#10 Terobosan Keempat : Penyiapan Militer!

Seri Transformasional Leadership:
Belajar Dari Muhammad Al Fatih, Achieving The Impossible

Kita maju ke tahun 1825- 1830.
“Kamu telah mendapat gelar dari Allah, Tuhan Semesta Alam, menjadi Kanjeng Sultan Abdul Hamid Erucakra Sayyidin Panatagama di Tanah Jawa, Khalifah Rasulullah. Diberkahilah Engkau!” Babad Diponegoro.

Begitulah. Pangeran Diponegoro atau Kanjeng Sultan Abdul Hamid Erucakra Sayyidin Panatagama Khalifah Rasulullah ing Tanah Jawi mengobarkan jihad fi sabilillah dengan tujuan mengusir kafir penjajah Belanda dan menegakkan Balad Islam di Jawa. Ia menata pasukannya sesuai hirarki pasukan Janissari Usmani.

Perang besar yang dipimpinnya didukung penuh para Ulama, Bangsawan dan seluruh rakyat Jawa. Belanda baru bisa menghentikan perlawanan luar biasa dari Pasukan Pangeran Diponegoro di tahun kelima. Perang yang menewaskan 8.000 serdadu Belanda dan 7.000 serdadu asal pribumi. Sementara 200.000 pasukan Jawa syahid.

Benar, Pangeran Diponegoro memang menyusun hirarki pasukannya sesuai dengan hirarki pasukan Janissari Usmani. Ada “arkio,” “turkiyo,” “bulkiyo,” “burjomuah” ini semua adalah istilah dari bahasa Turki. Pangkat tertinggi disebut “Ali Pasha” atau “Ali Basah,” lalu “Pasha” atau “Basah” lalu ada “Aga” atau “Angadulah” dan “Dulah” yang semuanya adalah adopsi dari sistem militer Usmani. Bahkan nama “’Abdul Hamid” sendiri diambil dari nama Sultan ‘Abdul Hamid I’ Pemimpin Usmani yang berkuasa ketika Pangeran Diponegoro dilahirkan.

Sekarang kita kembali ke tahun 1452-1453.
Hasil analisis SWOT merekomendasikan (1) dibuatnya super gun, senjata baru yang sanggup merontokkan tembok benteng yang dampaknya harus lebih dahsyat dari catapult dan manjanik, (2) tembok benteng sebelah timur yang disiapkan menjadi pintu masuk penaklukkan, dan (3) kebijakan diplomasi yang bisa menghalangi atau mengurangi signifikan hadirnya bala bantuan, melengkapi benteng Rumeli Hisari yang telah dibuat.

Rekomendasi yang ketiga sudah dijalankan. Berbarengan dengan itu, rekomendasi pertama dan kedua juga harus dilakukan secara simultan. Keduanya butuh lebih dari sekadar persenjataan, butuh juga pada reorganisasi dan penguatan organisasi pasukan. Pasukan utama itu bernama Janissari. Pasukan inilah yang diadopsi oleh Pangeran Diponegoro dalam menghadapi Belanda.

Al Fatih mengembangkan sistem militer yang sudah dibangun leluhurnya. Sistem ini tersusun atas kesatuan reguler bernama Kapikulu Ocak yang terdiri dari divisi infanteri Janissari dan divisi kavaleri Sipahi. Ada pasukan non reguler Akinci yang juga terdiri dari divisi infanteri dan kavaleri. Juga ada pasukan Azap dan Bashi-Bazouk pasukan sukarela. Benar, dari semua itu, yang paling terkenal adalah Janissari. Terkenal karena ketakwaan dan kemampuannya. Pasukan yang paling ditakuti dan sekaligus dihormati di dunia, khususnya di abad 15 dan 16.

Janissari adalah nama yang diberikan Ulama masa Sultan Orhan, Haji Baktasy. Selain terjun di medan perang, pasukan elit ini juga menjaga keamanan Sultan. Janissari adalah militer modern pertama di Eropa, bahkan di dunia! Wajar Pangeran Diponegoro berhasil menahan gempuran pasukan Belanda yang bersenjata jauh lebih lengkap dengan mengadopsi konsep dan hirarki Janissari Usmani. Apalagi dengan motivasi jihad fi sabilillah. Allahu Akbar!

Selain pasukan darat, Al Fatih juga membangun armada laut yang kuat. Meskipun masih terbilang sederhana di masanya, namun kekuatan dan jumlahnya jangan diragukan. Saat penaklukkan Konstantinopel, Al Fatih membawa 400 kapal perang, jumlah yang amat besar pada masa itu.

Selain modern di masanya, khususnya pasukan darat, Al Fatih juga memperkuat pasukannya dengan pendekatan manajemen sumberdaya yang efektif. Selain sistem yang kuat, pasukan juga mendapat penguatan tsaqofah dan syakhsiyyah Islam. Mempelajari Al Qur’an menjadi menu wajib anggota pasukan. Ketakwaan menjadi fondasi pasukan. Tak heran pasukan yang beragama non Muslim pun akhirnya banyak yang memutuskan masuk Islam. Para ulama juga mendampingi pasukan, memotivasi ruhiyah dan menjaga biah sholihah, khususnya sholat malam, puasa sunnah dan membaca Al Qur’an.

Wajar, bi idznillah wa bi nashrillah, militer Usmani menjelma menjadi pasukan terbaik. Inilah karakter pasukan terbaik itu. Karakter yang terus dipertahankan. Bertrandon de la Broquiere, traveller Perancis yang bertemu tentara Usmani sejak 1430-an menjelaskannya, “Mereka sangat rajin, terbiasa bangun lebih awal dan hidup sederhana … mereka bisa tidur dimanapun, biasanya hanya di tanah … kuda mereka prima, hanya memerlukan pakan sedikit, larinya kencang dan ketahanannya lama …, ketaatan pada pemimpinnya tidak terbatas … ketika perintah sudah diberikan, mereka patuh berbaris rapi dalam keheningan, diikuti oleh yang lainnya dengan sama heningnya … 10.000 tentara Turki (Usmani) dalam kejadian yang sama dapat membuat kegaduhan yang lebih kecil dibanding 100 tentara Kristen… Saya harus mengakui bahwa dalam semua pengalaman saya yang beragam, saya selalu mengenal orang-orang Turki (Usmani) sebagai orang yang jujur dan loyal serta ketika mereka dibutuhkan untuk menunjukkan keberanian, mereka tidak pernah gagal melakukannya.”

Komentar juga datang dari Busbeq, Utusan Austria untuk Usmani, tentang karakter pasukan sebagai faktor pendukung keberhasilan dan kemenangan Usmani dari segi militer:

“Kebersihan dari kemah-kemah tentara Usmani, yang disana tidak akan kita temukan judi maupun minuman keras, atau umpatan dan makian dari mulut tentaranya, kamar kecil yang bersih, serta kesatuan medis yang efektif, mengikuti kemanapun tentara pergi untuk mengobati tentara yang terluka atau sakit.”

Pasukan yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Muhammad saw., disiplin, sangat terorganisir, sami’na wa atho’na, penuh totalitas. Pasukan yang tak pernah meninggalkan biah sholihah, khususnya salat tahajjud, salat dhuha, puasa sunnah, tadarrus sebagai kunci kekuatannya. Pasukan yang mengikuti sang Pemimpin sebagai teladannya!

Inilah terobosan keempat.

Hikmah Bakal Aksi:

Dimilikinya Pengetahuan Mengenai Organisasi dan Kemampuan Keorganisasian Menjadi Bagian Penting Dari Kemampuan/Keahlian Kepemimpinan Sebagai Salah Satu Syarat Model Kepemimpinan Transformasional!

Tujuh syarat Model Kepemimpinan Transformasional yang mutlak harus dikuasai : (1) Worldview, (2) Nilai-nilai Pribadi, (3) Motivasi, (4) Dimilikinya pengetahuan mengenai industri dan organisasi, (5) Dimilikinya relasi yang kuat dalam industri dan organisasi, (6) Dimilikinya kemampuan/keahlian kepemimpinan, seperti manajemen, keorganisasian, komunikasi, pengambilan keputusan, analisis kondisi lingkungan, dan kemampuan penunjang lainnya, (7) Dimilikinya reputasi dan catatan rekor.

Pak Kar. 23.3.2023
Untuk Sehzade Ali

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi