Memetik Ibrah dari Penyesalan Shalafus Shalih

Oleh. Sri Wardani Hasibuan
(Aktivis Dakwah)

Perkara Dunia atau Akhirat?

Ada banyak kata-kata bijak tentang penyesalan yang menunjukkan bahwa penyesalan itu selalu menghampiri manusia. Beragam penyesalan yang datang silih berganti. Beda orang beda pula penyesalannya, karena setiap manusia memiliki cerita hidup yang berbeda. Ada yang menyesal karena kemaksiatan yang pernah dilakukan di masa lalu, ada yang menyesal karena telah kehilangan seseorang yang dia cintai, tetapi belum sempat membahagiakannya, dan masih banyak lagi.

Secara umum, penyesalan itu terbagi menjadi dua, yakni yang pertama penyesalan karena perkara dunia yang luput dari diri manusia, penyesalan inilah yang sering menghampiri banyak manusia zaman sekarang. Adapun ketika manusia tertimpa penyesalan ini, mereka akan menunjukkan kekecewaan dan kesedihan sedalam-dalamnya. Kedua, penyesalan karena perkara akhirat berupa hilang atau berkurangnya agama dari dirinya. Namun sayangnya, penyesalan jenis ini sangat jarang disadari manusia, bahkan ada yang sama sekali tidak pernah menyesal karena perkara akhirat yang ia lalaikan. Sungguh, sangat berbanding terbalik dengan penyesalan orang-orang terdahulu, yakni para Shalafus Shalih.

Penyesalan para Shalafus Shalih

Mari kita bercermin dari tiga orang Shalafush Shalih ini

Pertama Abu Ishaq As-Shabi’i yang menyesal karena menurutnya ia telah luput dari ibadah kepada Allah, “Suatu hari Abu Ishaq As-Sabi’i menangis. Lalu ia ditanya, “Mengapa anda menangis?” Ia menjawab, “Kekuatanku telah hilang, salat telah luput dariku. Aku tak sanggup lagi salat sambil berdiri lama kecuali hanya dengan membaca surah Al-Baqarah dan Ali Imran saja.”

Kedua, penyesalan Imam Al-Ghazali karena pernah ketinggalan sekali salat malam, dan yang ketiga penyesalan Ubaidillah bin Umar Al-Qawariri karena ketinggalan salat isya berjemaah sekali karena pada malam itu ia memuliakan tamu yang berkunjung ke rumahnya. Akibat dari ketinggalan salat berjemaah tersebut, beliau menyesal sejadi-jadinya, hingga terbawa ke dalam mimpi dan ketika bangun beliau merasa bersedih hati dan ia pun berdo’a meminta hidayah serta pertolongan dari Allah.

Lihat, bagaimana ketiga Shalafush Shalih itu menyesal dengan perkara yang kemungkinan berat bahkan sama sekali tidak pernah dilakukan oleh kebanyakan manusia zaman sekarang. Ketika Abu Ishaq As-Sabi’i menyesal karena hanya mampu berdiri dalam salat dengan membaca Al-Baqarah dan Ali Imran saja yang disebabkan karena fisiknya yang sudah lemah, lalu kita sudah merasa hebat dengan membaca surah Al-Lail bahkan masih banyak yang tenang-tenang saja ketika meninggalkan salat padahal tubuhnya masih berdiri tegap.

Ketika Imam Al-Ghazali menyesal karena ketinggalan salat malam sekali, begitupun Ubaidillah bin Umar Al-Qawariri yang menyesal dan bersedih ketika ketinggalan salat Isya berjemaah di masjid sekali, sedangkan banyak dari kita yang tidak menyesal bahkan masih dapat tertawa terbahak-bahak meskipun telah melakukan kemaksiatan pada hari itu.

Maka, sudah selayaknya, sepenggal kisah dari tiga Shalafus Shalih di atas dapat menjadi tamparan keras bagi kita sekaligus motivasi agar kita lebih bersungguh-sungguh serta semangat dalam perkara ibadah kepada Allah Swt. bukan malah sebaliknya, yang tetap merasa tenang dalam dekapan maksiat.

Terutama bagi kaum muda yang seharusnya menjadi manusia-manusia yang semangat dan istikamah dalam beribadah dan beramal saleh, karena nikmat berupa tubuh yang kuat, akal yang sehat, jiwa yang muda masih berfungsi secara optimal dalam diri pemuda.

Ketika pemuda mampu mengarahkan potensinya sehingga menjadi pemuda muslim yang tangguh, maka akan lahir para Al-Fatih, Mus’ab bin Umair, Thariq bin Ziyad, dan para pejuang Islam lainnya dalam generasi saat ini, Insyaallah.

Orang Baik dan Buruk Akan Menyesal

Sebagai seorang muslim, tentunya kita harus berperilaku sebagaimana yang telah Allah perintahkan kepada kita, agar penyesalan yang menghampiri kita tidak sama dengan penyesalan yang menghampiri orang-orang fasik dan kafir di akhirat nanti. Karena, sebaik-baiknya muslim pun akan tetap mengalami penyesalan, sebagaimana sabda Nabi saw. yang artinya, “Tidaklah seorang mati melainkan ia akan menyesal, orang-orang bertanya, “Ya Rasulullah, apa penyesalannya?” Beliau menjawab, “Jika ia orang baik, ia menyesal mengapa tidak lebih banyak lagi (kebaikannya). Jika ia orang jahat, ia akan menyesal mengapa tidak segera meninggalkan (kejahatannya).” (HR. At-Tirmidzi)

Perihal penyesalan ini juga mengingatkan kita dengan seuntai syair oleh grup nasyid Raihan, yang berbunyi:

“Demi masa sesungguhnya manusia kerugian
Melainkan yang beriman dan beramal saleh
Demi masa sesungguhnya manusia kerugian
Melainkan nasihat kepada kebenaran dan kesabaran
Gunakan kesempatan yang masih diberi moga kita takkan menyesal
Masa usia kita jangan disiakan kerna ia takkan kembali
Ingat lima perkara sebelum lima perkara
Sihat sebelum sakit
Muda sebelum tua
Kaya sebelum miskin
Lapang sebelum sempit
Hidup sebelum mati”

Syair ini memiliki makna yang dalam, mengingatkan kepada kita bahwa manusia dalam waktu yang dilaluinya dalam kehidupan ini akan mengalami kerugian, yakni penyesalan kecuali bagi mereka yang beriman, beramal saleh, dan saling nasihat menasihati dalam kebenaran serta kesabaran.

Lima perkara sebelum lima perkara itu juga sangat penting untuk kita jaga. Ketika kita masih dalam lima perkara yang pertama yakni sehat, muda, kaya, lapang, dan hidup, maka mari kita gunakan ini untuk mengisi aktivitas kehidupan kita dengan amalan yang saleh sebelum akhirnya semua nikmat itu Allah cabut dari kita berupa sakit, tua, miskin, sempit, dan sebagai penutup episode kehidupan adalah mati.

Untuk itu, marilah kita dari sekarang berbenah diri. Penyesalan tak pernah menegur kita di awal, ia pasti menghampiri di akhir cerita hidup kita. Sebelum semuanya terlambat, segerakanlah penyesalan itu. Tebus penyesalan dengan ikhtiar yang baik dengan tidak melakukan kesalahan yang sama, dan senantiasa melakukan amal saleh dan ketaatan pada Allah Swt. dengan berusaha melaksanakan segala perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya, serta berdo’a sebanyak-banyaknya kepada Allah agar senantiasa diteguhkan serta diistikamahkan dalam kebaikan.

Cukup menyesal di dunia ini saja, jangan sampai penyesalan itu kita bawa hingga akhirat. Sungguh, penyesalan di akhirat tiada gunanya. Allah Swt. berfirman yang artinya, “Pada hari itu diperlihatkan neraka Jahanam. Pada hari itu sadarlah manusia, tetapi kesadarannya itu tidak berguna lagi bagi dirinya. Manusia berkata “Alangkah baiknya seandainya dulu aku melakukan kebaikan untuk hidupku.” (QS Al-Fajr: 23-24)

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi