Elo, Gue, End!

Oleh. Choirin Fitri

Risa mengetuk-ngetuk bolpoin di meja belajarnya. Pikirannya berkecamuk. Ada rasa tak enak yang bergelayut manja di dadanya.

“Pacaran itu pintu zina, Ris.”

Ucapan itu tiba-tiba berdengung kembali. Ia terus berpikir dan menyanggah bahwa selama ini pacaran yang dilakukannya pacaran yang sehat.

“Gue enggak neko-neko kok. Cuma suka jalan bareng aja. Terus, pacaran kita saling memotivasi untuk berprestasi.”

Sanggahan itu nyatanya mental di hadapan lawan bicaranya yang tak lain adalah kakaknya sendiri, Kak Bayu.

“Tetap aja. Kamu masih jalan berdua sama dia. Ingat, lho, ya, kata Rasulullah kalau kita berduaan dengan orang yang bukan mahram kita, yang ketiga adalah setan. Hiiiiiii ….”

Muka seram kakaknya semalam masih diingat Risa dengan jelas. Ia kembali begidik dibuatnya.

“Masak iya sih gue kudu putus?”

Risa masih mengetuk-ngetuk bolpoin ke mejanya. Ia benar-benar tidak rela putus dari Diko yang telah setahun ini menjalin hubungan dengannya. Baginya, Diko adalah penyemangat belajarnya. Ia merasa banyak prestasi yang dihasilkan selama setahun ini karena Diko selalu mendampinginya untuk belajar dan berprestasi dalam bidang akademik ataupun yang lainnya.

* * *

“Va, Kak Bayu minta gue putusin Diko,” ucap Risa sembari menyeruput es degan.

“Lho? Kenapa? Diko mengkhianati, lo?” Vania terbelalak. Selama ini, yang ia tahu keduanya adalah pasangan paling ideal di sekolah. Cantik, ganteng, plus punya prestasi yang bejibun.

“Enggak, sih. Kata Kak Bayu, pacaran itu banyak investasi dosanya. Mendekati zina gitu.”

“Hahaha, zaman kayak gini masih takut dosa. Emang kakak lo udah dijamin surga dan enggak punya dosa gitu?”

“Ya, enggak gitu juga keeeleeees. Kak Bayu hanya menyampaikan apa yang dia pahami setelah mengkaji Islam di kampusnya. Gitu katanya.”

“Wah, jangan-jangan kakak lo kena itu apa namanya, Islam rad….? Rad apa ya?” Vania garuk-garuk kepala. Tiba-tiba kecerdasannya menguap entah ke mana.

“Radikal maksud, lo?”

“Iya, itu,” ucap Vania sambil mengangguk-angguk dan tertawa sekejap lalu meminum es degan yang tinggak setengah porsi.

“Gue enggak tahu. Yang jelas sejak ikut kajian-kajian di kampusnya, Kak Bayu mendadak alim. Rajin salat, bicaranya santun, dan yang terpenting udah enggak pernah ngajak Kak Sari, pacarnya ke rumah. Apa mereka udah putus ya?”

“Lo tanya gue? Mana gue tahu, secara itu kakak lo, bukan kakak gue. Harusnya lo tanya kakak lo. Nyuruh lo putus, apa dia sendiri juga udah putus.”

“Heeemmm, bisalah nanti kutanyain. Yuk ah, cabut! Gue disuruh nyokap pulang cepat,” Risa menarik tangan sahabatnya.

“Eh, es degan gue belum abis. Sayang nih tinggal dikit,” Vania buru-buru memasukkan sesendok degan serut ke mulutnya.

“Ayoooo buruan! Entar gue tinggal nih,” ucap Risa tak sabar. Bundanya telah menelepon HP-nya beberapa kali.

“Iya, Bun ini Risa pulang.”

* * *

[Say, malming nonton konser yuk!]

Sebuah pesan dari akun bernama pacarku tercentang biru di layar gawai yang dipegang Risa.

Sudah 3 malam Minggu dia lewatkan bersama sang pacar. Kak Bayu selalu berjaga-jaga di depan pintu. Larangan pacaran benar-benar bukan sekadar omongan. Kakaknya menjaga dengan ketat.

[Sorry, Say! Kak Bayu masih ngelarang gue ketemu lo]

[Idih, kolot banget sih kakak lo itu!]

[Say, berani enggak samperin gue ke rumah?]

Sebuah emoticon kuning dengan wajah berpikir menjadi balasan. Tak lama kemudian, Risa mendapat jawaban.

[Oke. Gue bakal coba temui kakak lo, moga dengan kegantengan gue dia bakal luluh dan ngasih izin lo untuk gue ajak nonton.]

[Semangat, Sayangnya Risa]

Jawaban dan emoticon penuh cinta dikirim. Risa senyum-senyum sendiri menatap langit-langit kamarnya. Meski sebenarnya ada rasa takut akan dosa yang diceritakan kakaknya tentang orang-orang yang berzina, rasa rindu pada sang pacar yang telah lama tak bertemu karena kuliah di kota sebelah mengalahkan semuanya.

Sebuah motor terdengar berhenti di halaman rumah. Sepekan ini Bunda menginap ke rumah nenek. Ada hajatan. Resmi rumah hanya dihuni berdua dengan kakaknya.

Risa membuka tirai. Matanya menangkap sosok laki-laki yang berhasil mengisi hatinya. Ia berbinar. Sayang saat ia ingin keluar, kakaknya sudah memalang pintu dengan tubuhnya.

“Siapa? Pacar kamu? Heeemmm, berani benar dia ke sini,” ucap Bayu bersedekap di hadapan adiknya.

“Minggir Kak, Risa mau lewat!” Risa mendorong kakaknya. Sayang tidak berhasil. Badan bongsor kakaknya tak bisa digeser.

“Pakai kerudung adik kakak yang salihah. Dia belum jadi suami kamu. Bukan mahram.”

“Oke, aku pakai kerudung. Setelah itu aku boleh ketemu, ya!”

“Ada syaratnya,” ucap Bayu mengerlingkan satu matanya.

“Apa? Enggak boleh berduaan. Aku temeni.”

“Idih, Kak Bayu mau jadi setannya? Katanya yang ketiga adalah setan,” ucap Risa terkekeh.

“Kamu lupa ya hadis yang Kakak sampaikan pekan lalu, Rasulullah melarang seorang wanita bertemu dengan laki-laki yang bukan mahramnya tanpa mahramnya. Nah, Kakak ini mahram kamu kan. Bukan setan.” Bayu mencubit hidung adiknya.

“Udah deh, terserah! Yang penting aku bisa ketemu Diko.” Akhirnya Risa mengalah.

Bayu meminta adiknya membuatkan minuman dan menyajikan camilan. Ia melenggang membuka pintu dan meminta Diko masuk. Keduanya duduk berhadapan.

Bayu memasang tampang seorang detektif. Mengintrogasi lawan bicaranya tanpa senyum. Diko dibuat insecure dan mati kutu di hadapan kakak pacarnya.

“Sejak kapan pacaran dengan Risa?”

“Setahunan, Kak.”

“Heeemmm, kamu cinta sama Risa?”

Diko hanya mengangguk.

“Kalau gitu jangan ajak dia bermaksiat dong! Ajakin nikah aja secepatnya!”

Diko terbelalak. Ia benar-benar kaget.

“Apaan sih, Kak? Kita kan masih sama-sama sekolah. Enggak ada niatan untuk nikah cepet-cepet.” Risa menengahi. Ia membawa nampan berisi setoples kue kering dan 3 cangkir teh manis.

“Kalau enggak mau nikah. Ya, udah putus aja!” Bayu meneguk secangkir teh dengan santainya.

Risa dan Diko saling pandang. Lalu, Risa beralih pandangan ke kakaknya.

“Kok putus sih, Kak?”

“Ingat ya, Rasulullah berpesan pada umatnya!”

“Hai sekalian pemuda, barang siapa di antara kalian sudah memiliki kemampuan, segeralah menikah, karena menikah dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang belum sanggup menikah, berpuasalah, karena puasa akan menjadi benteng baginya.” (HR Muttafaq ‘alaih)

“Dari hadis ini jelas ya, pilihan hanya dua. Nikah atau puasa. Tak ada pilihan pacaran, TTM, atau apalah namanya.”

“Maaf Kak, kalau untuk menikahi Risa sekarang, jujur Diko belum sanggup.”

“Tuuuu kan Ris, dia aja udah bilang gitu. Berarti Risa kudu mengikhlaskan Diko! Kalau emang dia jodoh kamu, kelak kalian bakal dipertemukan kok. Enggak perlu khawatir!”

“Kak Bayu jahat!” Risa menimpuk Bayu dengan bantalan kursi dan berlari menuju kamarnya. Ia tahu selepas ayahnya meninggal, kakaknyalah yang menjadi wali sekaligus yang bertanggung jawab atas dirinya. Namun, putus dari Diko rasanya adalah pilihan berat.

“Maaf ya, Diko, Kakak harap kamu mengerti posisi Kakak yang harus menjaga adik perempuan Kakak satu-satunya. Kalau kamu udah siap ngelamar Risa. Boleh kemari lagi.”

* * *

Lima tahun berlalu. Risa resmi putus dari Diko. Keduanya menjalani jalan hijrah masing-masing.

Bayu telah menikah dengan pacar yang telah diputuskannya sejak mengenal Islam kafah. Islam yang tak hanya mengatur urusan salat, puasa, zakat, dan haji. Nyatanya Islam juga mengatur hubungan interaksi antar manusia.

Keponakan laki-laki Risa baru saja lahir. Ia senang sekali menggendong dan menimangnya. Saat ia sedang menggendongnya tiba-tiba seorang laki-laki yang telah lama terpisah oleh jarak dan waktu berada tepat di hadapannya.

Risa membeku. Tangis bayi yang masih merah itulah yang membuatnya tersadar. Penampilan laki-laki di hadapannya jauh berubah. Jauh lebih baik.

“Assalamualaikum, Risa! Anaknya menangis itu.”

“Wa’alaikumussalam wa rohmatullah. Eh, ini bukan anak aku. Ini ponakanku,” jawab Risa dengan pipi bersemu merah.

“Aku tahu. Kak Bayu ada? Aku ingin memenuhi janjiku padanya untuk melamarmu jika kamu masih berkenan.”

Batu, 26 Oktober 2022

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi