Oleh : Ustadz Iwan Januar
Pertengahan Oktober tahun ini saya diminta mengisi acara parenting di satu sekolah Islam di Sukabumi. Sesuai agendanya, parenting, pihak sekolah mengundang para guru dan juga orang tua murid. Panitia meminta saya membahas pentingnya sinergi orang tua dengan sekolah. Tema ini diajukan sehubungan masih banyak orang tua yang beranggapan kalau sekolah adalah 100 persen tempat pendidikan anak.
Permintaan ini bukan yang satu-satunya, karena beberapa hari kemudian sekolah Islam yang lain di daerah kota lain juga meminta saya hadir untuk membahas tema serupa; sinergi rumah dengan sekolah. Keluhan mereka pun sama, kesulitan menghadapi orang tua yang masih berpikiran sekolah adalah segalanya buat anak mereka. Lebih dari sekedar tempat mengasah kemampuan akademik, tapi juga takwin asy-syakhsiyyah 100 persen.
Di zaman kekinian, pola pikir sebagian orang tua tentang pendidikan anak dan sekolah ternyata belum juga berubah. Mereka percaya kalau sekolah adalah tempat laundry anak yang dengan segala fasilitasnya dapat membersihkan anak-anak mereka dari kotor menjadi bersih. Anak bermasalah taruh ke sekolah Islam, anak susah shalat, bawa ke sekolah Islam, dll.
Beban pendidikan ini yang kemudian dipikulkan ke sekolah, khususnya para guru. Tidak heran bila para guru menanggung beban yang berat bahkan tak masuk di akal, semisal untuk kegiatan di luar sekolah pun guru diminta bantuan dan tanggung jawab. Anak kecanduan main ke warnet, susah shalat subuh, malas-malasan di rumah, sekolah diminta bertanggung jawab.
Ayahbunda, mari kita berpikir dengan jernih dan sesuai tuntutan syariat Islam; siapa sebenarnya penanggung jawab pengasuhan dan pendidikan anak? Orang tua atau pihak lain? Siapa yang pertama kali akan dihisab Allah soal anak kita, diri kita atau kepala sekolah?
Saya rasa jawabannya kita sama-sam paham; orang tua. Di dalam al-Qur’an sudah dicatatkan untuk para orang tua untuk menjaga keluarga dari panasnya apa neraka.
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (TQS. at-Tahrim: 6)
Para bapak tak bisa lepas dari tanggung jawab pendidikan anak karena di Hari Kiamat para bapak akan dipanggil oleh Allah bersama anak-anak. Sabda Nabi SAW.:
كُلُّكُمْ رَاعٍ ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِى أَهْلِهِ وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِى بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا ، وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِى مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ – قَالَ وَحَسِبْتُ أَنْ قَدْ قَالَ – وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِى مَالِ أَبِيهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Ibn umar r.a berkata : saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda : setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya perihal tanggungjawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan akan ditanya (diminta pertanggungan jawab) dari hal-hal yang dipimpinnya. (HR. Bukhari, Muslim)
Semestinya sampai di sini kita sebagai orang tua sudah cukup paham bahwa di pundak kitalah pengasuhan dan pendidikan anak itu berada. Ayah dan ibunya bertanggung jawab penuh atas pembentukan karakter (takwin asy-syakhsiyyah) setiap anak. Itulah sebabnya dalam kitab fikih pada bab nikah selalu dimuat tentang kriteria memilih pasangan. Tak lain agar suami dan istri bekerja sama di antaranya sebagai mitra pendidik anak.
Sekolah hanya mitra dan sarana menguatkan pendidikan yang sudah diperoleh di rumah. Kegiatan utama sekolah adalah pendidikan akademik, sedangkan yang lainnya adalah repetisi atau pengulangan pendidikan karakter di rumah dan menambah sebagian karakter terutama dalam kedisplinan dan berorganisasi. Itupun sebagian besar etikanya seharusnya sudah diajarkan di rumah.
Karenanya jangan memuja-muja sekolah, seolah sekolah adalah kawah Candradimuka yang bisa mengubah anak kita seketika menjadi sakti. Atau menjadikan sekolah sebagai tempat laundry karakter buruk anak kita di rumah, yang setelah dimasukkan lantas anak otomatis menjadi saleh dan salehah.
Marilah berhitung, kehidupan anak jauh lebih lama di luar rumah ketimbang di sekolah. Semenjak ia lahir hingga baligh jauh lebih lama bersama kedua orang tua dan saudara-saudaranya. Saat bersekolah pun hanya sepertiga hidupnya yang ia pakai di sekolah, selebihnya ia berada di luar sekolah seperti di rumah. Maka, apa adil kalau kita menuntut segala kebaikan itu harus ada di sekolah?
Jangan berpikir kalau Anda sudah bayar mahal-mahal pendidikan anak. Uang pangkal puluhan juta dan SPP jutaan rupiah, dan seabreg bayaran kegiatan anak Anda di sekolah. Itu bukan alibi untuk membenarkan sikap menjadikan sekolah sebagai tempat ‘mencuci’ karakter anak-anak. Ada domain tugas yang memang ada di pundak kita, bukan di pundak sekolah.
Mulai sekarang berhentilah berpikir bahwa sekolah adalah tempat laundry anak. Mulai jadikan rumah sebagai tempat pembentukan karakter positif untuk anak-anak kita. Ajarkan ia ibadah dengan benar, bertutur kata yang sopan, baik dan ramah, senang menolong, pandai bersyukur nikmat, dsb. Mungkin kita di rumah tak bisa menjadi guru tahsin atau guru tahfidz al-Qur’an untuk mereka, tapi orang tua bisa menjadi guru karakter yang terbaik untuk anak-anak. Insya Allah.