Seri Transformasional Leadership:
Belajar dari Muhammad Al Fatih, Achieving the Impossible
Ada momen yang tak bisa dilupakan. Memang benar semua momen saat pembebasan Konstantinopel selalu memberi inspirasi yang memotivasi. Terutama dari gagasan-gagasan terobosan hingga eksekusinya. Juga sulit membayangkan dalam situasi saat itu, bagaimana Al Fatih bisa mengatur semua sumber daya pasukannya, dari SDM hingga logistik sedemikian efektif dan efisien. Jelas tak mudah melupakannya. Dalam banyak hal apa yang telah dilakukan pemimpin dan pasukan terbaik ini pun sudah dijadikan benchmark bagi banyak keperluan kepemimpinan dan manajemen organisasi hari ini. Masyaallah tabarakallah. Allahumma sholli ala Muhammad.
Namun dari semua itu, tetap ada satu momen spesial yang memang tak bisa dilupakan. Ya, biah sholihah shaum yang sangat kuat melekat pada diri pemimpin dan pasukan terbaik itu. Ya, poin bahasan kita kali ini adalah Ramadan bulan pendidik biah sholihah kita, bulan di mana ibadah shaum menjadi core-nya. Bulan penyiapan pemimpin dan pasukan terbaik!
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa itu telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)
Ayat ini, sebagaimana banyak ayat yang lain penyeru amal saleh, pertama-tama menyeru pada keimanan. Benar, hanya keimanan yang diseru. Maka, orang yang mengaku beriman sudah seharusnya melakukan amal saleh. Amal saleh tidak mungkin tidak, hanya bisa dilakukan oleh orang yang beriman. Orang beriman namun melakukan amal salah alias maksiat, maka dipertanyakan keimanannya! Di sinilah, muncul statement khas bahwa iman seorang muslim itu iman yang kokoh dan produktif. Kokoh karena sebagai keyakinan yang didapatkan melalui proses berpikir yang mendalam yang memuaskan akal, menentramkan jiwa dan sesuai dengan fitrah manusia tidak akan mudah goyah. Produktif, karena keimanan seperti ini akan memunculkan kecenderungan beramal sholeh yang kuat. Al Fatih jelas sangat memahami ini sejak mula.
Lalu, ayat ini juga diakhiri dengan frasa “agar kalian bertakwa.” Menurut Imam Al-Jazairi, frasa ini bermakna agar dengan shaum itu, Allah Swt. menyiapkan kalian untuk bisa menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Jelas dan lugas. Bukan kalimat “mempersiapkan kalian untuk bisa menjalankan sebagian perintahNya dan menjauhi sebagian larangan-Nya”. Juga bukan kalimat “mempersiapkan kalian untuk bisa menjalankan sedikit perintah-Nya dan menjauhi sedikit larangan-Nya”. Yang ada adalah “semua” bukan “sebagian” juga bukan “sedikit.” Semua artinya keseluruhan.
Jadi, melalui momentum Ramadan, Allah Yang Maha Rahman dan Rahiim mempersiapkan kita untuk menjadi pribadi-pribadi muslim yang taat sepenuhnya terhadap syariat-Nya tanpa tapi, tanpa nanti, tanpa berat hati. Ketaatan yang benar-benar menjadi biah sholihah. Menjadi habit. Walhasil Ramadan menjadi wahana habituasi amal-amal ketaatan. Dalam tempo singkat hanya 1 bulan atau 29/30 hari. Jauh lebih singkat dibanding hasil penelitian yang menyebutkan perlu waktu 66 hari rata-rata atau maksimal 254 hari. Atau riset lain yang menyebut rata-rata perlu 90 hari. Nah!
Efektifkah Ramadan? Tentu bergantung pada syarat dan ketentuan yang berlaku. Apa itu? Yaitu, jika amal yang dilakukan dilandaskan pada keimanan yang kokoh dan produktif dan dengan penuh kesungguhan agar memenuhi dua syarat sebagai amal saleh, yakni ikhlas lillahi ta’ala dan caranya sesuai dengan syariat.
Kita jadi mengerti mengapa Al Fatih sering mengeluarkan maklumat ‘jagalah syariat di depan mata kita’ dan yang semacamnya yang bernada pentingnya idrak silah billah atau kesadaran hubungan dengan Allah! Kesadaran bahwa ketika melakukan sesuatu semata karena melaksanakan perintah Allah Swt.! Kesadaran yang tumbuh karena iman yang kokoh dan produktif dan berbuah biah sholihah, kebiasaan beramal saleh.
Itu mengapa keberadaan Ramadan benar-benar dimanfaatkan Al Fatih untuk memaksimalkan proses habituasi semua amal ketaatan agar menjadi habit seluruh anggota pasukan dan semua pimpinannya. Jika ini sudah terjadi, maka pembebasan Konstantinopel akan mudah didudukkan menjadi bagian dari amal saleh!
