Jika Nafkah Suami Tak Mencukupi

Afiyah Rasyad dan Endah Sulistyowati

I. Pendahuluan

Duhai, kasus perceraian meningkat tajam. Betapa banyak keretakan rumah tangga terjadi karena faktor ekonomi. Dimana seorang laki-laki yang dianggap tak mampu mencukupi nafkah istri dan keluarganya. Perselingkuhan istri juga marak menghiasi berita rumah tangga tersebab mencari kelayakan ekonomi demi segudang keinginan yang tak sesuai taraf hidup. Jika pasangan sudah membelot lantaran faktor finansial, dalam hal ini tak tercukupinya nafkah, maka akankah keluarga asmara diraih.

Sudah baku tatanan syariat Islam mengenai suami sebagai qowwam bagi istri-istrinya, apa pun kondisi finansialnya. Dimana makna qowwam bukan laksana raja yang memimpin penduduk negeri. Qowwam di sini, suami menjadi kepala nahkoda dalam mengarungi rumah tangga. Suami tempat bersandar istri, tempat luapan keluh kesah dan curhatan istri. Qowwam juga bermakna suami sebagai pembimbing dan penuntun istri. Suamilah yang bertanggung jawab memenuhi nafkah atas para istri dan anak-anaknya. Apakah itu makanan, pakaian, tempat tinggal, beserta semua turunannya menjadi tanggung jawab suami.

Dalam KBBI, nafkah berarti uang belanja untuk hidup. Adapun nafkah atau nafaqoh secara bahasa bermakna belanja dan pengeluaran. Sementara makna istilah, nafkah merupakan penetapan kewajiban atas sesuatu selama ia masih ada (Prof. Dr. Rawwas Qol’ah Jie).

Tatanan syariat yang baku, bahwasanya nafkah ada di pundak suami telah termaktub dalam Al-Qur’an surat Al-Baqoroh ayat 233:

“Kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.”

Dalam kitab-kitab pernikahan klasik, nafkah sebagai amal suami dalam mengeluarkan harta untuk kebutuhan keluarganya. Baik itu untuk keperluan sehari-hari dalam berumah tangga (hajatul udhwiyah), termasuk untuk kebutuhan pribadi istri. Jadi, kata nafkah sudah termasuk pembiayaan istri secara personal seperti pakaian, tas, perhiasan, dan lainnya. Maka, suamilah yang wajib mengeluarkan nafkah untuk istri semata mengharap ridho Allah dan membangun keluarga asmara. Sebagaimana sabda Nabi Saw.:

إِذَا أَنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى أَهْلِهِ يَحْتَسِبُهَا فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ

“Jika seorang suami menafkahi keluarganya dengan mengharap ridla Allah, maka itu adalah (pahala) sedekah untuknya.” (HR. Bukhari)

Kecukupan nafkah keluarga akan membawa pada ketenangan rumah tangga. Persoalan nafkah harus benar-benar diperhatikan oleh seorang laki-laki yang bertanggung jawab atas kehidupan keluarganya. Perkara nafkah menjadi hal yang sensitif dan krusial dalam sistem kapitalisme yang sangat membelit dan mencekik. Namun demikian, seorang suami tidak gugur kewajiban nafkahnya meski lapangan pekerjaan susah dan upah begitu rendah saat ini.

II. Permasalahan

Tak dimungkiri, kungkungan kapitalisme dengan asas sekularisme, pemisahan agama dari kehidupan menjadi biang problematika ummat. Problem nafkah keluarga pun muncul tatkala permasalahan sistematis tak pernah surut dari kehidupan rumah tangga. Mulai sempitnya lapangan kerja bagi laki-laki, kecilnya upah, income istri lebih besar, sampai urusan gaya hidup konsumtif yang begitu kental dalam rumah tangga. Sementara urusan nafkah tetap menjadi tanggung jawab suami sesuai taraf hidupnya. Oleh karena itu, ada tiga permasalahan seputar nafkah yang perlu didiskusikan, antara lain:

1. Apa saja cakupan nafkah suami atas istri dan keluarga?

2. Bagaimana jika istri harus membantu mencari nafkah untuk keluarga?

3. Bagaimana mekanisme nafkah yang sesuai pandangan Islam agar keluarga menjadi keluarga asmara?

III. Pembahasan

A. Cakupan Nafkah Suami atas Istri dan Keluarganya

Syahdan, kewajiban nafkah suami atas istri dan keluarga mencakup segala kebutuhan hidup. Mulaia kebutan primer, sekunder, dan tersier harus menjadi perhatian suami sesuai dengan taraf hidupnya. Tanggung jawab nafkah suami pada istri dan keluarga menjadi wajib ain. Suami boleh saja tidak bekerja sehari semalam dalam setahun, asalkan kebutuhan istri dan keluarga terpenuhi.

Nafkah itu kewajiban suami, bukan kewajiban istri. Ketika istri memiliki penghasilan, maka uang itu sepenuhnya milik istri.
Dia tidak wajib membayar tagihan listrik, air, dan belanja harian lainnya. Semua tagihan dan uang belanja itu wajib bagi suami membayar itu semua, bukan istri. Ketika istri dengan sukarela menggunakan uangnya untuk membantu membayar hal-hal di atas, hukumnya boleh dan dianjurkan dalam Islam.

Taraf hidup suami tentu sangat ditentukan oleh lapang dan sempitnya rezeki yang Allah tetapkan. Adapun saat suami memiliki kelapangan rezeki, maka ia tak boleh pelit terhadap istri dan keluarganya. Dia harus memenuhi tuntutan istrinya kendati itu adalah kebutuhan kamaliyahnya (sekunder dan tersiernya), seperti menyekolahkan anak di tempat elit. Namun, sekeras apa pun suami bekerja, bertani, berburu, berdagang, dan upaya lainnya, jika Allah memberi kesempitan rezeki, maka istri harus qonaah dan lapang dada mensyukurinya. Hal ini ditetapkan oleh Allah SWT.:

“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS Ath-Thalaq: 7)

Cakupan nafkah suami tentu akan terpenuhi saat rezekinya lancar jaya bebas hambatan. Namun, suami tidak boleh israf ataupun tabdzir, dan tidak pelit. Suami berkewajiban menafkahi keluarganya sesuai dengan apa yang mampu ia curahkan untuk istri dan keluarganya dengan ma’ruf, sebelum istrinya meminta.

Saat ia baru mampu memberikan rumah tinggal kontrakan atau tebengan mertua pada istri dan keluarga, maka itulah yang harus disyukuri bersama. Begitupula ketika kemampuan finansial suami masih limbung, hanya cukup belanja per hari atau bahkan harus sering menahan lapar, itulah batas kemampuan suami yang harus dinikmati bersama oleh istri. Hukum syara’ tidak menuntut seorang kepala rumah tangga mengeluarkan nafkah di luar kemampuannya, selama ia tak putus asa dan terus semangat dalam berikhtiar menjalankan usaha, dan tidak bermalas-malasan.

B. Ketika Istri Membantu Suami Mencari Nafkah Keluarga

Islam menjadikan laki-laki dengan fisik gagah perkasa. Dia diciptakan dengan tugas sebagai kepala keluarga, pemimpin dalam keluarga, dan di pundaknyalah terletak tanggung jawab nafkah keluarga. Seorang suami berkewajiban memenuhi seluruh kebutuhan istri dan anak-anaknya. Tabiat suami adalah di luar rumah untuk mencari nafkah. Dia begitu gesit dan kuat berjibaku dengan kerasnya kehidupan demi melindungi dan menafkahi keluarga. Allah SWT. berfirman:

“Para lelaki (suami) itu pemimpin bagi para wanita (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (yang lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (yang lelaki) telah memberikan nafkah dari harta mereka.” (QS An-Nisa: 34)

Begitulah, Islam mengatur sedemikian rupa kehidupan rumah tangga. Sehingga, keluarga asmara akan terwujud Islam telah mengatur membawa kebahagiaan hakiki, yakni ridho Allah Ta’ala. Namun sayang sejuta sayang, ibarat jauh panggang dari api, kapitalisme telah memporakporandakan keluarga muslim dan menyeretnya jauh dari cerminan keluarga asmara. Dalam sistem kapitalisme, rakyat tak dapat jaminan kebutuhan pokok individu dari rakyat. Tiap kndividu rakyat harus memenuhi sendiri kebutuhan pokoknya. Tentu hal ini akan dotanggung oleh kepala rumah tangga masing-masing.

Masih dalam lingkaran setan kapitalisme, laki-laki pontang panting mencari nafkah agar dapur tetap ngebul. Namun, terkadang income kepala rumah tangga tak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan primer tersebut. Apalagi sejak pandemi banyak para suami yang disapa PHK. Maka, sang istrilah tampil ke di dunia luar rumah demi membantu sang tulang punggung agar kebutuhan keluarganya dapat dipenuhi. Namun demikian, keluarnya istri untuk menambah nafkah bukanlah penggugur kewajiban suami dalam mencari nafkah.

Tatkala istri membantu mencari nafkah keluarga bukanlah perkara wajib ataupun haram. Hukumnya boleh bagi seorang muslimah bekerja di luar rumah. Meski boleh, Islam telah memberikan rambu bagi seorang istri untuk bekerja. Rambu-rambu itu antara lain:

1. Suami tetap wajib mencari nafkah, tidak gugur meski istri bekerja.

Islam tidak melarang wanita bekerja atau membantu mencari nafkah, tetapi posisi suami sebagai pencari nafkah utama tidaklah tergantikan. Suami tetap wajib mencari nafkah dan bekerja, tidak gugur saat istrinya bekerja. Aturan ini tertuang dalam Al-Qur’an:

“Lelaki adalah pemimpin bagi wanita, disebabkan kelebihan yang Allah berikan kepada sebagian manusia (lelaki) di atas sebagian yang lain (wanita) dan disebabkan mereka memberi nafkah dengan hartanya ….” (QS An-Nisa’: 34)

Beberapa ayat lain seperti Al-Baqoroh ayat 233 dan Ath-Tholaq ayat 7 jelas menyatakan kewajiban suami memberi nafkah untuk istri dan keluarganya. Istri todaklah wajib bekerja, apalagi untuk menjadi tulang punggung perekonomian keluarga. Maka, saat suami di-PHK, bangkrut, atau susah mencari pekerjaan, ia tetap wajib berusaha meraih harta halal untuk menafkahi keluarga. Sementara istri harus menyemangati dan memotivasi suami untuk bekerja mencari nafkah.

2. Istri boleh bekerja dengan izin suami dan tidak meninggalkan kewajibannya sebagai istri dan ibu.

Islam tidak melarang wanita untuk bekerja. Sebagaimana termaktub dalam Hadis dari Rithah, istri Abdullah bin Mas’ud ra, ia pernah mendatangi Nabi saw. dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya wanita pekerja, saya menjual hasil pekerjaan saya. Saya melakukan ini semua, karena saya, suami saya, maupun anak saya, tidak memiliki harta apa pun.” Ia juga bertanya tentang nafkah yang saya berikan kepada mereka (suami dan anak). Rasul menjawab, “Kamu memperoleh pahala dari apa yang kamu nafkahkan pada mereka.” (HR Imam Baihaqi)

Namun, istri tetap harus mengantongi izin suaminya untuk bekerja dan tidak meninggalkan kewajiban lainnya seperti menjadi ibundan pengatur rumah tangga, baik suami dalam kelapangan atau kesempitan. Jika suami tidak mengizinkan, maka ia tak boleh bekerja karena ketaatan istri pada suami wajib setelah ketaatannya pada Allah dan Rasulullah. Kalaupun ia diizinkan bekerja, ia tetap harus mengurus suami dan anak-anaknya, serta melaksanakan kewajiban lainnya seperti berdakwah.

3. Syariat Islam harus diperhatikan dan dilaksanakan.

Tentunya seorang istri bekerja keluar rumah, apakah sebagai petani, penambang garam, guru, buruh pabrik, dokter, pedagang, dan lainnya akan berinteraksi dengan orang lain di kehidupan umum. Maka, ia wajib memperhatikan syariat Islam. Jenis pekerjaan pun harus sangat diperhatikan, tak boleh ia bekerja di tempat maksiyata atau terjun dalam pekerjaan haram.

Saat bekerja, istri harus menjaga agar tidak membahayakan agama dan kehormatannya, serta harus selalu memperhatikan hukum-hukum lain yang mengikutinya, sehingga tidak terjadi pelanggaran terhadapnya. Dalam pekerjaannya, ia harus menjaga dirinya dengan baik, memakai pakaian muslimah secara sempurna—jilbab dan khimar—, tidak berhias berlebihan (tabarruj), tidak menampakkan perhiasan dan kecantikan kepada laki-laki asing, tidak ada ikhtilat (campur baur) dengan pria, serta tidak berkhalwat (berdua-duaan dengan laki-laki asing). Rasulullah Saw. bersabda:

“Jika seorang wanita menjaga salat lima waktu, berpuasa sebulan (di bulan Ramadan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, ‘Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.’” (HR Ahmad).

4. Hasil kerja istri adalah miliknya.

Perlu diingat bahwa apa pun harta istri, dari mana pun ia peroleh dengan jalan halal, tetaplah hartanya. Harta warisan, pemberian orang tuanya, hadiah, hibah ataupun bekerja adalah murni menjadi milik istri dan tidak ada seorang pun yang boleh mengambilnya kecuali dengan kerelaan istri. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an surat An-Nisaa ayat 4:

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”

Jika harta mahar yang diberikan kepada istrinya, tidak boleh dinikmati suami kecuali atas kerelaan hati sang istri. Maka, harta lain milik istri seperti upah atau warisan tentu tidak boleh dinikmati oleh suaminya kecuali atas keridhoan istri juga.

5. Saat berbenturan dengan kewajiban, maka prioritaskan amal.

Saat istri bekerja, ia tak boleh meninggalkan segala kewajiban rumah tangga, kewajiban ruhiyah, dan kewajiban lainnya. Islam menetapkan awlawiyat atau prioritas amal dalam melaksanakan hukum syara’. Antara wajib dan sunnah, tentu wajib dulu yang dilakukan, apalagi wajib dan mubah. Bahkan, antara fardhu ain sekalipun harus diprioritaskan yang dhoruri.

Begitupun saat istri bekerja, tatkala ia tak menemukan orang yang amanah dan mahir dalam mengasuh anak-anaknya, ia tak menemukan orang yang bisa menjaga tumbuh kembang anak baik akidah, akal, fisik, dan jiwanya, sementara anak tak bisa dibawa bekerja, maka ia harus tetap berada di rumah untuk mengasuh buah hatinya.

Begitulah Islam mengatur rambu-rambu saat istri bekerja. Kemukaian dan kehormatan istri tetap dijaga. Bahwa bekerja adalah mubah, istri tetap harus terikat pada syariat Islam saat berjibaku dengan pekerjaan di luar rumahnya.

C. Pemenuhan Nafkah Suami Berdasarkan Pandangan Islam agar Menjadi Keluarga Asmara

Ketenangan, ketentraman, dan keharmonisan rumah tangga tentu menjadi idaman setiap pasutri. Keluarga asmara menjadi ultimate goal dalam pernikahan. Maka, pasutri haru memahami kewajibannya dalam peranan rumah tangga. Sebagaimana suami wajib memberi nafkah istri dan anak-anaknya agar tercipta suasana asmara di rumahnya. Tidak mungkin kan, suami lepas tanggung jawab saat menikah. Istri dibiarkan kelaparan, dekil, dan terlunta-lunta di jalan. Tentu itu bukan cerminan suami muslim. Sebab, suami muslim sejati akan menafkahi istrinya dengan cara yang ma’ruf.

Islam agama yang sempurna, telah mengatur tanggung jawab pemenuhan kebutuhan keluarga dengan sangat terperinci dan memberikan tanggung jawab ini kepada ayah atau suami. Oleh karena itu, sistem Islam akan memberi peringatan dan sanksi pada laki-laki jika mereka lalai dalam melaksanakan kewajiban nafkahnya ini. Bahkan, dalam sistem Islam, negara memiliki andil untuk memaksa kepala keluarga atau wali jika mereka menahan hartanya untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga atau orang yang menjadi tanggungannya.

Jika suami pelit atau kikir dalam urusan nafkah kepada istri dan anaknya, sementara dia kaya, sungguh Islam memperbolehkan istri mengambil harta suaminya tanpa izin. Harta yang diambil sesuai kebutuhan dirinya dan anak-anaknya. Masyhur sebuah kisah Hindun binti Utbah, istri Abu Sofyan yang mengadu pada Rasulullah dan menceritakan bahwa Abu Sufyan adalah seorang suami yang pelit, “Ia tidak pernah memberiku dan anak-anakku nafkah secara cukup. Oleh karena itu aku pernah mencuri harta miliknya tanpa sepengetahuannya.”

Lalu Rasul Saw. bersabda, “Ambillah dari hartanya dengan makruf (baik-baik) sebatas apa yang dapat mencukupimu dan anakmu.” (HR Bukhari dan Muslim)

Istri diperbolehkan mengambil uang suami tanpa sepengetahuannya. Akan tetapi, yang perlu diingat dan digarisbawahi adalah keperluan yang dimaksud oleh istri dalam kaitannya dengan kebutuhan pokok yang sifatnya urgen dan sesuai kebutuhan, seperti pangan, biaya sekolah atau kesehata jika diperlukan. Sebab, redaksi Hadis menyebutkan sebuah penekanan, “… yang mencukupimu dan anakmu sebagaimana mestinya (makruf).”

Beban kewajiban nafkah menjadi ada di pundak suami. Namun, terkadang ada kondisi tertentu yang menyebabkan suami belum bisa mencukupi kebutuhan para istri dan anaknha, padahal ia sudah berusaha dengan keras. Maka, negara akan turun tangan untuk memenuhi kebutuhan pokok individu terhadap keluarga tersebut. Karena mereka adalah rakyat yang menjadi tanggung jawab negara. Negara akan memodali atau memberikan lapangan pekerjaan untuknya.

Apabila suami sudah berikhtiar semaksimal mungkin dalam memenuhi kebutuhan keluarga, akan tetapi kebutuhan keluarga belum juga tercukupi, sudah seharusnya sebagai istri turut meringankan permasalahan ini dengan mengelola keuangan dengan baik. Istri tetap harus memotivasi suami agar terus berikhtiar sekuat tenaga meski telah dibantu oleh negara. Selain itu, doa kepada Allah SWT. harus dipanjatkan tiada henti, dalam keadaan lapang maulun sempit. Upaya mengetuk pintu langit adalah jalan yang sama sekali tak boleh ditinggalkan dalam urusan nafkah ini.

IV. Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kecukupan nafkah keluarga harus diperhatikan oleh seorang laki-laki yang bertanggung jawab atas kehidupan keluarganya. Perkara nafkah menjadi hal yang sensitif dan krusial dalam sistem kapitalisme yang sangat membelit dan mencekik. Namun demikian, seorang suami tidak gugur kewajiban nafkahnya meski lapangan pekerjaan susah dan upah begitu rendah saat ini.

1. Cakupan nafkah suami meliputi seluruh kebutuhan pokok para istri dan anaknya. Baik itu kebutuhan primer, sekunder, dan tersier harus dipenuhi sesuai kadar kemampuan suami.

2. Tatkala nafkah suami tak mencukupi, istri boleh bekerja membantu suami mencari nafkah dengan harus memperhatikan rambu-rambu berikut:
a. Suami tetap wajib mencari nafkah, tidak gugur meski istri bekerja.

b. Istri boleh bekerja dengan izin suami dan tidak meninggalkan kewajibannya sebagai istri, ibu, dan pengatur rumah tangga.

c. Istri wajib memperhatikan dan terikat dengan syariat Islam, tidak boleh menyelisihinya.

d. Harta hasil kerja istri murni menjadi milik istri. Suami tidak boleh memanfaatkanya kecuali dengan keridhoan istrinya.

e. Ketika ada hal dalam bekerja yang berbenturan dengan kewajiban, maka istri harus memprioritaskan perbuatan, mendahulukan yang wajib daripada yang mubah.

3. Ketenangan, ketentraman, dan keharmonisan rumah tangga tentu menjadi idaman setiap pasutri. Keluarga asmara menjadi ultimate goal dalam pernikahan. Maka, pasutri haru memahami kewajibannya dalam peranan rumah tangga. Sebagaimana suami wajib memberi nafkah istri dan anak-anaknya agar tercipta suasana asmara di rumahnya. Tidak mungkin seorang suami lepas tanggung jawab saat menikah. Istri dibiarkan kelaparan, dekil, dan terlunta-lunta di jalan. Tentu itu bukan cerminan suami muslim. Sebab, suami muslim sejati akan menafkahi istrinya dengan cara yang ma’ruf.

Demikianlah Islam mengatur perkara nafkah sedemikian rupa agar keluarga asmara bisa terbina. Terpenuhinya nafkah menjadi salah satu kunci keluarga asmara.

#Lamrad
#LiveOppressedorRiseUpAgainst

Referensi
Website Ustadz Iwan Januar (www.iwanjanuar.com, 8/9/2017).

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi