Sejak bertugas di Batavia (9 November 1895) sebagai Konsul Jenderal Kelima menggantikan Veliyuddin Bey yang berhenti dari tugasnya, Mehmet Fuat Bey dikenal sebagai diplomat yang cukup mumpuni dengan pengalaman bekerja sebagai Konsul Pemerintah Utsmaniyah di beberapa negara. Salah satu catatan sejarah yang pernah ditulis Fuat Bey adalah sepak terjang salah satu pahlawan Aceh yang kemudian digelari Pahlawan Nasional (6 November 1973), yaitu Teuku Umar.
Ia menulis bahwa Teuku Umar seorang yang bergelar Panglima Laut Sultan Aceh ‘Umar bin Nanta Seutia (Amir al-Bahr Sultan Aceh ‘Umar bin Nanta Setya) sebagaimana tertera dalam capnya yang dibuat pada 1306 H (1888—1889 M). Teuku Umar diangkat sebagai panglima laut wilayah Aceh Barat oleh Sultan ‘Ala al-Din Muhammad Dawud Syah.
Teuku Umar beserta 15 orang panglimanya (September 1893) menyatakan kesetiaan kepada Pemerintah Kolonial Belanda (sebagai taktik perang) dan mendapat gelar Teuku Johan Pahlawan pada 19 Januari 1896. Selanjutnya, ia diangkat sebagai uleebalang Leupeung di sebelah selatan Aceh Besar.
Membangkang
Namun, dua bulan setelah diangkat sebagai pejabat administratif di bawah otoritas Belanda pada 25 Maret 1896, Teuku Umar mendadak membangkang kepada Belanda dan kembali bergabung bersama Sultan Dawud Syah. Teuku Umar membawa kabur 18.000 dolar dan 880 senapan dari gudang persenjataan Belanda. Bahkan, kemudian menggunakannya untuk menyerang balik pos-pos keamanan Belanda.
Sepak terjang Teuku Umar yang di luar dugaan ini jelas membuat Pemerintah Kolonial Belanda marah besar, tetapi di saat yang sama menimbulkan simpati tersendiri dari orang-orang kepada perjuangan kaum muslim Aceh. Termasuk Fuat Bey yang begitu terkagum-kagum dengan Teuku Umar.
Laporan kepada Istanbul
Pada 31 Maret 1896, beberapa hari setelah berhasil membuat Belanda berang, Fuat Bey langsung menulis surat kepada Kementerian Luar Negeri Utsmaniyah di Istanbul. Kemudian, pada 16 Juni, Fuad Bey melengkapi lagi laporannya terkait Teuku Umar.
Seperti yang disampaikan dalam laporan konsulat pada 19 Maret sene (1) 312 (31 Maret 1896), Teuku Umar, salah seorang pemimpin suku-suku di Aceh bagian utara Sumatra, telah masuk ke dalam dinas militer Belanda bersama pasukannya.
Namun, kemudian ia mengambil banyak senjata dan amunisi dan melarikan diri bersama 2.000 pasukannya. Karena kejadian ini, Pemerintah Belanda mengirim pasukan untuk memerangi orang Aceh. Hanya saja perang tersebut belum menghasilkan apa pun. Wilayah Aceh yang terletak di daerah perbukitan dan pegunungan, dengan karakter orang-orang di wilayah itu yang pemberani, membuat pasukan Belanda tidak dapat mengalahkan pasukan Aceh.
Mereka (Belanda) bahkan banyak kehilangan tentara. Teuku Umar sendiri saat ini tidak berperang di medan pertempuran. Oleh karena itu, semua peperangan dilakukan suku-suku. Semua pihak berwenang, baik militer dan sipil (Belanda) penasaran ingin tahu siapa sebenarnya yang memimpin peperangan.
Padahal, sebelumnya desa dan wilayahnya telah dihancurkan oleh pengeboman kapal perang di sisi laut. Namun, kemudian diketahui bahwa mereka tidak berada di sana. Tindakan Teuku Umar tersebut telah menyebabkan Pemerintah Belanda melakukan peperangan tanpa akhir. Hasil awal dari peperangan tersebut kurang menguntungkan Belanda. Sampai akhirnya, gambar terkenal Teuku Umar dilampirkan.
Fuat Bey menilai penting baginya untuk senantiasa melaporkan ke Istanbul perihal perkembangan aktual peperangan di Aceh karena adanya hubungan khusus antara Khilafah Utsmaniyah dengan kerajaan Aceh (Acelulerin makam-i celil-i Hilafet-i muazzama-i Islamiye’ye olan irtibat-i mahsusalari).
Fuat Bey pun hanya dua tahun bertugas sebagai Konsul Jenderal Utsmaniyah. Ia pindah tugas ke Kota Kermanshah, Iran. Catatan-catatan yang ditulisnya terkait perjuangan kaum muslimin yang merepotkan kolonial Belanda memperlihatkan kedekatan hati Khilafah Utsmaniyah dengan muslim Nusantara, juga menggambarkan perlawanan gigih kaum muslimin Nusantara dengan landasan ruh ‘spirit’ Islam dalam dada.
Wallahu ‘alam bishsawab
*Disarikan dari: Nicko Pandawa. Khilafah & Ketakutan Penjajah Belanda, Riwayat Pan-Islamisme dari Istanbul sampai Batavia, 1882—1928.