Lantas bagaimana flowchart-nya sehingga benar-benar bisa menjadi habit?
Semua dimulai dari pemikiran. Pemikiran yang mendalam dan besar sebagaimana yang juga menjadi poin penting kepemimpinan transformasional. Sejalan dengan ‘kewajiban pertama bagi seorang mukallaf adalah berpikir dan mencari dalil untuk ma’rifat kepada Allah Ta’ala’ yang ditegaskan oleh Imam Syafi’i. Pemikiran yang menjawab pertanyaan yang sangat mendasar dan besar, yakni (1) dari mana kita berasal, (2) akan kemana kita setelah mati nanti, dan (3) untuk apa kita hidup di dunia. Pemikiran yang semestinya akan menghantarkan kita untuk ma’rifat kepada Allah Ta’ala yang ditandai dengan ketaatan dalam menjalankan syariat-Nya. (Imam Nawawi Al Bantani).
Pemikiran ini akan melahirkan pemahaman tentang jati diri bahwa kita adalah hamba Allah. Pemahaman yang membangkitkan kesadaran sebagai muslim yang kaffah, bukan muslim yang sekuler. Selanjutnya, kesadaran ini akan memantik munculnya kemauan yang ditandai dengan dibuatnya azam, tekad untuk menyiapkan diri, memperbaiki diri, memaksimalkan diri agar menjadi muslim yang kaffah, sosok muslim yang terbentuk dari integrasi penguasaan tsaqofah Islam yang memadai, syakhsiyyah (kepribadian) Islam yang konsisten dan penguasaan ilmu kehidupan yang mencukupi. Kemauan yang telah dibakukan dalam bentuk azam ini pada tahapan selanjutnya memunculkan aksi, amal perbuatan yang dipandu dalam koridor tawakkal, sesuai dengan formula ‘fa idza azamta fatawakkal alallah’. Pada tahapan inilah, terjadi proses habituasi amal sehingga berubah menjadi habit atau biah sholihah.
Jadi, sederhananya akan membentuk alur: pemikiran, pemahaman, kesadaran, kemauan, aksi, dan akhirnya habit (biah sholihah). Kabar gembiranya, semua alur ini bisa terjadi secara serial dan sekaligus paralel dalam satu bulan penuh yang bernama Ramadan. Kenapa serial dan sekaligus paralel? Itu karena tidak ada satu detik pun terlewati dalam hari-hari di bulan Ramdan kecuali di situ ada niat yang ditekadkan setiap hari (plan), ada amal yang dilakukan berulang setiap hari (do), ada muhasabah yang selalu terjadi setiap hari (check), dan ada amal yang telah mendapat sentuhan perbaikan/penyempurnaan yang dilakukan di kemudian hari (action). Pergerakan di setiap harinya terjadi secara serial. Namun, pergerakan dari hari ke hari terjadi secara paralel. Melakukan sembari menguatkan terus-menerus secara berulang. Begitu setiap hari.
Hasilnya, setiap kita akan bisa memimpin pola pikir (aqliyah) dan pola sikap (nafsiyah) pribadi agar pemenuhan dan penyaluran hajatu al udhawiyah (kebutuhan jasmani) dan gharizah (naluri-naluri) senantiasa sesuai dan dapat dipertanggunggjawabkan kepada Sang Khalik.
Hasilnya, di dalam komunitas/organisasi, kita dapat memimpin, mengerahkan dan memberdayakan segenap komponen komunitas agar secara bersama-sama dapat mencapai tujuan yang ditetapkan di mana interaksi antarindividu berada dalam koridor ide, perasaan, dan aturan yang sama yang berasal dari Al Khalik.
Hasilnya, akidah dan syariat akan menjadi pengarah dan rujukan dalam setiap aspek kehidupan bagi pribadi, komunitas, bahkan dalam kehidupan bernegara agar semua menjadi berkah di dunia dan selamat di akhirat.
Kalau sudah begini, sangat mudah dipahami, sepanjang syarat dan ketentuannya dipenuhi, betapa Ramadhan benar-benar efektif menyiapkan sosok-sosok muslim kaffah, sosok-sosok pemimpin anshorullah! Bahkan Al Fatih cukup memaksimalkan dua kali momentum Ramadan untuk penyiapan pasukannya dan … Konstantinopel pun dibebaskan dengan izin dan pertolongan Allah. Allahu Akbar! Allahumma sholli ala Muhammad.
Hikmah Bakal Aksi:
Tetaplah setia pada keyakinan.
Tetaplah taat pada syariat.
Tetaplah semangat dalam ikhtiar.
Tetaplah husnudzon kepada Allah.
Pak Kar. 18.4.2023
Untuk Sehzade Ali