IJAB QOBUL: Bukan Sekedar Seremoni Agama dalam Ikatan Pernikahan

Afiyah Rasyad dan Endah Sulistiowati
I. PENDAHULUAN
Saat azzam bersanding harap
Komitmen telah membekap
Hati sudah mantap
Ijab qobul layak terucap
Menjadi halal saat bersihadap
Ikatan antara laki-laki dan perempuan bukan mahrom yang diridhoi Allah hanyalah ikatan pernikahan. Baik laki-laki maupun perempuan, keduanya sama-sama memiliki potensi naluri nau’. Salah satu penampakannya ialah pemenuhan kebutuhan jinsiyah dan rasa cinta terhadap lawan jenis. Untuk memenuhi naluri nau’ dengan penampakan kematangan jinsiyah ini, maka satu-satunya cara bagi laki-laki dan perempuan dengan menikah.
Memang banyak tragedi kemanusiaan yang teramat pedih bagi seluruh negeri akibat pergaulan rusak. Namun demikian, rusaknya pergaulan anak bangsa tak selalu harus diprovaksi dengan pernikahan. Ada serangakain tatanan syariat Islam agar pergaulan antara laki-laki dan perempuan tidak kebablasan saat mereka belum siap dalam komitmen ikatan pernikahan. Rasulullah saw. menganjurkan menikah bagi pemuda yang mampu, bagaimana jika belum mampu? Mari kita lihat terjemahan Hadis beliau berikut:
“Wahai pemuda, siapa saja di antara kalian yang mampu menanggung beban, hendaklah segera menikah. Sebab, pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Siapa saja yang belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa karena puasa adalah perisai baginya.” (HR Muttafaqun ‘Alayh)
Selain berpuasa, ada sederet aturan lainnya saat laki-laki dan perempuan yang belum mampu menikah saat berinteraksi di kehidupan umum maupun kehidupan khusus. Menundukkan pandangan, tidak berkhalwat (berduaan), tidak ikhtilat (bercampur baur), menutup aurot secara syar’i, dan tidak tabarruj bagi perempuan merupakan beberapa hal penting untuk menjaga pergaulan. Maka, hal itu akan meredam naluri nau’ yang selalu dikibarkan oleh liberalisme dan hedonisme.
Bagi yang sudah siap menikah, maka mantapkan diri untuk melangkah di gerbang mitsaqon gholidzon. Persiapkan diri sebaik mungkin menjadi pasangan yang layak dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Eksekusi ijab qobul dan pahami hakikatnya. Maka, pernikahan itu akan berjalan dalam suasana keimanan. Apalagi audisi telah diselenggarakan, sementara hati telah mantap pada satu pilihan.
Lamaran bersambut bukan berarti hubungn kedua calon mempelai itu halal. Maka, hendaklah berhati-hati menjaga interaksi antara mempelai saat mengurusi segala persiapan pernikahan. Tatanan syariat Islam dalam serangkaian menahan diri untuk tidak berduaan, khalwat, ataupun tidak menutup aurat, apalagi sentuh-sentuh meski hanya tangan dan pipi. Pasalnya, mereka belum sah dan halal untuk berinteraksi layaknya suami istri. Maka, ijab qobul harus disegerakan jika lamaran sudah dilakukan.
II. PERMASALAHAN
Ijab qobul yang dilafazkan akan mengubah status dua insan, dari laki-laki dan perempuan lajang menjadi sepasang suami istri. Ijab qobul bukan sebatas mengubah status lajang menjadi menikah di KTP, tetapi lebih dari itu. Saat ijab qobul telah diucap, pernikahan sah secara syar’i, maka ada konsekuensi keimanan berupa tanggung jawab sebagai suami atau istri. Oleh karenanya, ada dua hal yang bisa didiskusikan dalam pembahasan materi kuliah ini, antara lain:
(1) Mengapa ijab qobul wajib dilakukan dalam majelis pernikahan?
(2) Bagaimana dampak ijab qobul yang tidak memenuhi syarat in’iqod terhadap status pernikahan?
(3) Bagaimana daya ikat perjanjian yang diemban setelah ijab qobul pernikahan diucapkan dalam kehidupan rumah tangga?
III. PEMBAHASAN
A. Ijab Qobul Wajib Dilakukan dalam Majelis Pernikahan
Setiap pasangan yang akan menikah pasti ingin keluarganya mencapai bahagia, sakinah mawaddah warahmah, sebagaimana dalam surat Ar Rum ayat 21 yang artinya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.”
Pernikahan terakadkan dengan ijab dan qabul yang syar’i. Ijab adalah ucapan yang keluar dari salah seorang dari dua pihak yang berakad. Qabul adalah ucapan yang keluar dari pihak lainnya yang berakad. Misal, wanita yang dikhitbah mengatakan kepada laki-laki yang mengkhitbah, “Zawwaztuka nafsî (Aku mengawinkan engkau dengan diriku).” Lalu laki-laki yang mengkhitbah mengatakan, “Qabiltu (Aku terima).” Atau sebaliknya. Sebagaimana ijab dan qabul boleh terjadi di antara dua pihak yang dikhitbah dan yang mengkhitbah secara langsung, juga sah hal itu melalui dua orang wakil dari keduanya, atau antara salah satu dari keduanya dengan wakil dari yang lain. Di dalam ijab itu disyaratkan harus menggunakan lafal at-tazwîj wa al-inkâh (mengawinkan dan menikahkan).
Sebaliknya, hal itu tidak disyaratkan dalam qabul. Namun, di dalam qabul itu disyaratkan adanya keridhaan pihak lain itu terhadap ijab ini dengan lafal yang mengungkapkan keridhaan dan penerimaan atas perkawinan tersebut. Ijab dan qabul itu harus menggunakan lafal lampau (lafzhu al-mâdhi), seperti zawwajtu (aku kawinkan) dan qabiltu (aku terima), atau salah satu menggunakan lafal lampau (mâdhi) dan yang lain dengan lafal mendatang (al-mustaqbal). Sebab perkawinan adalah akad. Di dalamnya harus digunakan lafal yang mengungkapkan ketetapan yaitu lafal al-mâdi”.
Setelah memahami masalah ijab dan qabul ini harapannya tidak ada lagi perselisihan pemahaman. Padahal sangat mudah sekali hal tersebut dilakukan, sehingga tidak perlu dibuat masalah yang panjang. Pernikahan akan sah dilakukan dengan ijab dan qabul.
B. Dampak Syarat In’iqod Ijab Qobul dalam Pernikahan jika Tidak Terpenuhi
Dalam pernikahan selain harus ada ijab qabul ada pula syarat in’iqod ijab qobul yang harus dipenuhi dalam pernikahan. Adapun syarat in’qad dalam ijab qabul antara lain:
Pertama, ijab qobul dilangsungkan dalam satu majelis. Majelis tempat diucapkannya ijab adalah majelis tempat diucapkannya qobul. Hal ini dapat terjadi jika kedua pihak yang melakukan akad sama-sama hadir dalam satu majelis. Namun, jika kedua pihak ada di wilayah berbeda, lantas salah satu pihak menulis surat sebagai ungkapan ijab, sementara pihak lainnya menerima surat telah menerimanya (men-qobulkannya), maka pernikahan telah terakadkan. Hanya saja, dalam keadaan semacam ini disyaratkan, surat tersebut dibacakan di hadapan dua orang saksi. Bisa juga, dengan akad wakalah bagi pihak yang tidak bisa hadir di majelis itu. Sebagaimana Rasulullah menikahi Ummu Habibah diwakili oleh Raja Najasyi.
Kedua, kedua belah pihak yang berakad harus mendengar perkataan satu sama lain sekaligus memahaminya. Sehingga, masing-masing mengetahui bahwa pihak lain itu menghendaki ijab qobul. Jika, salah satu pihak tidak memahami, maka pernikahan tidak terakadkan.
Ketiga, ucapan qobul tidak boleh menyalahi ucapan ijab, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Jika qobul keliru, ada kesempatan untuk mengulanginya agar sempurna ijab qobul tersebut.
Keeempat, diharuskan bahwa syariat Islam memperbolehkan perkawinan di antara kedua pihak yang berakad. Di mana mempelai wanita adalah muslimah atau ahli kitab, baik Yahudi ataupun Nashrani. Sementara mempelai pria wajib muslim, bukan nonmuslim.
Itulah keempat syarat in’iqod yang harus dipenuhi dalam ijab qobul suatu pernikahan. Tujuannya agar pernikahan itu sah dalam pandangan syariat Islam. Karena jika syarat in’iqad ini tidak terpenuhi maka ijab qobul tidak sah dan pernikahan tidak bisa dilanjutkan.
C. Daya Ikat Perjanjian yang Diemban Setelah Ijab Qobul Pernikahan
Dalam Islam, pernikahan disebutnya sebagai _mitsaqon ghalidzon_ atau “perjanjian agung”. Sebagai sebuah perjanjian, maka ibarat perjanjian dalam bentuk apa pun itu bisa juga dipertahankan, dikoreksi sampai pada batas dibatalkan. Allah tidak menyebut pernikahan sebagai akad (‘aqdan), akan tetapi sebagai perjanjian (mitsaaq) yang disifatkan sebagai perjanjian yang sangat kuat (Mitsaqan Ghalizon). Berikut surat yang menyebutkan bahwa pernikahan adalah perjanjian kuat pada surat An-Nisa’ ayat 20-21,
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا (20) وَكَيْفَ تَأْخُذُونَهُ وَقَدْ أَفْضَى بَعْضُكُمْ إِلَى بَعْضٍ وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا –
_”Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? Dan bagaimana kamu akan mengambil kembali, padahal kamu telah bergaul satu sama lain (sebagai suami istri). Dan mereka (istri-istrimu) telah megambil perjanjian yang kuat (ikatan pernikahan) dari kamu.”_
Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Syuyuti dalam Tafsir jalalain menyebut mitsaq sebagai bentuk taukid, artinya menekanan atau penegasan dari sebuah janji. Janji adalah komitmen, lebih dari sekadar janji. Sedangkan lafal ghalizon berasal dari kata ghilzh yang artinya kuat, berat, tegas, kokoh.
Pendapat Ibnu Katsir dalam menafsirkan lafal Mitsaqan Ghalizon, ia mengutip hadis shahih dari Jabir dalam kitab Shahih Muslim yang menyatakan bahwa ketika seorang laki-laki mengambil perempuan dari orangtuanya dengan maksud dinikahi, berarti laki-laki tersebut telah melakukan perjanjian atas nama Allah sebagaimana ia telah menghalalkan melalui kalimat Allah.
Jelas di sini ijab qobul adalah perjanjian suci, perjanjian yang berat untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Namun, posisi keduanya bukanlah mitra bagi pasangannya. Pergaulan keduanya bukanlah pergaulan kemitraan. Istri adalah sahabat suami dan suami adalah sahabat istri. Satu sama lain adalah sahabat sejati dalam segala hal. Yaitu persahabatan yang memberikan kedamaian dan ketentraman satu sama lain.
Perjanjian suci nan agung di sini adalah komitmen tiap pasangan untuk menjalankan perannya sesuai tuntunan syariat. Suami-istri paham akan tanggung jawab dan kewajibannya masing-masing. Kewajiban suami untuk memberikan nafkah lahir dan batin secara ma’ruf, menjadi nahkoda kebaikan dalam rumah tangga, menjadi imam dalam tiap ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya, mendidik istri dan anak sesuai tuntunan syariat, berdakwah bersama istri dan anak, dll. Kepemimpinan dalam rumah tangga ada di tangan suami. Tak ada satu kondisi pun yang bisa mengubah kepemimpinan ini.
Ketaan istri pada suami bersifat wajib selama suami membawanya pada ketaatan kepada Allah Swt. Istri wajib melayani suami dengan hati riang gembira. Aktivitas mengatur urusan rumah tangga adalah tanggung jawab istri dalam mitsaqon gholidzon itu. Mulai memasak, mencuci, membersihkan rumah, mendidik anak, sampai urusan melayani suami dalam seluruh perkara yang sudah semestinya ia lakukan di dalam rumah. Istri wajib mengelola harta suaminya dengan penuh keimanan. Ia tak akan keluar rumah tanpa seizin suami meski hendak menjenguk keluarganya sendiri. Bahkan, ia tidak akan berpuasa di luar bulan Ramadhan tanpa seizin suami.
Suami-istri wajib saling mempergauli dengan cara yang ma’ruf. Sehingga, mitsaqon gholidzon dalam hubungan suami-istri akan menjelma sebagai hubungan yang penuh kedamaian dan ketentraman. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surat Ar-Rum ayat 21:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.”
Jamak dipahami bahwasanya yang dimaksud istri dari jenismu sendiri adalah manusia. Tidak seperti penafsiran kaum liberal yang mencoba memporakporandakannya dengan perkawinan sejenis. Naudzubillah.
IV. KESIMPULAN
Dari paparan di atas tentang ijab qobul dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Pernikahan terakadkan dengan ijab dan qobul yang syar’i. Ijab adalah ucapan yang keluar dari salah seorang dari dua pihak yang berakad. Qabul adalah ucapan yang keluar dari pihak lainnya yang berakad. Misal, wanita yang dikhitbah mengatakan kepada laki-laki yang mengkhitbah, “Zawwaztuka nafsî (Aku mengawinkan engkau dengan diriku).” Lalu laki-laki yang mengkhitbah mengatakan, “Qabiltu (Aku terima).
2) Syarat in’iqod ijab qobul dalam pernikahan ada empat, yaitu:
Pertama, ijab qobul dilangsungkan dalam satu majelis. Jika beda mejelis bisa berkirim surat dengan tetap memperhatikan adanya saksi atau bisa dengan akad wakalah.
Kedua, kedua pihak yang berakad harus memahami ijab qobul tersebut.
Ketiga, ucapan qobul tidak menyalahi ucapan ijab.
Keempat, pihak yang berakad harus sesuai ketentuan syariat Islam.
Syarat in’iqod harus dipenuhi dalam ijab qobul suatu pernikahan. Tujuannya agar pernikahan itu sah dalam pandangan syariat Islam. Karena jika syarat in’iqad ini tidak terpenuhi maka ijab qobul tidak sah dan pernikahan tidak bisa dilanjutkan.
3. Dalam Islam, pernikahan disebutnya sebagai _mitsaqon ghalidzon_ atau “perjanjian agung”. Sebagai sebuah perjanjian, maka ibarat perjanjian dalam bentuk apa pun itu bisa juga dipertahankan, dikoreksi sampai pada batas dibatalkan. Allah tidak menyebut pernikahan sebagai akad (‘aqdan), akan tetapi sebagai perjanjian (mitsaaq) yang disifatkan sebagai perjanjian yang sangat kuat (Mitsaqan Ghalizon).
Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi