BIOGRAFI SINGKAT SYAIKH TAQIYUDDIN AN-NABHANI

Disusun dari buku Muhammad Muhsin Radhi, Hizbut Tahrir Tsaqafah dan Metodenya dalam Menegakkan Daulah Khilafah Islamiyah; dan Ustadz Ihsan Samarah, Biografi Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani

A. Nama Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dan Nasabnya

Beliau adalah Abu Ibrahim Muhammad Taqiyuddin bin Ibrahim bin Mushthafa bin Ismail bin Yusuf bin Hasan bin Muhammad bin Nashiruddin an-Nabhani.

Keluarga an-Nabhani termasuk di antara keluarga dari kalangan terhormat (mulia), yang hidup di daerah Ijzim, selatan kota Haifa. Keluarga beliau adalah keluarga yang mulia, yang memiliki kedudukan tinggi dalam hal ilmu pengetahuan dan agama. Nasab keluarga beliau kembali pada keluarga besar atau Bani Nabhan dari Kabilah al-Hanajirah di Bi’r as-Sab’a. Bani (keturunan) Nabhan merupakan orang kepercayaan Bani Samak dari keturunan Lakhm yang tersebar di wilayah-wilayah Palestina. Sedang Lakhm adalah Malik bin ‘Adiy. Mereka memiliki bangsa dan suku yang banyak. Pada akhir abad ke-2 Masehi sekelompok dari Bani Lakhm tiba di Palestina bagian selatan. Bani Lakhm memiliki kebanggaan-kebanggaan yang teragung, dan di antaranya yang terkenal adalah Tamin ad-Dariy ash-Shahabi.

B. Kelahiran dan Pertumbuhan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dilahirkan di desa Ijzim pada tahun 1909 M. atau 1910 M.. Beliau tumbuh dan besar di rumah yang sangat memperhatikan ilmu dan agama. Ayah beliau Syaikh Ibrahim an-Nabhani adalah seorang syaikh yang mutafaqqih fid din, dan sebagai pengajar ilmu-ilmu syariah di Kementerian Pendidikan Palestina. Sementara ibu beliau juga menguasai beberapa cabang ilmu syariah, yang diperolehnya dari ayahnya, Syaikh Yusuf an-Nabhani salah seorang di antara para ulama yang menonjol di Daulah Utsmaniyah. Syaikh Taqiyuddin mendapat perhatian dan pengawasan langsung kakeknya dari jalur ibunya, Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani.

Sungguh, pertumbuhan keagamaan yang dialami Syaikh Taqiyuddin berpengaruh besar terhadap pembentukan kepribadiannya, orientasi dan pandangan keagamaannya. Beliau telah hafal al-Qur’an di luar kepala sebelum beliau berumur 13 tahun. Beliau sangat terpengaruh dengan kesadaran kakeknya, Syaikh Yusuf an-Nabhani. Beliau banyak belajar ilmu dari kakeknya yang mulia. Dan dari kakeknya pula, beliau banyak mengerti persoalan-persoalan politik yang penting, dimana kekeknya memiliki keahlian dalam hal ini. Beliau juga banyak belajar dari forum-forum dan diskusi-diskusi fiqih yang diadakan kakeknya, Syaikh Yusuf an-Nabhani, khususnya diskusi tentang orang-orang yang telah mengidolakan peradaban Barat. Kakeknya telah melihat tanda-tanda kecerdasan dan kejeniusannya, yaitu ketika Syaikh Taqiyuddin ikut dalam forum-forum ilmu tersebut. Sehingga perhatian sang kakek kepadanya sangat besar sekali.

C. Ijazah yang Diperoleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani memperoleh banyak Ijazah, yaitu: Ijazah dengan predikat sangat memuaskan dari sekolah tingkat menengah (ast-tsanawiyah) Al-Azhar, Diploma jurusan bahasa Arab dan sastranya dari Fakultas Darul Ulum Kairo, dan Diploma dari al-Ma’had al-Ali li al-Qadha’ asy-Syar’iy cabang Al-Azhar jurusan peradilan. Tahun 1932 beliau lulus dari Al-Azhar dengan memperoleh asy-Syahadah al ‘Alamiyah (Ijazah setingkat Doktor) pada jurusan syariah.

D. Ilmu dan Studi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani

Syaikh Taqiyuddin belajar dasar-dasar ilmu syariah dari ayah dan kakeknya. Beliau telah hafal al-Qur’an seluruhnya sebelum baligh. Di samping itu, beliau juga belajar di sekolah negeri an-Nizhamiyah di daerah Ijzim untuk sekolah tingkat dasar. Kemudian, beliau melanjutkan studinya ke sekolah tingkat menengah di Akka. Belum selesai studinya pada tingkat menegahnya di Akka, beliau pergi ke Kairo untuk meneruskan studinya di Al-Azhar, guna merealisasikan keinginan kakeknya, Syaikh Yusuf an-Nabhani, yang telah menyakinkan ayahnya tentang pentingnya mengirim Syaikh Taqiyuddin ke Al-Azhar untuk melanjutkan pendidikan agamanya. Kemudian, Syaikh Taqiyuddin meneruskan pendidikan tingkat menengahnya di Al-Azhar pada tahun 1928, dan pada tahun yang sama beliau lulus dan memperoleh ijazah dengan predikat sangat memuaskan.

Setelah lulus dari sekolah tingkat menengah, lalu Syaikh Taqiyuddin melanjutkan studinya di Fakultas Darul Ulum, yang saat itu masih merupakan cabang Al-Azhar. Di samping itu, beliau juga aktif menghadiri kelompok-kelompok kajian (halaqah-halaqah) ilmiyah di Al-Azhar, yang diadakan oleh para syaikh, seperti yang telah disarankan oleh kakeknya, di antaranya, kelompok kajian yang diadakan Syaikh Muhammad al-Hudhair Husain. Hal itu dimungkinkan karena sistem pengajaran yang lama di Al-Azhar masih membolehkannya. Di mana para mahasiswa dapat memilih beberapa syaikh Al-Azhar dan menghadiri halaqah-halaqah mereka mengenai bahasa dan ilmu-ilmu syariah, di antaranya fiqih, ushul fiqih, hadits, tafsir, tauhid (ilmu kalam), dan yang sejenisnya.

Syaikh Taqiyuddin selesai kuliahnya di Fakultas Darul Ulum tahun 1932 M.. Pada tahun yang sama, beliau juga selesai kuliahnya di Al-Azhar sesuai dengan sistem yang lama. Meskipun, Syaikh Taqiyuddin menghimpun sistem Al-Azhar yang lama dengan Darul Ulum, namun beliau tetap menampakkan keunggulan dan keistimewaannya dalam hal kesungguhan dan ketekunannya dalam belajar.

Syaikh Taqiyuddin sangat menarik perhatian kawan-kawannya dan para dosennya karena kecermatannya dalam berpikir dan kuatnya pendapat, serta kuatnya hujjah yang dilontarkan dalam perdebatan-perdebatan, dan diskusi-diskusi pemikiran, baik yang diselenggarakan oleh lembaga-lembaga ilmu yang ada saat itu di Kairo maupun di negeri-negeri Islam lainnya. Syaikh Taqiyuddin juga dikenal keistimewaannya, karena beliau sangatlah bersungguh-sungguh, tekun, dan bersemangat dalam memanfaatkan waktunya untuk menimba ilmu dan belajar.

E. Karakteristik dan Sifat Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani

Ustadz Zhahir Kahalah —Direktur Administratif Fakultas al-Ilmiyah al-Islamiyah, di mana, beliau ini selalu menemani Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani sejak menginjakkan kakinya di dunia akademik— menceritakan tentang sifat Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani: bahwa Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah seorang yang jujur, mulia, bersih, ikhlas, bersemangat, bergelora dan merasa sedih atas apa yang menimpa umat Islam akibat dari ditanamkannya institusi Israel di dalam jantung kaum muslimin. Beliau seorang yang sedang perawakannya, kuat fisiknya, penuh semangat, cepat marah terhadap terjadinya penyimpangan, pandai dalam perdebatan, yang jika berargumentasi mematikan, dan tegas dengan sesuatu yang diyakininya benar. Beliau berjenggot sedang yang bercampur uban serta selalu berpakaian dengan pakaian para ulama: jubah, qufthan (pakaian panjang dipakai di atas jubah), dan sorban. Beliau seorang yang berkepribadian kuat, bicaranya menyentuh, dan argumentasinya menyakinkan. Beliau sangat benci dengan perbuatan yang sia-sia, kurangnya percaya diri, serta ketidakpedulian terhadap kemaslahatan umat. Beliau juga sangat membenci seseorang yang hanya sibuk dengan kepentingannya sendiri dan tidak beraktivitas untuk kebaikan umat. Beliau mengkritik para ulama Syam yang hanya tenggelam dengan emosional-emosional keagamaan dan tidak bergerak dalam lingkaran aktivitas-aktivitas politik Islam.

Syaikh Abdul Aziz al-Khayyath memberi catatan kaki atas apa yang diceritakan oleh Zhahir Kahalah terkait dengan pakaian Syaikh Taqiyuddin, menurutnya: “…yang benar bahwa Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani memakai jubah di atas rompi dan celana panjang. Saya belum pernah melihatnya memakai qufthan. Barangkali yang dimaksud oleh Ustadz Zhahir Kahalah itu pada masa kecilnya”. Antara pernyataan Zhahir Kahalah dan Syaikh al-Khayyath tidak perlu dipertentangkan, sebab ini persoalan kemungkinan. Mungkin Zhahir Kahalah melihat Syaikh Taqiyuddin pada suatu keadaan memakai pakaian seperti yang ia ceritakan. Sementara al-Khayyath dalam keadaan yang lain melihatnya memakai pakaian seperti yang ia nyatakan.

Sementara karakteristik aktivitas beliau di bidang pengajaran, Ustadz Zhahir Kahalah menceritakan bahwa, “Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengajarkan materi tsaqafah Islam pada sekolah menengah kelas tiga, mengingat pada saat itu merupakan tahapan pertumbuhan sensitivitas yang akan membentuk pola pikir siswa. Sehingga beliau melaksanakan aktivitasnya dengan sebaik mungkin. Beliau melakukan aktivitas ini siang malam dengan kebiasaan yang mengagumkan. Aktivitas ini beliau jalankan hingga beliau meletakkan jabatan sebagai tenaga pengajar di Fakultas pada akhir tahun 1952 M.. Sungguh metode pengajarannya sangat sukses menghasilkan sesuatu yang positif dalam di para siswanya. Sehingga para siswanya sangat mencintai kajian-kajian tsaqafah Islam yang menjadikan mereka memiliki berbagai persiapan untuk mengkritisi setiap pemikiran-pemikiran asing yang masuk ke dalam Islam. Begitu juga, kecintaan mereka terhadap kajian-kajian tsaqafahIslam akan membentuk landasan berfikir, yang dengannya mereka mampu mencerminkan ajaran-ajaran Islam dan mengembannya ke seluruh dunia.”

Begitu juga, yang diceritakan sahabat beliau bahwa, “Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah seorang yang bertakwa dan mulia seperti namanya. Beliau seorang yang mampu menjaga pandangan matanya dan lisannya. Dan aku belum pernah mendengar darinya pada suatu hari bahwa beliau mencaci, mencela atau menghina salah seorang di antara kaum muslimin, khususnya para pengemban dakwah Islam, meski mereka berbeda hasil ijtihadnya.”

F. Bidang Pekerjaan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dan Jabatannya

Bidang pekerjaan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani terbatas antara pendidikan dan peradilan (qadha’). Beliau banyak menduduki jabatan pada dua bidang ini. Ustadz Ihsan Samarah menceritakan: Setelah selesai studinya, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani kembali ke Palestina untuk bekerja di Kementerian Pendidikan Palestina (tentang hal ini Syaikh Abdul Aziz al-Khayyath menyebutkan bahwa Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani bekerja sebagai tenaga pengajar di Departemen Pendidikan Palestina, bukan di Kementerian Pendidikan Palestina) sebagai tenaga pengajar pada sekolah menengah an-Nizhamiyah di Haifa, di samping beliau juga mengajar di sekolah al-Islamiyah yang juga di Haifa. Beliau berpindah-pindah lebih dari satu kota dan sekolah sejak tahun 1932 M. hingga tahun 1938 M.. Dimana beliau mengajukan permohonan untuk bekerja di Mahkamah Syariah. Tampaknya beliau lebih suka bekerja di bidang peradilan (qadha’), sebab beliau menyaksikan bahwa pengaruh penjajahan Barat di bidang pendidikan jauh lebih banyak daripada pengaruhnya di bidang peradilan, khususnya, peradilan syariah. Dalam hal ini beliau berkata: “…Adapun golongan terpelajar, maka para penjajah di sekolah-sekolah misionarisnya sebelum adanya pendudukan, dan di seluruh sekolah setelah adanya pendudukan, telah menetapkan sendiri kurikulum-kurikulum pendidikan dan tsaqafah(kebudayaan) berdasarkan filsafatnya, serta peradabannya dan konsep-konsep kehidupannya yang khas. Kemudian kepribadian ala Barat dijadikan dasar yang akan mencabut tsaqafah(dari umat Islam). Sebagaimana sejarah dan kebangkitan Barat dijadikan sumber utama, yang dengannya mereka mencuci otak kita…”.

Oleh karena itu, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani lebih mengutamakan untuk menjauh dan meninggalkan bidang pendidikan pada Kementerian Pendidikan. Beliau mulai mencari dan mengkaji pekerjaan lain yang lebih sedikit mendapatkan pengaruh Barat. Beliau tidak menemukan yang lebih baik dari Mahkamah Syariah. Sebab, Mahkamah Syariah seperti yang beliau lihat masih menerapkan hukum-hukum syara’. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani berkata: “…Adapun sistem sosial yang mengatur hubungan pria dan wanita, serta apa saja yang timbul dari adanya hubungan ini, yakni masalah-masalah perdata, maka Mahkamah Syariah masih menerapkan syariat Islam hingga sekarang, meski adanya penjajahan dan pemerintahan kufur. Secara umum hingga sekarang belum pernah diterapkan selain syariat Islam…”.

Berdasarkan hal itu, maka Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani lebih antusias dan lebih senang bekerja di Mahkamah Syariah, di mana banyak di antara teman-teman beliau yang dulu sama-sama belajar di al-Azhar asy-Syarif juga bekerja di sana. Sehingga dengan bantuan mereka, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani akhirnya diangkat sebagai sekretaris di Mahkamah Syariah Baisan, lalu beliau dipindah ke Thabriyah.

Syaikh Abdul Aziz al-Khayyath berpendapat berbeda: “Alasan bahwa Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani lebih mengutamakan bekerja di Mahkamah Syariah daripada bekerja di Kementerian Pendidikan Palestina itu tidak benar. Sebab, sepengetahuan saya terhadap Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani justru menunjukkan hal yang berbeda. Beliau malah banyak mendorong para syabab (kader Hizbut Tarhrir) agar banyak melakukan aktivitas pendidikan dan pengajaran, sebab dengan cara itu memungkinkan bagi mereka menanamkan pemikiran-pemikiran Islam ke dalam pola pikir dan pola sikap mereka, serta memerangi upaya-upaya menyingkirkan pemikiran-pemikiran Islam dari kurikulum dan buku-buku pelajaran. Menurut pendapatku bahwa beliau memilih bekerja di Mahkamah Syariah karena melihat pada para alumni dari al-Azhar ketika itu, di mana otoritas pemerintahan otonom menempatkannya di Palestina”. Pernyataan al-Khayyath dikuatkan lagi dengan perhatian Hizbut Tahrir yang terpusat pada para pelajar dan mahasiswa, mengingat sebagian besar anggota Hizbut Tahrir adalah di antara para guru dan dosen, sehingga dengan memanfaatkan posisinya, mereka lebih mudah menyampaikan pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir kepada para pelajar dan mahasiswanya.

Namun demikian, cita-cita dan pengetahuan beliau di bidang peradilan mendorongnya untuk mengajukan kepada al-Majlis al-Islamiy al-A’la (Dewan Tertinggi Islam) sebuah nota permohonan yang isinya menuntut agar berlaku adil kepadanya, dengan memberikan haknya. Di mana beliau percaya bahwa dirinya punya kompetensi untuk menduduki jabatan peradilan. Setelah para pimpinan peradilan memperhatikan nota permohonannya, mereka memutuskan untuk memindahnya ke Haifa dengan jabatan sebagai Kepala Sekretaris (Basy Katib), tepatnya di Mahkamah Syariah Haifa. Kemudian tahun 1940 beliau diangkat sebagai Musyawir, yakni asisten qadhi. Beliau tetap dengan jabatan itu hingga tahun 1945, di mana beliau dipindah ke Mahkamah Syariah di Ramalah, dan beliau tetap di sana hingga tahun 1948. Setelah itu beliau pergi meninggalkan Ramallah menuju Syam sebagai akibat dari jatuhnya Palestina ke tangan Yahudi.

Pada tahun 1948 itu juga, sahabatnya Ustadz Anwar al-Khatib mengirim surat kepada beliau yang isinya meminta beliau agar kembali ke Palestina untuk dianggkat sebagai qadhidi Mahkamah Syariah al-Quds. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengabulkan permintaan sahabatnya itu. Dan beliau pun diangkat sebagai qadhi di Mahkamah Syariah al-Quds tahun 1948. Kemudian, Kepala Mahkamah Syariah dan Kepala Mahkamah Isti’naf (mahkamah banding) yang ketika itu dijabat oleh Yang Mulia Ustadz Abdul Hamid as-Sa’ih memilihnya sebagai anggota di Mahkamah Isti’naf (pengadilan banding). Beliau tetap menduduki jabatan itu hingga tahun 1950, di mana beliau mengajukan surat pengunduran diri, akibat dari pencalonan diri beliau di Dewan Perwakilan.

Kemudian, pada tahun 1951, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani datang ke Amman, dan bekerja sebagai tenaga pengajar di Fakultas al-Ilmiyah al-Islamiyah. Beliau rahimahullah dipilih untuk mengajar materi tsaqafahIslam bagi para mahasiawa tingkat dua di Fakultas tersebut. Aktivitasnya ini terus berlangsung hingga awal tahun 1953, di mana beliau mulai sibuk dengan aktivitas Hizbut Tahrir yang telah beliau rintis antara tahun 1949 hingga tahun 1953.

G. Aktivitas Politik Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani

Sejak remaja Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani sudah memulai aktivitas politiknya karena pengaruh kakeknya, Syaikh Yusuf An Nabhani rahimahullah. Syaikh Yusuf An Nabhani pernah terlibat diskusi-diskusi dengan orang-orang yang terpengaruh peradaban Barat, seperti Syaikh Muhammad Abduh, para pengikut ide pembaharuan (modernisme), tokoh-tokoh Freemasonry, dan pihak-pihak lain yang membangkang terhadap Khilafah Utsmaniyah. Perdebatan-perdebatan politik dan aktivitas geraknya di antara para mahasiswa di al-Azhar dan di Kulliyah Darul Ulum, telah menyingkapkan pula kepedulian Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani akan masalah-masalah politik. Beberapa sahabatnya telah menceritakan sikap-sikapnya yang menggaungkan seruan-seruan yang bersifat menantang, yang mampu memimpin situasi al-Azhar saat itu. Di samping itu, beliau juga melakukan berbagai perdebatan dengan para ulama al-Azhar mengenai apa yang harus dilakukan dengan serius untuk membangkitkan umat Islam.

Sebenarnya ketika Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani kembali dari Kairo ke Palestina dan ketika beliau menjalankan tugasnya di Kementerian Pendidikan Palestina, beliau sudah melakukan kegiatan yang cukup menarik perhatian, yakni memberikan kesadaran kepada para murid yang diajarnya dan orang-orang yang ditemuinya, mengenai situasi yang ada saat itu. Beliau juga membangkitkan perasaan geram dan benci terhadap penjajah Barat dalam jiwa mereka, di samping memperbarui semangat mereka untuk berpegang teguh terhadap Islam. Beliau menyampaikan semua ini melalui khotbah-khotbah, dialog-dialog, dan perdebatan-perdebatan yang beliau lakukan. Pada setiap topik yang beliau sodorkan, hujjah beliau senantiasa kuat. Beliau memang mempunyai kemampuan yang tinggi untuk meyakinkan orang lain.

Ketika beliau pindah pekerjaan ke bidang peradilan, beliau pun lalu mengadakan kontak dengan para ulama yang pernah beliau kenal dan beliau temui di Mesir. Kepada mereka beliau mengajukan ide untuk membentuk sebuah partai politik yang berasaskan Islam untuk membangkitkan kaum muslimin dan mengembalikan kemuliaan dan kejayaan mereka. Untuk tujuan ini pula, beliau berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain di Palestina dan mengajukan ide yang sudah mendarah daging dalam jiwa beliau itu kepada tokoh-tokoh terkemuka, baik dari kalangan ulama maupun para pemikir. Kedudukan beliau di Mahkamah Isti’naf di al-Quds sangat membantu aktivitas beliau tersebut. Dengan demikian, beliau dapat menyelenggarakan berbagai seminar dan mengumpulkan para ulama dari berbagai kota di Palestina. Dalam kesempatan itu, beliau mengadakan dialog dengan mereka mengenai metode kebangkitan yang benar. Beliau banyak berdebat dengan para pendiri organisasi-organisasi sosial Islam (Jam’iyat al-Islamiyah) dan partai-partai politik yang bercorak nasionalis, patriotis, dan komunis. Beliau menjelaskan kekeliruan langkah mereka, kesalahan pemikiran mereka, dan rusaknya kegiatan mereka.

Selain itu, beliau juga sering melontarkan berbagai masalah politik dalam khotbah-khotbah yang beliau sampaikan pada acara-acara keagamaan di masjid-masjid, seperti di Masjid al-Aqsha, Masjid Ibrahim al-Khalil (Hebron), dan lain-lain. Dalam kesempatan seperti itu beliau selalu menyerang sistem-sistem pemerintahan di negeri-negeri Arab, dengan menyatakan bahwa semua itu merupakan rekayasa penjajah Barat, dan merupakan salah satu sarana penjajah Barat agar dapat terus mencengkeram negeri-negeri Islam. Beliau juga sering membongkar strategi-strategi politik negara-negara Barat dan membeberkan niat-niat mereka untuk menghancurkan Islam dan umatnya. Selain itu, beliau berpandangan bahwa kaum muslimin berkewajiban untuk mendirikan partai politik yang berasaskan Islam.

Ternyata hal ini membuat Raja Yordania, Abdullah bin al-Hussain marah. Kemudian dipanggillah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani untuk menghadap kepadanya, terutama karena khotbah yang pernah beliau sampaikan di Masjid Raya Nablus. Beliau disuruh hadir di suatu majelis lalu ditanya oleh Raja Abdullah mengenai apa yang menyebabkan beliau menyerang sistem-sistem pemerintahan di negeri-negeri Arab, termasuk juga negeri Yordania. Dalam majelis itu, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani ditanya tetapi tidak menjawab pertanyaan itu, dan malah berpura-pura tidak mendengar. Ini membuat Raja Abdullah mengulangi pertanyaannya tiga kali berturut-turut. Akan tetapi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani tetap tidak menjawabnya. Maka Raja Abdullah pun naik pitam dan berkata kepada beliau, “Syaikh.. Apakah Anda akan menolong dan melindungi orang yang kami tolong dan kami lindungi, atau apakah Anda juga akan memusuhi orang yang kami musuhi?”

Mendengar pertanyaan itu, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani berkata kepada dirinya sendiri, “Kalau aku tidak menyampaikan kebenaran hari ini, lalu apa yang harus aku katakan kepada orang-orang sesudahku nanti?” Kemudian Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani bangkit dari duduknya seraya berkata kepada Raja Abdullah, “Aku telah berjanji kepada Allah, rasul-Nya, dan kaum muslimin, bahwa aku akan menolong dan melindungi (agama) Allah dan akan memusuhi orang yang memusuhi (agama) Allah. Dan aku amat membenci sikap nifaq dan orang-orang munafik!” Maka marahlah Raja Abdullah mendengarkan jawaban itu, sehingga dia lalu mengeluarkan perintah untuk mengusir Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dari majelis tersebut dan menangkap beliau. Kemudian Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani benar-benar ditangkap. Namun kemudian Raja Abdullah menerima permintaan maaf dari beberapa ulama atas sikap Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani tersebut lalu memerintahkan pembebasannya.

Setelah peristiwa itu, beliau lalu kembali ke al-Quds. Dan sebagai akibat kejadian tersebut pula, beliau mengajukan pengunduran diri dari Mahkamah Peradilan dan menyatakan, “Sesungguhnya orang-orang seperti saya sebaiknya tidak bekerja untuk melaksanakan tugas apa pun dari sebuah pemerintahan.”

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani kemudian mengajukan pencalonan dirinya untuk menduduki Majelis Perwakilan Rakyat. Namun karena sikap-sikapnya yang dinilai menyulitkan, aktivitas politik dan upayanya yang sungguh-sungguh untuk membentuk sebuah partai politik, dan keteguhannya berpegang kepada agama, maka akhirnya hasil pemilu menunjukkan bahwa Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dianggap tidak layak untuk duduk dalam Majelis Perwakilan.

H. Mendirikan Hizbut Tahrir

Barangkali peristiwa yang paling menonjol dalam sejarah kehidupan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullahu ta’alaadalah berdirinya Hizbut Tahrir. Di sisi kami tidak akan membicarakan tahapan-tahapan terbentuknya Hizbut Tahrir. Sebab kami telah membuat bahasan tersendiri terkait dengan hal itu. Namun, kami ingin membahas tentang unsur-unsur terpenting yang dimiliki Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, yaitu unsur-unsur yang menjadikan beliau punya posisi penting dan istimewa dalam sejarah para pengemban dakwah yang beraktivitas demi tegaknya agama ini, yaitu dengan mendirikan Hizbut Tahrir yang hingga kini masih tetap berdiri di atas dasar yang dibuat sendiri oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah. Unsur-unsur utama itu di antaranya sebagai berikut.

a. Lingkungan keagamaan (al-bi’ah ad-diniyah) di mana Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dilahirkan dan dibesarkan. Sungguh kami memperhatikan bagaimana beliau mulai sejak kecil telah ditanamkan agama dan kencintaan kepadanya di bawah asuhan ayahnya, ibunya, dan kakeknya dari jalur ibu, Syaikh Yusuf an-Nabhani. Hal ini memberi pengaruh besar bagi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam meretas jalan yang akan ditempuhnya di masa selanjutnya.

b. Posisi keilmuan dan politik yang digeluti Syaikh Yusuf an-Nabhani berpengaruh besar terhadap tumbuhnya kesadaran politik Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dengan begitu cepatnya. Sehingga tidak lama kemudian menjadikan beliau berada di barisan para politisi yang telah teruji dan berpengalaman. Bahkan, Ustadz Ihsan Samarah berkata: “Pendek kata, bahwa kehidupan politik Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani merupakan cermin di antara kepribadian-kepribadian beliau yang menonjol. Sehingga menjadi seakan-akan beliau adalah Hizbut Tahrir itu sendiri. Ketika diketahui bahwa beliau memiliki kompetensi di atas rata-rata dalam melakukan analisa politik, yang tercermin pada kuatnya selebaran-selebaran politik yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir. Begitu juga, beliau dikenal memiliki pengetahuan yang luas terhadap kejadian-kejadian politik, serta cermat dalam memahaminya, di samping kesadaran yang sempurna atas situasi dan kondisi serta pemikiran-pemikiran politik, kesungguhan mengawasi selebaran-selebaran politik Hizbut Tahrir, buku-buku politik yang dikeluarkan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, dan garis-garis besar politik yang dikeluarkan untuk mengkader syabab Hizbut Tahrir secara politik. Ini membuktikan kemampuan politik yang luar biasa yang sedang digeluti oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani.

c. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani benar-benar menyaksikan dan merasakan sendiri bencana runtuhnya Khilafah, musibah-musibah yang menimpa umat Islam, tercerai-berainya tubuh mereka, rakusnya penjajah terhadap mereka, dan jatuhnya Palestina tahun 1948 ke tangan kelompok gangster Yahudi; suksesnya serangan pemikiran dan peradaban, serta sikap para ulama kaum muslimin yang hanya menggunakan retorika-retorika pembelaan terhadap Islam dalam menghadapai serangan yang genting ini, bahkan mereka menakwikan nash-nash Islam, yang justru turut membantu memperkuat pemikiran Barat, sebaliknya menggoncang kepercayaan umat terhadap Islam sebagai sebuah sistem kehidupan. Sehingga, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahulah di sela-sela studinya di al-Azhar bertanya, menguji dan mengkaji tentang sebab keadaan yang menimpa kaum muslimin, serta menguji dan mengkaji metode yang benar untuk mengubah realitas yang rusak ini, di samping itu mengembalikan bangunan istana yang tinggi (Khilafah Islam), yang telah dihancurkannya oleh orang-orang kafir.

d. Pendidikan dan ilmu Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani yang diperoleh dari ayah dan kakeknya, ditambah berbagai disiplin ilmu yang beliau himpun selama masa studinya di al-Azhar dengan sistemnya yang lama dan yang baru telah memberi peluang yang cukup besar kepada Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani untuk meneliti dan mengkaji berbagai gerakan lama, utamanya gerakan-gerakan baru yang berusaha melakukan perbaikan. Hal inilah yang banyak membantu langkan beliau selanjutnya dalam menyusun garis-garis pokok bagi sebuah kelompok partai yang akan beraktivitas membangkitkan umat.

e. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani selama masa studinya di al-Azhar, serta aktivitasnya di bidang pendidikan dan peradilan mampu mengenal banyak karakteristik ulama, ahli fikir dan politisi, yang darinya dibentuk landasan utama bagi partai yang akan didirikannya.

Perkara-perkara ini semuanya terkumpul dalam diri Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, sementara hasilnya, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullahtelah meninggalkan untuk kita “Partai yang besar, kuat dan tersebar luas, serta menjadikan partai ini sebagai kekuatan Islam yang luar biasa yang benar-benar diperhitungkan oleh para pemikir dan para politisi, baik lokal maupun internasional, meski ia termasuk di antara partai-partai yang dilarang di setiap negeri di dunia”.

Untuk itu, beliau terus mengadakan kontak-kontak dan diskusi-diskusi, sehingga akhirnya beliau berhasil meyakinkan sejumlah ulama dan qadhi terkemuka serta para tokoh politikus dan pemikir untuk membentuk sebuah partai politik yang berasaskan Islam. Beliau menyodorkan kepada mereka kerangka organisasi partai dan pemikiran-pemikiran yang dapat digunakan sebagai bekal tsaqafah bagi partai tersebut. Ternyata, pemikiran-pemikiran beliau ini dapat diterima dan disetujui oleh para ulama tersebut. Maka aktivitas beliau pun menjadi semakin padat dengan terbentuknya Hizbut Tahrir.

Publikasi pembentukan partai ini secara resmi tersiar pada tahun 1953, pada saat Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mengajukan permohonan resmi kepada Departemen Dalam Negeri Yordania, sesuai undang-undang organisasi yang diterapkan saat itu. Dalam surat itu terdapat permohonan izin agar Hizbut Tahrir dibolehkan melakukan aktivitas politiknya. Namun permohonan izin itu ditolak oleh pemerintah. Bahkan pihak otoritas menyatakan Hizbut Tahrir sebagai partai terlarang dan beserta segala aktivitasnya.

Namun demikian, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani sama sekali tidak peduli dan tidak menggubris semua itu. Bbahkan beliau tetap nekad untuk melanjutkan misinya menyebarkan risalah yang telah beliau tetapkan sebagai asas-asas bagi Hizbut Tahrir. Beliau memang sangat menaruh harapannya untuk membangkitkan umat Islam pada Hizbut Tahrir, gerakan yang telah beliau dirikan dan beliau tetapkan falsafahnya dengan karakter-karakter tertentu yang beliau gali dari nash-nash syara’ dan sirah Nabi SAW.

Oleh karena itu, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani kemudian menjalankan aktivitas Hizbut Tahrir secara rahasia dan segera membentuk Dewan Pimpinan (Qiyadah) yang baru bagi Hizbut Tahrir, di mana beliau sendiri yang menjadi pucuk pimpinannya. Dewan Pimpinan ini dikenal dengan sebutan Lajnah Qiyadah. Beliau terus memegang kepemimpinan Dewan Pimpinan Hizbut Tahrir ini sampai wafatn beliau pada tanggal 25 Rajab 1398 H, bertepatan dengan tanggal 20 Juni 1977 M. Sepanjang masa kepemimpinan beliau, beliau telah melakukan berbagai kegiatan politik yang luas. Hasil yang paling gemilang, ialah beliau mewariskan kepada kaum muslimin sebuah partai politik yang bermutu tinggi, kuat, dan tersebar luas di seluruh dunia.

Semua upaya beliau ini telah menjadikan Hizbut Tahrir sebagai partai dengan kekuatan Islam yang luar biasa, sehingga Hizbut Tahrir sangat diperhitungkan dan disegani oleh seluruh pemikir dan politikus, baik yang bertaraf regional maupun internasional, kendati pun Hizbut Tahrir tetap tergolong partai terlarang di sebagian besar negara di dunia.

Di bawah kepemimpinan beliau, Hizbut Tahrir telah melancarkan beberapa upaya pengambilalihan kekuasaan di banyak negeri-negeri Arab, seperti di Yordania pada tahun 1969, di Mesir tahun 1973, dan di Iraq tahun 1972. Juga di Tunisia, Aljazair, dan Sudan. Sebagian upaya kudeta ini diumumkan secara resmi oleh media massa, sedang sebagian lainnya memang sengaja tidak diumumkan.

Selain itu, Hizbut Tahrir telah mengeluarkan banyak selebaran (nasyrah) politik yang penting, yang membeberkan berbagai persekongkolan jahat untuk menghancurkan umat Islam. Hizbut Tahrir juga banyak mengirimkan memorandum politik penting kepada para politikus dan penguasa di negeri-negeri Islam dan negeri-negeri Islam lainnya, dengan maksud agar mereka mundur dari pemerintahan dan menyerahkannya kepada Hizbut Tahrir. Atau dengan maksud memberi nasihat dan peringatan atas tindakan-tindakan mereka yang dianggap sebagai tindak pengkhianatan kepada umat Islam. Atau dengan maksud mengancam mereka bahwa umat suatu saat akan mengoreksi dan memperhitungkan tindakan-tindakan mereka.

Walhasil, aktivitas politik merupakan aspek paling menonjol dalam kehidupan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Bahkan sampai-sampai ada yang berpendapat bahwa beliau adalah Hizbut Tahrir itu sendiri, karena kemampuan beliau yang tinggi untuk melakukan analisis politik, sebagaimana yang nampak dalam kecermatan selebaran politik yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir.

Mereka yang mencermati selebaran-selebaran politik yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir, juga kitab-kitab mengenai politik yang ditulis oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, serta garis-garis besar langkah politik yang beliau susun untuk membina pemikiran politik syabab Hizbut Tahrir, akan dapat menyimpulkan bahwa Syaikh Taqiyuddin memang benar-benar mempunyai kemampuan luar biasa dalam masalah politik. Beliau termasuk salah seorang pemikir dan politikus terulung pada abad XX ini.

I. Karya-karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani meninggalkan banyak buku-buku penting, yang dianggap sebagai peninggalan intelektual yang luar biasa dan tak ternilai harganya. Karya-karya beliau ini menunjukkan bahwa beliau merupakan sosok pribadi yang pikiran dan sensitivitasnya di atas rata-rata dan tiada duanya. Beliaulah yang menulis setiap pemikiran dan konsep Hizbut Tahrir, baik yang terkait hukum-hukum syara’ maupun yang terkait masalah-masalah pemikiran, politik, ekonomi dan sosial. Dan inilah yang mendorong sebagian peneliti untuk mengatakan bahwa Hizbut Tahrir itu tidak lain adalah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani.

Karya-karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani kebanyakan berupa buku-buku yang sifatnya pembentukan teori (tanzhiriyah)dan pembuatan rencana (tanzhimiyah), atau buku-buku yang isinya dimaksudkan sebagai seruan untuk melanjutkan kembali kehidupan yang islami (sesuai syariat Islam), dengan terlebih dahulu menegakkan Daulah Islamiyah (Negara Islam). Ustadz Dawud Hamdan menggambarkan karya-karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dengan gambaran yang mendalam dan tepat. Beliau berkata: “Sungguh karya-karya beliau ini merupakan buku-buku dakwah (seruan) yang dimaksudkan untuk membangkitkan kaum muslimin dengan melanjutkan kembali kehidupan yang islami, dan mengemban dakwah Islam”.

Oleh karena itu, buku-buku karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjadi istimewa dan unik, disebabkan isinya yang komprehensif mencakup semua aspek kehidupan dan problematika manusia, baik aspek kehidupan individu khususnya, maupun aspek politik, perundang-undangan, sosial dan ekonomi pada umumnya. Selanjutnya karya-karya beliau ini dijadikan landasan pemikiran dan politis bagi Hizbut Tahrir, di mana Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani sebagai motornya.

Karena banyaknya bidang-bidang kajian dalam buku-buku yang ditulis oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, maka hasil pemikirannya yang berupa buku jumlahnya lebih dari 30 buah buku. Ini tidak termasuk nota-nota politik yang berisi pemecahan terhadap problem-problem yang sifatnya politik, serta penyusunan rencana yang urgen. Dan banyak lagi selebaran-selebaran dan penjelasan-penjelasan yang sifatnya pemikiran dan politik yang penting. Karya-karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjadi istimewa karena ditulis dengan penuh kesadaran, kecermatan, dan kejelasan, di samping metodologinya yang khas yang menonjolkan Islam sebagai sebuah teori ideologis yang komprehensif, yang digali dari dalil-dalil syar’i yang terkandung dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah. Karya-karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani yang sifatnya pemikiran, dianggap sebagai sebuah usaha keras pertama, yang dipersembahkan oleh seorang pemikir muslim dengan metodenya yang khas pada era modern ini.

Karya-karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani yang paling terkenal yang berisi ijtihad-ijtihad beliau, yaitu: (1) Nizham al-Islam, (2) at-Takattul al-Hizbiy, (3) Mafahim Hizb at-Tahrir, (4) an-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, (5) an-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam, (6) Nizham al-Hukm fi al-Islam, (7) ad-Dustuur, (8) Muqaddimah ad-Dustuur, (9) ad-Daulah al-Islamiyah, (10) asy-Syakhshiyah al-Islamiyah tiga jilid, (11) Mafahim Siyasah li al-Hizb at-Tahrir, (12) Nazharat as-Siyasiyah li Hizb at-Tahrir, (13) Nida’ Haar, (14) al-Khilafah, (15) at-Tafkiir, (16) al-Kurrashah, (17) Sur’ah al-Badiihah, (18) Nuqthah al-Intilaq, (19) Dukhul al-Mujtama’, (20) Inqadz al-Filisthin, (21) Risalah al-Arab, (22) Tasalluh Mishr, (23) al-Ittifaqiyat ats-Tsuna’iyah al-Mishriyah as-Suriyah wa al-Yamaniyah, (24) Halla Qadhiyah Filisthin ala ath-Thariqah al-Amirikiyah wa al-Injiliziyah, (25) Nazhariyah al-Faragh as-Siyasiy haula Izinhawir, (26) as-Siyasah al-Iqtishadi al-Mutsla, (27) Naqdhu al-Isytirakiyah al-Markisiyah, (28) Kaifa Hudimat al-Khilafah, (29) Nizham al-Uqubat, (30) Ahkam ash-Shalah, (31) Ahkam al-Bayyinat, (32) al-Fikr al-Islami, (33) Naqdh al-Qanun al-Madaniy. Di samping itu, masih ada ribuan selebaran yang sifatnya pemikiran, politik dan ekonomi.

Buku Naqdh al-Qanun al-Madaniy(bantahan terhadap undang-undang sipil) merupakan pidato yang disampaikan oleh Syaikh Ahmad ad-Da’ur, ketika beliau menjadi wakil rakyat di Parlemen Yordania. Pidato beliau berisikan tentang bantahan beliau terhadap undang-undang sipil tahun 1374 H./1955 M.. Sebenarnya, Syaikh Ahmad ad-Da’ur menunggu dokumen bantahan atas UUD dari Syaikh Taqiyuddin, namun karena suatu hal, yakni sikap pemerintah yang represif, serta adanya pengawasan super ketat terhadap rumah beliau oleh para intelijen Yordania, maka Syaikh Taqiyuddin tidak dapat mengirimkan dokumen kepada beliau. Kemudian, karena kecerdasan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, beliau mengirim dokumen melalui pegawai parlemen. Sehingga, pada saat parlemen duduk untuk menyampaikan pidato tanggapan, maka dari atas kursinya, Syaikh Ahmad ad-Da’ur menyerang UUD, di samping menyerangnya, beliau juga menjelaskan hukum Allah terkait hal itu.

Dengan melihat karya-karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullahyang spektakuler ini, maka kedudukan apa yang pantas bagi beliau! Banyak di antara buku-buku beliau yang dikeluarkan atas nama anggota Hizbut Tahrir, dengan tujuan agar buku-buku itu mudah disebarluaskan, setelah adanya undang-undang yang melarang buku-buku beliau dan peredarannya. Di antara buku-buku itu adalah: Naqdh al-Qanun al-Madani, Ahkam ash-Shalah, al-Fikr al-Islami, as-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, Naqdhu al-Isytirakiyah al-Markisiyah, Kaifa Hudimat al-Khilafah, Ahkam al-Bayyinat, dan Nizham al-Uqubat.

Kitab Ahkam ash-Shalahdikeluarkan atas nama Ustadz Ali ar-Raghib, seorang profesor di Al-Azhar; kitab al-Fikr al-Islami dikeluarkan atas nama Muhammad Muhammad Ismail Abduh, seorang profesor di Universitas Al-Mishriyah; kitab as-Siyasah al-Iqtishadi al-Mutsla dan Nizham al-Uqubat dikeluarkan atas nama seorang pengacara, Abdurrahman al-Maliki; kitab Naqdhu al-Isytirakiyah al-Markisiyahdikeluarkan atas nama Ghanim Ismail Abduh, kitab Kaifa Hudimat al-Khilafahdikeluarkan atas nama Syaikh Abdul Qadim Yusuf Zallum; adapun kitab Naqdh al-Qanun al-Madaniy dan Ahkam al-Bayyinat dikeluarkan atas nama Syaikh Ahmad ad-Daur.

J. Akidah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Mazhab, dan Ijtihadnya

Meskipun Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani sangat hati-hati dengan sektarianisme, namun beliau berpendapat bahwa Mazhab Ja’fariy (salah satu mazhab Syi’ah) merupakan salah satu dari sekian banyak mazhab (aliran) dalam Islam, sebab ushul(dasar) yang menjadi sandarannya, baik dalam persoalan akidah maupun hukum paling dekat dengan Ahlussunnah wal Jama’ah di banding yang lainnya. Sehubungan dengan akidah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, maka kami dapat menyimpulkan melalui pembahasan terhadap topik-topik akidah Islam yang terdapat dalam kitab beliau asy-Syakhshiyah al-Islamiyan jilid pertama, beliau rahimahullahmenjelaskan bahwa rukun iman itu ada enam: iman kepada Allah, iman kepada para malaikat-Nya, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada para Rasul-Nya, iman kepada hari akhir, dan iman kepada qadha’ dan qadar, di mana baik buruk keduanya dari Allah Swt.. Dan hal itu kami temukan juga ketika membahas topik: al-‘Ishmah(kesucian dari kesalahan dan kekeliruan), wahyu dan lainnya.

Sedang mazhab Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, maka belum ada sumber yang menjelaskan tentang mazhab beliau. Namun dapat kami katakan bahwa Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani mazhabnya adalah Mazhab Syafi’i. Pendapat ini didasarkan pada bahwa sejak kecil beliau telah dididik oleh kakeknya, yang bermazhab Syafi’iy.

Sebelumnya telah disebutkan bahwa Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani belajar di Al-Azhar. Beliau memadukan dua sistem al-Azhar yang lama dan sistem yang baru di Darul Ulum. Beliau memperlihatkan keunggulan dan keistimewaan dalam hal keseriusan dan kesungguhannya. Beliau mempelajari kitab-kitab yang ada di perpustakaan al-Azhar ketika itu, mulai dari bahasa, ushul fiqih hingga bidang-bidang yang lainnya. Dari pengkajian dan penelitian beliau yang luas ini, maka memungkinkan bagi beliau untuk membuat kaidah-kaidah khas beliau sendiri dalam ilmu ushul fiqih yang didasarkan pada kuatnya dalil yang menurut penilaian beliau paling rajih (kuat). Beliau mengkritisi banyak kaidah syara’ dengan menjelaskan kesalahan beberapa kaidah, menjelaskan keabsahan sebagian, dan meluruskan sebagian yang lain. Beliau membatasi sumber-sumber syariat (hukum) Islam dengan empat sumber saja: al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ Shahabat, dan Qiyas. Sebab hanya empat sumber inilah sumber-sumber syariat yang didukung oleh dalil qath’i (dalil yang kebenarannya tidak ada yang meragukan). Sedangkan sumber-sumber yang lain, yang tidak didukung oleh dalil-dalil syara’ yang tidak diragukan kehujjahannya, maka beliau tinggalkan. Dalam pandangan beliau, persoalan sumber-sumber syariat persis dengan persoalan akidah bahwa dalam menetapkannya harus didukung oleh dalil-dalil syara’yang tidak diragukan. Sementara metode ijtihad beliau didasarkan pada pertama meneliti fakta dan memahami realita, baru kemudian mempelajari nash-nash syara’ yang terkait dengan fakta dan realita ini, serta memeriksanya untuk memperkuat bahwa nash-nash tersebut datang membawa hukum atas realita yang hendak dipecahkannya, selanjutnya memahami makna-makna nash sesuai data-data bahasa Arab, setelah itu baru ditetapkan hukum syara’ yang diambil dari nash-nash ini. Sehingga, konsisten dengan metode ini dalam berijtihad menjadikan ketenangan dan kepuasan senantiasa menyertainya, bahwa hukum-hukum yang digalinya adalah hukum-hukum syara’ yang ditopang dengan kekuatan dalil syara’. Oleh karena itu, beberapa peneliti menganggap Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani seorang mujtahid muthlaq.

Termasuk keistimewaan metode Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam menggali hukum dan berijtihad adalah menjadikan realita sebagai tempat berfikir bukan sumber bagi penetapan hukumnya, menundukkan realita untuk dipecahkan dengan hukum syara’, dan membentuk realita sejalan dengan Islam, serta tidak menjadikan hukum syara’ mengikuti realita, sebagaimana yang banyak dilakukan oleh para ulama kontemporer yang sering menarik ulur nash-nash untuk menyesuaikan dengan realita, serta untuk menyenangkan nafsu para penguasa. Beliau bukanlah orang yang melihat bahwa pendapatnya saja yang benar sementara pendapat orang lain batil (salah) apalagi sesat, tetapi beliau melihat pendapatnya benar namun tidak menutup kemungkinan salah, sebaliknya pendapat orang lain salah namun tidak menutup kemungkinan benar. Inilah yang menjadikan beliau banyak mendengarkan pendapat-pendapat yang lain, mengkaji dan menelitinya, meski beliau tetap percaya dengan pendapatnya.

K. Posisi Keilmuan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani

Keilmuan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani terlihat jelas sekali melalui karya-karyanya yang beragam, yang mencakup semua aspek yang sangat diperlukan umat di jalan kebangkitan, dan mengembalikan kedudukan umat Islam pada kedudukan yang seharusnya di antara umat-umat yang lain. Dari karya-karya ini tampak bahwa beliau berupaya melakukan pembaruan yang belum pernah dilakukan sebelumnya di berbagai bidang: pemikiran, fiqih, dan politik. Jadi, karya-karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani yang sifatnya pemikiran dianggap sebagai sebuah usaha keras pertama yang dipersembahkan oleh seorang pemikir muslim dengan metodenya yang khas pada era modern ini. Dengan begitu, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah merupakan tokoh di antara tokoh pemikir dan politik pada abad dua puluh. Sehingga tidaklah aneh jika setelah itu ada orang yang memasukkan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah dalam golongan ulama mujtahid mujaddid.

Ustadz Ghanim Ismail Abduh —salah seorang anggota Hizbut Tahrir senior yang terkenal— menceritakan bahwa Sayyid Quthub rahimahulah menyanjung dan memuji Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di salah satu forum ilmiyah yang beliau pimpin. Sanjungan dan pujian beliau ini merupakan bentuk penolakan atas sikap banyak orang yang mulai menyerang dan merendahkan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Di antara pernyataan Sayyid Quthub terkait Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani: “Sesungguhnya syaikh ini —yakni Taqiyuddin an-Nabhani— dengan kitab-kitabnya, telah sampai pada derajat ulama-ulama kita terdahulu”. Ustadz Dr. Muhammad bin Abdullah al-Mas’ari menggambarkan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dengan perkataan: “Tokoh pembaharu, teladan para ulama yang ikhlas dalam beramal: al-Alim al-Mujahid dan al-Imam ar-Rabbani Abu Ibrahim Taqiyuddin an-Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir). Beliaulah yang telah meletakkan batu pondasi untuk pemikiran Islam modern yang luhur dan pergerakan yang ikhlas yang memiliki kesadaran tinggi. Semoga Allah mengangkat derajatnya bersama para Nabi, shiddiqin, para syahid dan orang-orang shaleh”.

L. Wafatnya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani enggan hidup sebagai penulis yang karya-karyanya hanya untuk melengkapi koleksi perpustakaan-perpustakaan, pengarang yang hasilnya hanya untuk dipelajari, peneliti yang hanya sebatas menemukan kebenaran, berkarir di bidang politik, atau sebagai pengajar politik, namun beliau ingin hidup sebagai peneliti dan penulis untuk menyadarkan umat dan membangkitkannya berdasarkan Islam, memerangi serangan pemikiran dan peradaban yang telah merasuk ke tengah-tengah para pelajar dalam waktu yang lama, berusaha keras membebaskan umat dari penjajahan pemikiran, frustasi dan serangan budaya, selanjutnya mengurusi urusan umat dengan Islam, setelah umat kembali lagi percaya dengan Islam dan solusi-solusinya.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah menegaskan bahwa berkelompok dan berorganisasi harus di atas ideologi, agar ikatannya dalam berpartai adalah ikatan ideologis bukan ikatan (hubungan) pribadi. Sebab, hanya dengan cara ini dapat dijamin keberlangsungan dan kesatuan (keutuhan) partai, serta kelurusan kepemimpinan yang memimpinnya. Dengan ikatan ideologis ini, siapapun tidak memiliki otoritas selain terikat dengan fikrah dan thariqah(pemikiran dan pelaksanaannya), juga penilaian atas orang-orang yang tergabung dalam partai itu hanya berdasarkan pelayanan dan pegabdiannya terhadap ideologi, serta kreatifitasnya dalam merealisasikan tujuannya, dan menyatunya dengan pemikirannya.

Oleh karena itu, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah menolak kepribadiannya dan ilmunya dijadikan topik pembahasan dan diskusi. Namun, meski demikian, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullahmengharuskan dirinya menyelami berbagai bidang pengetahuan, sehingga menghasilkan karya-karya ilmiyah yang istimewa meliputi bidang fiqih, pemikiran dan politik. Dengan begitu, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah merupakan tokoh di antara tokoh pemikir dan politik pada abad dua puluh.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menghabiskan dua dekade kehidupannya yang terakhir sebagai orang yang terasing, terusir dan buronan yang dijatuhi hukuman mati. Namun, semua itu tidak menghalanginya dari beraktivitas secara terus-menerus, serta kegiatan-kegiatan secara serius dan tekun, dalam rangka menyebarkan pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir yang beliau dirikan, dan merealisasikan tujuannya berupa kembalinya kehidupan yang sesuai syariat Islam dengan terlebih dahulu mendirikan Khilafah di atas metode kenabian. Kalau bukan karena Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani yang menghidupkan kembali pemikiran (ide) Khilafah di tengah-tengah umat setelah lama tertutup debu dan kotoran kebodohan, tentu maslahnya lain. Wallahu a’lam.

Anggota parlemen Palestina, Muhammad Dawud Audah menceritakan bahwa Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah seorang yang fakir, dan beliau wafat dalam keadaan fakir. Beliau tinggal di lantai lima pada sebuah apartemen. Beliau dengan rendah hati menaiki apatemennya dengan jalan kaki, sebab di apartemen itu masih belum ada lift. Di awal-awal dekade 1970-an, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani pergi ke Irak. Beliau ditahan tidak lama setelah adanya kampanye besar-besaran penangkapan terhadap para anggota Hizbut Tahrir di Irak. Beliau disiksa dengan siksaan yang keras hingga beliau tidak mampu lagi berdiri karena banyaknya siksaan. Beliau terus-menerus mendapatkan siksaan hingga beliau mengalami kelumpuhan setengah badan (hemiplegia). Kemudian beliau dibebaskan dan segera ke Libanon. Di Libanon beliau mengalami kelumpuhan pada otak. Tidak lama kemudian beliau dilarikan ke rumah sakit dengan menggunakan nama samaran. Dan di rumah sakit inilah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullahu wa ta’ala wafat. Beliau dikebumikan di pekuburan asy-Syuhada di Hirsy, Beirut di bawah pengawasan yang sangat ketat, dan dihadiri hanya sedikit orang di antara keluarganya.

Tentang tanggal wafatnya masih simpang siur. Sebagian menyebutkan wafat pada tanggal 25 Rajab 1397 H./20 Juni 1977 M.. Pernyataan ini masih perlu dipertanyakan, sebab tanggal 25 Rajab 1397 H. tidak bertepatan dengan tanggal 20 Juni 1977 M., melainkan tanggal 30 Juni. Sedang koran ad-Dusturmenyebutkan bahwa Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani wafat pada hari Kamis 19 Muharram 1398 H./29 Desember 1977 M.. Mungkinsaja tangal ini bukan tanggal wafatnya beliau, melainkan tanggal dipublikasikannya pengumuman kematian di koran, sebab Hizbut Tahrir mengumumkan kematian beliau dalam bayan (penjelasan) bahwa Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani wafat pada tanggal 1 Muharram 1398 H.atau tanggal 11 Desember 1977 M.. Dan ini yang lebih dipercaya untukdijadikan pegangan.

Sungguh ada sesuatu yang cukup menyakitkan, yang menambah kesedihan hati yang begitu berduka atas hilangnya orang yang alim, mulia, dan pemikir untuk pembebasan, yaitu apa yang diceritakan oleh Syaikh Dr. Abdul Aziz al-Khayyath bahwa semua media cetak di neger-negeri Arab dan negeri-negeri Islam menolak untuk mempublikasikan berita meninggalnya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Syaikh al-Khayyath berkata: “Saya ingat bahwa saya berusaha kepada koran ad-Dustur dan
pemimpin redaksinya ketika itu agar mempublikasikan sebuah berita duka, dan ia baru mau memenuhi keinginanku setelah didesak, dan akhirnya dipublikasikan dengan beberapa baris kecil-dan itupun diletakkan di belakang salah satu halaman-berita tentang wafatnya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani.

Dibaca

 274 total views,  2 views today

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi