#22 Ini Pembebasan Bukan Penjajahan!

Seri Transformasional Leadership:
Belajar Dari Muhammad Al Fatih, Achieving the Impossible

Inilah penggalan kisah dari Perang Qadisiyyah tahun 636 M. Qadisiyyah sebuah kota kecil di wilayah Irak sekarang. Ini perang membebaskan Persia. Terjadi dialog antara Panglima Perang Persia, Jenderal Rustum dengan Rabi bin Amir utusan Panglima Saad bin Abi Waqash ra. Rustum bertanya kepada Rabi, “Apa sesungguhnya yang kalian mau?” Rabi menjawab, “Allah telah mengutus kami. Demi Allah, Allah telah mendatangkan kami agar kami mengeluarkan siapa saja yang mau dari penghambaan kepada sesama hamba (manusia) menuju penghambaan hanya kepada Allah. Dia mengeluarkan mereka dari dunia yang sempit menuju akhirat yang luas, dan mengeluarkan mereka dari kezaliman agama-agama yang ada kepada keadilan Islam.” (Ath-Thabari, Târîkh al-Umam wa al-Mulûk).

Akhir kisahnya, sejarah mencatat, Imperium Persia yang pongah dan zalim itu pun jatuh di tangan Khalifah Umar bin Khattab atas izin dan pertolongan Allah.

Jelas tergambar di situ, misinya adalah agar umat manusia terbebas dari penghambaan kepada sesama manusia, menuju penghambaan hanya kepada Allah Swt.! Pembebasan bukan penjajahan! Sebab, jika penjajahan, maka hanya akan memindahkan penghambaan dari penguasa yang lama kepada penguasa penjajah atau penguasa baru boneka penjajah saja! Dalam penjajahan, akan terjadi penghambaan kepada sesama manusia dalam segala bentuknya yang akhirnya memudahkan penguasaan sumber daya negeri itu untuk kepentingan penjajahnya!

Lantas, apakah metode pembebasan tidak diatur dalam syariat? Ternyata diatur dengan gamblang, jelas, dan lugas. Bisa kita simak dari penggalan kisah peradilan terbesar sepanjang sejarah peradaban manusia. Peradilan yang terjadi pada tahun 705 M. Peradilan terhadap Panglima Kaum Muslim, Qutaibah bin Muslim di Kota Samarkand.

Samarkand sebuah kota besar, sekarang menjadi bagian dari Uzbekistan. Penduduknya memiliki pasukan yang kuat. Mereka kaum penyembah berhala. Pembebasan Samarkand terjadi di era Khalifah Umar bin ‘Abdil ‘Aziz rahimahullah. Meski sebagian besar penduduk menerima, namun ternyata masih ada yang tidak terima. Mereka ini dukun-dukun yang melarikan diri dan bersembunyi di kuil. Mereka mengadu pada Khalifah. Mengadukan Qutaibah!

Khalifah pun segera merespon dengan memberi perintah kepada Gubernur Samarkand, ‘Dari Amirul Mukminin kepada Gubernur Samarkand. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu. Angkatlah seorang hakim yang akan memberikan peradilan antara dukun Samarkand dan Qutaibah bin Muslim.’ Gubernur mengangkat seorang hakim dengan cepat. Sang hakim meminta kehadiran Qutaibah yang saat itu sebenarnya sedang dalam perjalanan untuk membebaskan Cina! Betapa pun jauhnya, panggilan itu segera ditanggapi dalam kesempatan pertama.

ASAP, as soon as possible! Qutaibah bergegas menghadap. Sebelum Qutaibah masuk ke area masjid yang di dalamnya akan diadakan peradilan, dia letakkan pedangnya dan menanggalkan sandalnya, kemudian berjalan menuju depan hakim, lalu sang hakim berkata, ’Duduklah kamu di sisi penuntutmu.’

Peradilan pun dimulai. Pembesar dukun berdiri seraya berkata, ’Sesungguhnya Qutaibah bin Muslim masuk ke negeri kami tanpa peringatan. Seluruh negeri telah dia beri peringatan dan pilihan, masuk Islam, atau membayar jizyah, atau perang, kecuali kami, dia menyerang kami tanpa peringatan.’

Maka, hakim menoleh kepada Panglima Pembebas, Qutaibah bin Muslim seraya berkata, ’Wahai Qutaibah, apakah kamu telah mengajak mereka kepada Islam atau jizyah atau perang?’ ’Apa bantahanmu atas pengaduan ini?’

Qutaibah menjawab dan menjelaskan alasannya,
’Tidak, bahkan kami menyerang dengan cara mengagetkan mereka karena adanya potensi bahaya besar yang dapat mereka timbulkan kepada kami.’ Ingat, ini perang dan mereka punya pasukan yang kuat!

Berkatalah sang hakim, ’Wahai Qutaibah, aku telah memutuskan, dan atasnya peradilan selesai. Wahai Qutaibah, tidaklah Allah Swt menolong umat ini kecuali dengan agama, menjauhi pengkhianatan, dan menegakkan keadilan. Demi Allah, tidaklah kita keluar dari rumah-rumah kita kecuali karena berjihad di jalan Allah. Kita tidak keluar untuk menguasai bumi, dan menipu negeri kemudian berjaya di dalamnya tanpa hak.’

Sang hakim pun menjatuhkan putusannya, ’Aku memutuskan agar seluruh pasukan kaum
muslimin keluar dari negeri ini dan mengembalikan negeri ini kepada penduduknya, serta memberikan mereka kesempatan untuk bersiap-siap perang, kemudian memberikan mereka pilihan antara Islam, jizyah dan perang. Jika mereka memilih perang, maka peranglah. Dan hendaknya seluruh kaum muslimin semuanya keluar dari Samarkand dengan berjalan kaki sebagaimana mereka memasukinya (yaitu tanpa hasil perniagaan) dan menyerahkan kota ini kepada penduduknya. Yang demikian itu demi melaksanakan Syariat Allah Swt dan sunnah Nabi Muhammad SAW.’

Kaum muslimin pun keluar dari kota tersebut. Sang hakim pun ikut keluar. Para dukun tidak percaya. ‘Mimpi apa kami semalam?’ Penduduk Samarkand terkejut melihat kaum muslimin seluruhnya benar-benar keluar dari kota demi menjalankan putusan peradilan. Sebuah sikap khas Muslim sejati, ‘sami’na wa atho’na’, ‘kami dengar, kami taat’.

Melihat itu semua, sontak utusan para dukun pun berseru, ’Demi Allah, agama mereka benar-benar agama yang hak. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak selain Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah.’ Seruan itu disambut segera oleh para dukun dengan membaca kalimat syahadat. Penduduk Samarkand yang belum masuk Islam pun bersyahadat. Akhirnya semua meminta kepada kaum muslimin untuk kembali ke kota seraya mengatakan, ’Kalian adalah saudara-saudara kami.’

Masya Allah tabarakallah. Allahumma sholli ala Muhammad. Misi pembebasan suatu negeri ternyata diikuti dengan prosedur yang sangat jelas panduannya dari Syariat. Setelah prosedur dijalankan pun, jika ada pengaduan segera direspon dengan peradilan yang cepat, lugas, tidak bertele-tele dan penuh dengan keadilan Islam.

Meski jauh jarak waktunya dari masa Nabi Muhammad SAW, namun Al Fatih paham ketentuan syariat secara kaaffah, termasuk terkait misi dan prosedur pembebasan. Ketentuan syariat yang juga telah diikuti oleh para khalifah terdahulu, para panglima pembebas sebelumnya. Semua agar selalu berada dalam koridor ketaatan. Ketaatan yang membawa keridloan Allah dan menghantarkan pada keberkahan. Semua ini yang kemudian diabadikan dalam nama Islambol yang menggantikan nama Konstantinopel. Islambol yang berarti ‘penuh dengan Islam’. Penuh keberkahan!

Masya Allah tabarakallah. Allahumma sholli ala Muhammad.

Hikmah Bakal Aksi:

Memiliki Nilai-nilai Pribadi Menjadi Salah Satu Syarat Model Kepemimpinan Transformasional! Nilai-Nilai Pribadi Itu Berupa Pola Pikir dan Pola Sikap yang Selalu Mengikatkan Diri Pada Syariat!

Tujuh syarat Model Kepemimpinan Transformasional yang mutlak harus dikuasai : (1) Worldview, (2) Nilai-nilai Pribadi, (3) Motivasi, (4) Memiliki pengetahuan mengenai industri dan organisasi, (5) Memiliki relasi yang kuat dalam industri dan organisasi, (6) Memiliki kemampuan/keahlian kepemimpinan, seperti manajemen, keorganisasian, komunikasi, pengambilan keputusan, analisis kondisi lingkungan, dan kemampuan penunjang lainnya, (7) Memiliki reputasi dan catatan rekor.

Pak Kar. 14.4.2023
Untuk Sehzade Ali

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi