Orang Tua dan Anak, Antara Harapan & Realita

Oleh. Ummu Syaddad

Setiap orang tua pastinya menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Harapan yang dipupuk sejak kecil, kadang sudah disounding pada anak hingga ia tumbuh besar. Namun, kehidupan sekuler hari ini memberikan tantangan tersendiri ditambah dengan era digital, membuat kondisi lingkungan yang dihadapi kian berat. Sehingga, harapan yang sudah ditanam tadi kadang diterpa ujian.

Akhirnya kerap orang tua dan anak berselisih akibat perbedaan cara pandang, mulai dari hal yang sepele bahkan bisa jadi pada persoalan prinsip.

Mulai dari perselisihan verbal sampai akut. Kita dapati kasus kekerasan orang tua terhadap anak dan sebaliknya anak yg memperlakukan orang tua dengan tidak seharusnya. Orang tua merasa anak jauh dari harapan. Begitu juga anak merasa orang tua jauh dari harapan sebagai sosok ideal yang mengerti kondisi mereka.

Di sinilah pentingnya menetapkan standar baku secara umum bagi keluarga, termasuk anak, untuk memilih segala sesuatu sesuai dengan tuntunan aqidah. Perkara aqidah ini sudah barang tentu adalah nomor pertama.

“Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13)

Ibnu Katsir mengatakan dalam tafsirnya bahwa wasiat pertama yang disampaikan Luqman kepada anaknya adalah beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya karena itu merupakan perbuatan syirik yakni kezhaliman terbesar. Ini adalah standar pertama yg harus clear pada anak.

Sebagai turunannya, anak diajak memperhatikan waktu sholat, menutup aurat, berkata Ahsan dan lain lainnya sesuai tuntunan syariah. Artinya, menjadikan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya sebagai yang utama. Rasulullah Saw. bersabda:
“Bertaqwalah kepada Allah di mana pun engkau berada.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)

Berikutnya, menyiapkan anak untuk turut mengemban amanah da’wah pada lingkungan. Sebab, kesadaran terhadap rusaknya lingkungan hari ini tersebab Islam yang tidak lagi dipakai dalam kehidupan. Maka, anak disounding agar kebaikan tidak hanya dimonopoli diri, tapi menyebarkannya sebagaimana Rasulullah mencontohkan.

Tidak ada orang yang bisa memuaskan harapan semua orang, dari sisi orang tua maupun anak. Bila kehendak anak berkaitan dengan perkara yang mubah, maka perlu didiskusikan manfaat/mudaratnya. Begitu juga harapan ortu. Maka, di sinilah pentingnya komunikasi antara orang tua dan anak sebagai jembatan untuk menyalurkan keinginan dan batasan yang sudah disepakati bersama.

Di sisi lain, orang tua adalah role model yang paling dekat bagi anak. Maka, sebisa mungkin orang tua memberikan teladan yang baik, sehingga bisa jadi kelak anak mengikuti harapan orang tua dari apa yang bisa dipelajari dari keseharian bersama orang tua atau jejak teladannya.

Mendidik dengan harapan mampu berkepribadian Islam, beradab mulia, turut menjadi pengemban da’wah tentu bukan waktu yang singkat. Orang tua harus bisa terus bersabar mengawal prosesnya dan mampu memberikan toleransi pada perkara yang mubah, berkaitan dengan uslub misalnya, namun teguh dalam perkara aqidah atau hukum syara

Ketika semua usaha telah dilakukan, ikhtiar telah dimaksimalkan, masih tampak kekecewaan pada realita, maka saatnya mengetuk pintu langit, menengadahkan tangan, memanjatkan doa, menyebut nama anak-anak di hadapan Dzat yang telah menciptakannya.

Abu Qirshafah, Jandarah bin Khaisyanah Al-Kinani r.a adalah seorang sahabat yang pernah Rasulullah pakaikan burnus (sejenis jubah bertutup kepala) kepadanya, orang-orang banyak yang datang meminta doa keberkahan kepadanya. Beliau memiliki putra yang bernama Qirshafah. Saat putranya ini sedang berjihad di Romawi sedangkan beliau di Asqalan, jika masuk waktu sahur, beliau menyeru dengan suaranya yang nyaring:
يَا قِرْصَافَةُ الصَّلَاةُ
“Wahai Qirshafah, shalat.”

Dengan izin Allah, Qirshafah yang sedang di Romawi mendengar dan berkata:
لَبَّيْكَ يَا أَبَتَاهُ
“Aku sambut seruanmu wahai ayah.”

Teman-teman anaknya berkata keheranan:
وَيْحَكَ لِمَنْ تُنَادِي ؟
“Celaka engkau, engkau menjawab siapa?”
Qirshafah menjawab:
لِأَبِي وَرَبِّ الْكَعْبَةِ يُوقِظُنِي لِلصَّلَاةِ
“Aku menyambut seruan bapakku dan Tuhannya Ka’bah yang telah membangunkanku untuk shalat.”

Para ulama terdahulu senantiasa menambah amalannya, dan ‘mengaitkan’ amal sholeh tersebut sebagai washilah tidak langsung dalam mendidik anak-anak mereka. Sa’id bin Al-Musayyib, seorang tabi’in, berkata kepada anaknya:

لَأَزِيدَنَّ فِي صَلَاتِي مِنْ أَجْلِكَ، رَجَاءَ أَنْ أُحْفَظَ فِيكَ
“Sungguh aku menambah shalat (sunnah)ku karena engkau, berharap dirimu akan dijaga Allah (disebabkan amal yang kulakukan).”

Tentu saja doa-doa dan amalan yang kita lakukan tidak menunggu saat anak tidak sesuai harapan, tapi sesuatu yang terus kita lakukan sebagai taqarrub kepada Allah. Semoga dengannya Allah mudahkan ananda sesuai harapan.

Wallahu a’lam.

Sumber: Dunia Parenting

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi