Rasulullah perintahkan, apalagi Rasulullah wajibkan.

Beginilah cinta, sederhana melihatnya, walaupun mungkin rumit untuk mengungkapkannya, dan tidak mudah untuk membuktikan cinta itu. Imam Ibnu Rajab (w. 795 H), dalam kitab beliau, Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, 2/297 menyatakan:

فمن أحبَّ اللهَ ورسولَه محبةً صادقةً من قلبه، أَوْجَبَ له ذلك أنْ يُحبَّ بقلبه ما يُحبُّه اللـهُ ورسولُه، ويَكْرَهُ مَايَكْرَهُهُ اللهُ ورسولُه، ويَرْضَى بما يرضى اللهُ ورسولُه، ويَسْخَـطُ ما يَسْخَطُهُ الله ورسوله، وأنْ يعمل بجوارحه بمُقْتَضَى هذا الحبِّ والبُغْضِ …

“Siapa saja yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dengan cinta yang benar dari hatinya, maka cinta tersebut mengharuskan dia untuk mencintai dengan hatinya apa saja yang dicintai Allah dan Rasul-Nya, membenci apa yang dibenci Allah dan Rasul-Nya, ridha dengan apasaja yang diridhai Allah dan Rasul-Nya, murka dengan apasaja yang dimurkai Allah dan Rasul-Nya, dan anggota tubuhnya akan beraktivitas sesuai dengan apa yang dituntut oleh kecintaan dan kemurkaan ini.”

Dari riwayat dan ungkapan Imam Ibnu Rajab ini, sebenarnya sederhana bagi kita untuk bercermin, mengukur diri, benarkah kita mencintai Rasulullah dengan sebenar-benarnya? Para sahabat, mereka begitu mencintai apa yang ada dari Rasulullah, bukan hanya ajaran yang wajib yang mereka kerjakan, tapi hal mubah (boleh) pun, jika itu dilakukan Rasulullah, dan bukan kekhususan beliau, maka akan mereka junjung tinggi. Rambut Rasulullah pun mereka simpan dan sayangi, sebagaimana dalam shahih Bukhari, Abidah berkata:

لَأَنْ تَكُونَ عِنْدِي شَعَرَةٌ مِنْهُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا

“Sungguh, satu lembar rambut Nabi saw. yang ada padaku lebih aku cintai daripada dunia dan seisinya.”

Beginilah cinta yang hakiki, akan mencinta, mengikuti, serta mencintai apa saja dari yang dicintai.

Jika ada terbersit dalam hati kita kebencian terhadap ajaran Nabi saw. tidak suka dengan orang yang meniru Nabi saw. baik dalam cara mereka berpakaian, makan, berjalan, dan hal yang tidak wajib. Namun, ada riwayat bahwa Nabi melakukannya, maka, patut dipertanyakan betulkah kita mencintai Beliau saw? Itu untuk hal yang tidak wajib, apalagi jika membenci apa-apa yang diwajibkan Allah SWT, menolak atau memandang remeh hukum syari’ah yang karenanyalah Rasulullah diutus, mengkriminalisasikan Khilafah, sistem yang akan mengejawantahkan jalan hidup Rasulullah saw? Jika ini yang terjadi, bukankah syair Imam as Syafi’i berikut yang cocok untuk diri kita:

“Engkau bermaksiyat kepada Tuhan, namun engkau menampakkan kecintaan kepada-Nya, ini adalah hal yang mustahil terjadi.

Jikalau cintamu benar tentulah kau akan mentaati-Nya, (sebab) sang pencinta itu tunduk dan patuh terhadap yang dicinta .…” [2]

Jika kita tidak mampu menuruti secara sempurna siapa yang kita cintai, minimal kita berusaha memunculkan rasa senang terhadap apa yang diajarkannya, bukan malah membencinya, beginilah cinta.

Allaahu A’lam.

Sumber : https://mtaufiknt.wordpress.com/2017/12/14/beginilah-cinta/

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi