Oleh. Ustaz Iwan Januar
Ada pertanyaan dan curhatan menarik yang sering ditanyakan orang tua yang menginginkan anaknya ada di barisan dakwah; kenapa tidak setiap anak yang masuk sekolah Islam bahkan mahad sekalipun dia mau menjadi pejuang ideologis? Meskipun lembaga itu dipegang oleh para pejuang dakwah?
Sebelum dianalisa, kita kemukakan pemikiran umum orang tua tentang tujuan pendidikan di lembaga sekolah. Setiap orang tua berusaha menyekolahkan anak mereka ke lembaga pendidikan Islam terpercaya. Ada tiga tingkatan harapan besar orang tua ketika anaknya bersekolah; level pertama, paling dasar, orang tua berharap anaknya menjadi salih, taat beragama, patuh pada orang tua. Ini harapan paling asasi, atau mendasar. Apalagi di zaman sekarang ini, memiliki anak yang seperti ini benar-benar perhiasan berharga. Di level ini, orang tua mencukupkan diri target pendidikan pada perbaikan pribadi anak. Mereka yang memasang target pada level ini amat banyak.
Level kedua, orang tua yang memasang target anaknya tumbuh berkembang ke level salih dan punya spesialiasi keilmuan tertentu. Di bidang sains, harapan orang tuanya adalah agar anak menjadi ilmuwan; ahli fisika, biologi, kedokteran, farmasi, dsb. Di bidang tsaqafah, orang tua berharap anak mereka menjadi penghafal Al-Qur’an, mahir berbahasa Arab, fuqaha, ahli hadis, memimpin lembaga pendidikan keislaman, dsb. Nah, jumlah orang tua yang punya ekspektasi di sini semakin berkurang karena memang tergantung pada minat dan kemampuan anak juga faktor biaya. Maklum, menyekolahkan anak untuk sampai pada tingkatan spesialis atau khubara butuh biaya tidak kecil.
Level ketiga, adalah orang tua yang bercita-cita anak mereka menjadi pejuang Islam, menegakkan syariat dan kehidupan Islam dalam naungan Khilafah. Bisa ditebak, jumlah orang tua yang menginginkan anak mereka seperti ini jumlahnya makin mengerucut. Makin jauh berkurang. Tetapi inilah tujuan pendidikan tertinggi yang sesungguhnya. Karena anak bukan sekedar baik untuk dirinya sendiri (saleh), memilik ilmu yang mumpuni, tetapi juga akan berjuang untuk tegaknya Islam sebagai ideologi kehidupan.
Tidak semua orang tua setuju anak mereka ada di barisan perjuangan, sekalipun anak mereka lulusan sekolah atau mahad. Walaupun anak mereka sudah memiliki kapasitas/kafa’ah sebagai ahli di bidang tsaqafah; hafiz/hafizah, mahir berbahasa Arab, faqih, dsb. Ini bukan lagi bicara soal minat dan kemampuan atau pun biaya, tapi bicara soal risiko dan keyakinan pada kebenaran ideologi Islam.
Di sisi lain, nyatanya tidak semua anak yang masuk sekolah Islam/mahad juga otomatis menjadi pejuang dakwah, walaupun orang tua mereka mengharapkan demikian. Banyak pemuda muslim yang telah memiliki spesialiasi bidang sains ataupun tsaqafah justru enggan jadi pejuang syariah, atau tidak menjadikan dakwah sebagai poros kehidupan.
Di sinilah orang tua wajib memahami perbedaan metode membentuk anak menjadi ahli/khubara dengan menjadikan mereka sebagai pengemban dakwah. Sekolah, mahad, kampus bukanlah tempat mencetak insan menjadi pengemban dakwah, tapi mencetak mereka sebagai ahli atau orang terdidik (mutsaqofin). Di sana ada kurikulum yang sudah tertata dengan pola pengajaran, aktivitas, dan tujuan tertentu, yang tidak berkorelasi secara langsung dengan perjuangan dan dakwah. Para peserta didik bisa menjadi ilmuwan atau ulama di bidangnya, namun belum tentu menjadi seorang hamalatud da’wah dan politisi muslim.
Ada baiknya orang tua yang menginginkan anak-anak mereka menjadi hamalatud da’wah dan politisi muslim membaca satu buku yang ditulis ‘Alamah Syekh Taqiyuddin An-Nabhani rahimahullah ra. berjudul At-Takattul Hizbiy. Dalam buku itu beliau menuliskan tiga perbedaan besar antara sekolah dengan aktivitas sebuah partai politik yang bisa dibaca dalam kitab itu.
Di antaranya beliau menulis; “Namun demikian perlu diketahui bahwa pembinaan ini bukanlah ta’lim (yang semata hanya proses transfer ilmu-pen), dan bahwa ia berbeda sama sekali dengan sekolah. Oleh sebab itu, pembinaan dalam halaqah-halaqah tersebut haruslah berjalan dengan suatu asumsi bahwa ideologi Islam adalah gurunya, bahwa ilmu dan tsaqafah yang didapatkan dalam halaqah hanya terbatas pada ideologi saja -beserta segala ilmu/tsaqafah yang diperlukan untuk mengarungi medan kehidupan dan bahwa tsaqafah diambil untuk diamalkan secara
langsung dalam realitas kehidupan.”
Jadi, bila kita mencita-citakan anak-anak kelak menjadi pengemban dakwah dan politisi muslim yang tangguh, maka tidak cukup bahkan tidak bisa hanya mengandalkan materi dan aktivitas di sekolah, mahad, bahkan kampus Islami manapun. Anak-anak kaum muslimin harus terlibat dalam diskusi politik Islam, memahami problematika umat, terjun ke masyarakat, melakukan kontak-kontak dakwah, melakukan pergolakan pemikiran, dan perjuangan politik. Jatuh bangun mengemban pemikiran Islam. Itulah ‘aktivitas sekolah’ mereka.
Di sekolah atau mahad, sekalipun guru mereka adalah pengemban dakwah, tapi atmosfer/al-juw dengan harakah dan perjuangan politik berbeda. Dinamika kehidupan mereka juga berbeda dengan dinamika dalam suatu partai politik Islam. Di mana anak-anak akan dipaksa memeras otak, mengkaji pemikiran-pemikiran Islam untuk menjawab tantangan dan benturan pemikiran dengan berbagai pemikiran kufur dan sesat.
Artinya, anak-anak sedari dini sudah harus dikenalkan dengan suasana perjuangan. Islam diajarkan sebagai ideologi kehidupan, bukan teori belaka. Anak-anak kita ibarat ketel berisi air yang dingin yang harus diletakkan di bawah dan di sekelilingnya energi dari ideologi Islam sehingga membuat air itu mendidih dan bergolak. Siapakah yang harus meletakkan mabda Islam yang akan memanaskan ketel air tersebut? Orang tua dan para pengemban dakwah sebagai musyrif-musyrif mereka dalam suasana halaqah dan perjuangan.
Mencetak anak sebagai hamalatud da’wah dan politisi tidaklah mensyaratkan mereka harus memiliki spesialisasi dalam bidang tertentu. Tidak mesti mereka memiliki ilmu hingga tingkatan tertentu. Tapi dengan menanamkan Islam sebagai ideologi sehingga bersenyawa (tajassud) pada jiwa anak, lalu membentuk kesadaran politik (wa’yu as-siyasiy), serta melatih mereka memiliki tafkir siyasiy dengan melakukan mengikuti berbagai perkembangan politik baik di tingkat lokal, regional, dan global.
Hal ini bisa bukan saja pada mereka yang terdidik di bangku sekolah/mahad atau kampus, tapi pada mereka yang putus sekolah, buruh, karyawan hingga pengusaha.
Bagi orang tua yang berharap anak-anak mereka memiliki jiwa pengemban dakwah dan politisi muslim, jangan terlena dengan kondisi pendidikan anak. Sebagaimana ditulis Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah, sekolah beda dengan sebuah partai politik. Selayaknya orang tua memperhatikan hal ini bila memiliki cita-cita yang luhur seperti demikian.
Sumber: iwanjanuar.com