Oleh. Christiono
Nama Shalahuddin Al Ayyubi atau lebih dikenal sebagai Sultan Saladin, sudah sangat familiar di telinga kaum muslim di seluruh dunia berkaitan dengan penaklukan atas kota Baitul Maqdis (Jerusalem) dari pendudukan tentara Salib. Penaklukan Baitul Maqdis merupakan sebuah peristiwa fenomenal yang sangat membanggakan bagi kaum muslimin sekaligus amat menyakitkan bagi kaum imperialis Barat.
Penaklukan tersebut mengakhiri okupasi Barat selama 88 tahun sejak diduduki secara paksa dan keji oleh tentara Salib dengan sebuah pembebasan yang sangat kontradiktif, yaitu dengan kelembutan hati dan akhlak mulia dari Shalahuddin Al Ayyubi bersama bala tentaranya.
Kisah pendudukan Baitul Maqdis oleh tentara Salib menjadi catatan hitam kelam sejarah peradaban Barat karena diwarnai dengan pembantaian yang sangat biadab terhadap semua penduduk yang tinggal di Baitul Maqdis saat itu. Ketika memasuki kota Baitul Maqdis dalam penyerbuannya, tentara Salib secara membabi buta membunuhi penduduknya tidak peduli apakah Islam, Yahudi maupun Kristen Ortodoks, apakah wanita, orang tua atau anak-anak, semua dibantainya. Bahkan, beberapa ahli sejarah dan penulis Barat menyebutkan bahwa tentara Salib telah membanjiri kota dengan darah hingga genangannya selutut.
John Stuart Mill, sejarawan Inggris, mengakui pembunuhan-pembunuhan massal penduduk muslim ini juga terjadi pada waktu jatuhnya kota Antioch. Usia lanjut, ketidakberdayaan anak-anak, dan kelemahan kaum wanita tidak dihiraukan sama sekali oleh tentara Latin yang fanatik itu. Rumah kediaman tidak diakui sebagai tempat berlindung dan pandangan sebuah masjid merupakan pembangkit nafsu angkara untuk melakukan kekejaman.
Tentara Salib juga menghancurkan kota-kota di Syria, membunuh penduduknya dengan tangan dingin dan membakar habis perbendaharaan kesenian dan ilmu pengetahuan yang sangat berharga termasuk “Kutub Khanah” (Perpustakaan). “Jalan raya penuh aliran darah, sehingga keganasan itu kehabisan tenaga,” kata Stuart Mill.
Pemandangan itulah yang tak terlihat 88 tahun kemudian, selama pembebasan kembali Baitul Maqdis oleh Shalahuddin Al Ayyubi. Karen Amstrong dalam ”The Holy War” menulis, Shalahudin dan pasukannya tak membunuh satu pun orang Kristen, juga tak ada harta yang dianggap sebagai rampasan perang.
“Tebusan disengaja sangat rendah dan Shalahuddin menangis karena keadaan mengenaskan akibat keluarga-keluarga yang hancur terpecah-belah. Ia pun membebaskan banyak dari mereka, sesuai imbauan Al-Qur’an,” paparnya.
Amstrong juga menilai Shalahuddin sebagai panglima perang yang jujur serta menjauhi niat balas dendam. “Shalahuddin menepati janjinya, dan menaklukkan kota itu menurut ajaran Islam yang murni dan paling tinggi,” ujar Amstrong.
Akhirnya, terbukti bahwa bukannya aksi balas dendam dengan penuh kekejaman seperti yang ditunjukkan oleh tentara Salib yang bisa membebaskan Baitul Maqdis, melainkan sebuah parade keindahan moral Islam dalam akhlak mulia yang ditunjukkan oleh Shalahuddin Al Ayyubi. Akhlak mulia yang dipraktikkan dengan amat indah secara istikamah mampu membangkitkan semangat jihad yang sejati yang menjadikan seseorang mampu mengoptimalkan potensi dirinya tanpa dihantui oleh ketakutan sedikit pun kepada selain Allah. Salahuddin meninggal pada usia 57 tahun, harta miliknya hanya 47 dirham dan satu dinar. Dia tidak meninggalkan harta tetap atau warisan lainnya.
Keperkasaan dan Akhlak Mulia Shalahuddin Al Ayyubi dalam Membebaskan Baitul Maqdis dari Tentara Salib
1. Provokasi Paus Urbanus II untuk melakukan Perang Salib.
Perang Salib pertama kali dicetuskan oleh Paus Urbanus II pada tahun 1095 dalam sidang Konsili Clermont. Ia mengimbau hadirin untuk angkat senjata membantu Kaisar Romawi Timur melawan orang Turki Seljuk, dan untuk melakukan ziarah bersenjata ke Jerusalem. Imbauannya ditanggapi dengan penuh semangat oleh seluruh lapisan masyarakat Eropa Barat. Para sukarelawan dikukuhkan menjadi anggota Laskar Salib melalui pengikraran qaul di muka umum.
Provokasi yang dilakukan oleh Paus Urbanus II tersebut terbukti mampu membangkitkan fanatisme dan militansi dari masyarakat Eropa Barat untuk membebaskan kota Jerusalem dari tangan kaum muslimin. Paus ketika itu menyerukan Perang Suci (Crusade) melawan ”kaum kafir yang sedang menguasai ‘makam’ Kristus.”
Paus juga menjanjikan pengampunan dosa kepada siapa saja yang bergabung dengan ekspedisi pasukan Salib itu, dan bagi siapa yang mati dijanjikan masuk surga. Karena seruan Paus itulah, banyak kaum Kristen sangat antusias menyambutnya.
Ratusan ribu orang bergabung dengan pasukan Salib, bahkan banyak yang menjual hartanya dan menjahit sendiri tanda salib pada baju yang dikenakan dalam ekspedisi ke Palestina. Paus Urbanus II menyebut musuh kaum Kristen itu sebagai “Turki Seljuk,” yaitu bangsa barbar dari Asia Tengan yang baru masuk Islam. Dia berkata bahwa bangsa Turki adalah bangsa terkutuk yang jauh dari Tuhan dan dia menyerukan, membunuh monster tak bertuhan seperti itu adalah suatu tindakan suci, adalah suatu kewajiban Kristiani untuk memusnahkan bangsa jahat itu dari wilayah kita.
Dampak dari seruan Paus itu memang luar biasa pada sikap dan tindakan pasukan Salib di Jerusalem dan berbagai wilayah lain. Di Jerusalem, hampir semua penduduknya dibantai, laki-laki, wanita, anak-anak, tanpa pandang bulu dibantai di jalan-jalan lorong-lorong, rumah-rumah, dan di mana saja mereka ditemui. Para tahanan pasukan Salib kemudian dipaksa membersihkan jalanan, halaman, dan rumah “Haram Al-Syarif” dari puluhan ribu mayat manusia. Mayat-mayat manusia korban pembantaian itu lalu dibakar atau dibuang begitu saja keluar dari tembok kota. Jerusalem akhirnya diduduki oleh tentara Salib pada Juli 1099 M.
2. Hadirnya akhlak mulia pada diri Shalahuddin Al Ayyubi dalam pembebasan Baitul Maqdis.
Dunia tidak pernah menyaksikan penakluk yang lebih sopan dan manusiawi seperti Shalahuddin. Taktik pertempuran dan keberaniannya yang tak tertandingi sebagai seorang prajurit, kenegarawanan yang heroik dan kekuatan karakternya membuatnya dihormati bahkan oleh musuh-musuhnya. Dia dikenal karena membebaskan kota suci Baitul Maqdis dari Tentara Salib. Alih-alih menjadi sosok yang dibenci di Eropa, ia menjadi contoh terkenal dari prinsip-prinsip kesopanan. Perang Salib mewakili perang paling dahsyat, dan terpanjang dalam sejarah umat manusia.
Shalahuddin Al-Ayyubi adalah keturunan Najmuddin Ayyub bin Syadzi bin Marwan Al Kurdi. Dilahirkan pada tahun 532 H atau 1137 M di benteng Tikrit, sebuah benteng kokoh yang membentang di atas sungai Tigris. Shalahuddin menghabiskan masa kecilnya dengan belajar, membaca, menulis dan menghafal Al-Qur’an. Setelah itu, Shalahuddin mempelajari ilmu kaidah-kaidah bahasa dan ilmu nahwu dari para ulama.
Shalahuddin juga berlatih ketangkasan dalam berkuda dan memanah. Dia juga gemar berburu dan berlatih strategi perang, sehingga sangat bermanfaat ketika kelak dia dewasa memimpin perang. Shalahuddin tumbuh dalam lingkungan dan zaman yang menempatinya menjadi pemimpin yang cerdas, berhati tegar dan bijak.
Shalahuddin adalah pemimpin yang berakhlak mulia, ahli dalam politik, piawai dalam strategi perang, penanggung kuda yang mahir, dan berilmu serta dekat dengan ulama. Seolah takdir telah mempersiapkan Shalahuddin untuk menjadi pahlawan Hittin yang menggetarkan hati musuhnya hingga dipenuhi ketakutan. Shalahuddin dikenang di belahan bumi Barat dan Timur. Teladan bagi generasi Islam yang sadar akan spirit mengembalikan kemuliaan Islam dan Muslim.
Pada bulan Juli 1187 M, Shalahuddin memobilisasi pasukannya menuju Jerusalem. Dengan strategi jitu, tepat pada 2 Oktober 1187 M, Jerusalem akhirnya jatuh ke pangkuan Shalahuddin. Proses jatuhnya Jerusalem sangat jauh dari kesan kebiadaban. Hal yang menunjukkan ketinggian akhlak Shalahuddin.
Meskipun mengetahui bahwa tentara Salib yang tersisa di Jerusalem telah berada dalam keadaan lemah, ia tetap mengedepankan opsi penyerahan kota secara damai. Padahal dengan kapasitas militer yang dimiliki, ia bisa saja langsung menyerang.
Juga di saat berlangsungnya pengepungan, Shalahuddin masih membuka opsi damai dengan memberikan kesempatan negosiasi kepada pihak lawan. Percakapan yang terjadi saat negosiasi itu berlangsung sangat melegenda, hingga William Monahan dan Ridley Scott memasukkan adegan dialog itu dalam film berjudul Kingdom of Heaven.
Dalam percakapan tersebut, Shalahuddin mengizinkan tentara Salib untuk pergi meninggalkan Jerusalem dengan damai dan bersumpah tidak akan menyakiti satu pun dari mereka. Bahkan, ia memerintahkan pasukannya untuk mengawal tentara Salib.
Shalahuddin berkata, “Saya akan memberikan jaminan keamanan tiap nyawa menuju wilayah Kristen. Setiap orang, wanita, anak-anak, orang tua, semua tentara, dan ratumu. Rajamu, aku serahkan padamu dan bagaimana kehendak Tuhan atasnya. Tidak ada yang akan disakiti, aku bersumpah pada Tuhan.”
Balian de Ibelin, pemimpin pengganti Jerusalem menjawab, “Tentara Salib membantai semua orang ketika mereka menaklukkan kota ini.” Shalahuddin menimpali sederhana, “Aku bukan orang yang seperti itu, Ak Shalahuddin.” Kemurahan hati yang membuat Balian akhirnya menyerah.
Akhlak Mulia Shalahuddin Al Ayyubi Mampu Membangkitkan Kekuatan untuk Mengalahkan Kezaliman Tentara Salib
Dari sosok Salahuddin kita belajar sikap tangguh dan akhlak mulia seorang kesatria. Ia mengajarkan untuk tidak membalas kekerasan dengan kekerasan, sekalipun sebenarnya punya kapasitas dan kesempatan untuk melakukan itu. Atas kemurahan hatinya, Salahuddin dihormati oleh kawan maupun lawan, namanya tetap harum melintasi zaman. Akhlak mulia yang dimiliki oleh Shalahuddin tidak terlepas dari adanya sifat-sifat baik yang ada pada dirinya, diantaranya adalah:
1. Bertakwa dan tekun beribadah, berbaik sangka dan bergantung kepada Allah SWT.
Meminta perlindungan kepada Allah SWT artinya selalu berhubungan dengan-Nya, dan memohon segala sesuatu kepada-Nya mendorong seorang Muslim untuk menjadi pahlawan pemberani yang tidak kenal kalah, tidak takut mati, dan tidak gentar kepada musuh. Sifat baik yang merupakan bagian dari iman dan ibadah juga keberanian yang sangat jelas ini terwujud dalam diri Shalahuddin.
Orang yang hidup semasa dengannya, berkumpul dengannya, dan mengetahui berita-beritanya, yaitu Al-Qadhi Bahauddin yang dikenal dengan Ibnu Syaddad, menulis dalam kitabnya Sirah Shalahuddin sebagai berikut, “Shalahuddin berakidah baik dan banyak berdzikir kepada Allah Ta’ala. Dia mengambil akidah ini dengan belajar kepada para ulama senior dan ahli fikih, misalnya Syaikh Quthnuddin An-Naisaburi menyusun untuknya informasi komprehensif mengenai pokok-pokok akidah. Dia sangat peduli untuk mengajarkan akidah ini kepada anak-anaknya yang masih kecil agar mereka menghafalnya sejak kecil. Saya melihatnya ketika sedang mengajari mereka. Mereka membacakan teks akidah itu dihadapannya.”
2. Adil dan Penyayang
Al Qadhi Bahauddin berkata, “Shalahuddin adalah orang yang adil, penyayang, penyantun, dan senang menolong orang yang lemah. Dia bisa memutuskan perkara setiap hari Senin dan Kamis di majelis umum dengan dihadiri oleh para ahli fikih, qadhi dan ulama. Dia membuka pintu untuk orang-orang yang akan mengadukan perkara dari seluruh lapisan masyarakat, baik tua maupun muda. Dia melakukan hal itu baik ketika berada dalam perjalanan maupun di tempat tinggalnya. Setiap kali ada orang yang meminta pertolongannya, dia berhenti dan mendengarkan masalahnya. Dia mendengarkan keluhan ceritanya.”
3. Pemberani dan Penyabar.
Dia patut dicontoh dalam keberaniannya, kawan maupun lawan mengakui hal ini. Pahlawan ini tidak seperti raja dan komandan perang lainnya yang duduk-duduk di atas singgasana dan hanya mengeluarkan perintah kepada prajurit mereka untuk pergi berperang. Apabila para prajurit itu menang, mereka akan menjadi juara. Namun apabila para prajurit itu kalah, mereka aman di markas besar mereka. Shalahuddin tidak seperti para raja dan komandan perang itu karena dia biasa di barisan pertama ketika ingin menyerang musuh dan keluar bersama pasukannya untuk mengiringi mereka ke medan perang. Dia bahkan ikut merasakan resiko dan kemelut perang bersama pasukannya.
4. Penuh pengertian dan pemaaf.
Dia selalu menghadapi perlakuan buruk dengan perlakuan baik dan kekasaran dengan kesabaran. Misalnya Ibnu Syaddad menceritakan bahwa orang-orang datang berdesak-desakan ke Shalahuddin untuk menyampaikan keluhan mereka. Sebagian mereka menginjak ujung pakaiannya dan karpet tempat ia duduk. Akan tetapi ia tidak emosi, tetap memperhatikan keluhan mereka, dan memenuhi kebutuhan dan tuntutan mereka. Meskipun sebagian dari mereka berkata kasar dan dengan nada tinggi, dia menerima kata-kata mereka.
5. Perwira dan toleransi.
Berikut ini kesaksian para sejarawan Barat mengenai toleransi dan keperwiraan Shalahuddin yang jarang dijumpai dalam sejarah. Amir Ali mengutip dari sejarawan Inggris, Stuart Mill, “Sekelompok orang Kristen yang meninggalkan Yerusalem pergi ke Antiokhia yang dikuasai oleh orang Kristen juga. Ternyata pemimpin kota itu tidak mau menerima kedatangan mereka. Dia bahkan mengusir mereka. Mereka lalu melanjutkan perjalanan ke negeri-negeri Muslim. Mereka pun disambut dengan penuh kebaikan.”
Al Qadhi Ibnu Syaddad juga menceritakan kisah yang memperlihatkan toleransi dan keperwiraan Shalahuddin. Dia berkata, “Ketika raja Inggris Richard The Lionheart musuh terbesar Shalahuddin sakit, Shalahuddin menanyakan kesehatannya dan mengirimkan buah-buahan dan es kepadanya. Pasukan Salib yang tertimpa kelaparan, kelemahan, dan musibah merasa heran terhadap toleransi dan belas kasihan dari musuh mereka.
6. Cinta Syair dan Sastra
Shalahuddin adalah orang yang mempunyai kepribadian sempurna. Dia mencintai jihad dan mencurahkan sebagian besar waktunya untuk ini, namun juga tidak melupakan bagiannya terhadap kesenangan duniawi selama tidak menghalanginya dari kewajiban berperang untuk meninggikan kalimat Allah SWT. Ibnu Syaddad menceritakan bahwa Shalahuddin suka bergaul, berakhlak mulia, bisa bercanda, hafal genealogi bangsa Arab dan peperangan mereka, mengetahui biografi dan keadaan mereka, memelihara asal-usul kuda mereka, serta mengetahui cerita-cerita dongeng.
Pelajaran yang Bisa Diambil dari Kisah Pembebasan Baitul Maqdis oleh Shalahuddin Al Ayyubi
1. Akhlak merupakan salah satu bentuk kekuatan yang tidak kalah dengan kekuatan fisik bahkan persenjataan.
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar, berbudi pekerti yang luhur.” (QS. Al-Qalam: 4)
Ayat ini tidak hanya menyatakan bahwa Nabi saw punya akhlak yang sangat luhur tetapi juga mengisyaratkan bahwa akhlak merupakan kekuatan yang sangat dahsyat pengaruhnya. Kekuatan akhlak bisa mengalahkan kekuatan apa pun, sekalipun didukung kekuatan media, kekuasaan dan ekonomi bahkan persenjataan.
Nabi Muhammad saw. diutus untuk menyempurnakan akhlak, sementara di dalam diri Nabi sendiri terdapat akhlak yang paling mulia yang dengan akhlak tersebut beliau berhasil memperkenalkan, mengajarkan dan mengaplikasikan Islam pada masyarakat yang masih menyembah berhala. Jelas bahwa tantangan yang dihadapi waktu itu sangatlah beratnya, tetapi dengan dibekali akhlak mulia banyak kaum musyrikin yang tertarik untuk mengikuti ajaran baru itu. Para pengikut sekaligus sebagai sahabat Nabi SAW tersebut pun setelah mendapatkan pelajaran akhlak mulia menjadi sosok-sosok tangguh tak terkalahkan dan pantang menyerah dalam mempertahankan Islam. Demikian juga halnya dengan Shalahuddin yang dengan akhlak mulianya mengalahkan pasukan Salib yang sangat kuat.
Contoh terbaru dan terdekat mengenai betapa besarnya kekuatan akhlak ditunjukkan oleh ”Aksi Bela Islam 212” pada 2 Desember 2016 dan waktu-waktu sesudahnya. Aksi unjuk rasa yang dihadiri lebih dari 7 juta orang berlangsung dengan sebuah parade pertunjukan moral Islam yang luar biasa indahnya. Meskipun tidak ada unjuk kekuatan secara fisik, namun dengan menunjukkan akhlak mulia selama aksi berlangsung terbukti mampu menumbangkan sebuah kekuatan besar yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan akan bisa dikalahkan.
2. Akhlak seseorang itu tidak hanya berpengaruh pada dirinya sendiri, tetapi juga kepada orang lain di sekitarnya apalagi jika dia seorang pemimpin.
Akhlak mulia yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi pola pikir dan perilakunya. Akhlak mulia akan mencegah sesorang dari berpikir atau merencanakan sesuatu yang bertentangan dengan moral yang dianutnya, demikian juga segala perilaku dan tindakannya akan selalu dibimbing oleh moral tersebut. Dengan moral Islam yang agung, Nabi SAW dan para sahabatnya serta para pengikutnya setelah beliau wafat, berhasil menaklukkan musuh-musuhnya, menyebar luaskan ajaran Islam dan menguasai dunia dengan segala kemajuan peradabannya.
Selain berpengaruh pada diri orang yang bersangkutan, akhlak mulia juga akan dengan cepat menyebar kepada orang lain di sekitarnya. Hal ini dikarenakan akhlak mulia tersebut pasti bersesuaian dengan fitrah manusia yang merasa nyaman dan aman apabila berhadapan dan berinteraksi dengan seseorang yang memiliki akhlak mulia. Akhlak mulia akan menyebabkan orang di sekitarnya mendekat untuk merasakan kebahagiaan karena pasti akan diperlakukan sesuai dengan rasa kemanusiaan yang universal, sehingga apa saja yang disampaikan oleh orang yang berakhlak mulia akan
lebih mudah didengar dan diterima. Seorang pemimpin apabila dia memiliki akhlak mulia, akan berdampak sangat positif terhadap anak buahnya sehingga dia akan disegani dan segala perintahnya akan ditaati, sebagaimana Shalahuddin berhasil membentuk moral bala tentaranya menjadi sebuah kekuatan yang sangat ditakuti musuh.
3. Akhlak merupakan minyak pelumas bagi kesinambungan perjuangan yang panjang
Perjuangan menegakkan syariat Islam dan membangkitkan kembali peradaban Islam yang terpuruk sekian lamanya merupakan sebuah perjuangan yang amat panjang. Banyak hal yang harus dilakukan sementara tidak kalah banyaknya tantangan yang harus dihadapi. Tanpa kesiapan umat Islam dalam menghadapi sebuah perjuangan panjang yang melelahkan, jalannya roda perjuangan akan tersendat bahkan terseok-seok selain juga akan bisa berjalan bukan di atas rel yang benar.
Kalau semangat jihad merupakan bahan bakar perjuangan, maka akhlak mulia bisa diibaratkan sebagai minyak pelumas yang akan memperlancar pergerakan motor, roda dan persendian lainnya. Tanpa minyak pelumas, sebuah kendaraan tidak akan bisa awet bahkan bisa mengalami kemacetan bahkan kehancuran mesinnya. Demikian pula halnya dengan perjuangan yang panjang, akhlak mulia akan memperlancar dan memuluskan interaksi antar kelompok yang ada, meminimalisir adanya pergesekan dan bisa memperlancar diplomasi. Umat Islam harus lebih fokus pada perbaikan akhlaknya agar kesinambungan perjuangan bisa terjamin.