Oleh. Afiyah Rasyad
Duhai, sungguh pelik persoalan kehidupan saat ini. Semua lini terjerat oleh belenggu-belenggu permasalahan yang tak kunjung usai. Derai air mata membanjiri bumi pertiwi tersebab derita dan nestapa yang melanda penduduk negeri. Bahkan, rumah tangga yang merupakan institusi terkecil dalam sebuah negara tak luput dari intaian belenggu prahara.
Baru-baru ini, terulang kembali kisah pilu yang menimpa generasi. Nasib tragis seorang mahasiswi yang bunuh diri lantaran depresi. Mahasiswi berinisial NWR (23) ditemukan meninggal dunia, yang diduga bunuh diri akibat stres dan depresi setelah dua kali dipaksa aborsi oleh kekasihnya, seorang anggota Polres Pasuruan, Bripda RB. NWR meninggal bunuh diri dengan meminum racun. Jasadnya ditemukan meninggal tepat di pusara ayahnya di pemakaman umum Desa Japan, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, sekitar pukul 15.30 WIB (kompas.com, 6/12/2021).
Kasus itu memang bukanlah kasus pertama kali terjadi. Namun, berita itu tetap membawa kengerian bagi khalayak yang masih memiliki hati nurani. Sangat manusiawi jika ada timbul amarah dan kekhawatiran atas kasus ini. Marah saat tahu betapa jahatnya mereka berzina hingga hamil dan diminta aborsi. Khawatir juga menyeruak akan keselematan generasi, terutama anak-anak sendiri.
Belum lagi kasus 12 gadis belia dirudapaksa oleh gurunya. Mereka yang diamanahkan untuk belajar di boarding school harus mengalami trauma dan kehilangan masa depan. Bahkan, dikabarkan bukan 12 santriwati yang menjadi korban melainkan 21 orang (Akurat.co, 13/12/2021).
Semakin bertambah deretan kengerian yang membayangi keluarga. Betapa tidak, rumah pendidikan yang seharusnya menjadi menjaga tumbuh kembang fisik dan akal seorang anak, justru menjadi rumah angker yang merenggut kehormatan dan masa depannya. Siapa yang tidak ngeri mendengar kabar guru cabul seperti itu.
Potret buram generasi dari waktu ke waktu sungguh sangat mengkhawatirkan. Kasus seks bebas, pemerkosaan, pelecehan seksual, miras, narkoba, tawuran, begal, dan kriminal lainnya menghiasi tiap sudut penjuru negeri. Sementara sanksi yang diberikan seakan tak memberikan efek jera. Apalagi perkara seks bebas, problematika masalah ini terus berkibar dengan dalih hak asasi manusia. Kehidupan liberal merasuki jiwa generasi, masyarakat luas, dan juga penguasa. Bukan lagi hal tabu saat hubungan suami istri dilakukan oleh pasangan tak halal.
Fenomena ini juga tak luput dari pola didik dan pola asuh keluarga. Saat ini, peran keluarga mengalami dekadensi tersebab ayah dan ibu banyak yang mencukupkan diri untuk pendidikan anaknya di sekolah pilihan. Belum lagi jika orang tua sama-sama sibuk bekerja untuk urusan ekonomi keluarga atau terjebak dalam pusaran gaya hidup kapitalisme yang mendewakan harta. Maka, masa depan generasi semakin suram tatkala keluarga mereka tak lihai menjadi perisai. Bisa-bisa mereka justru menjerumuskan anak ke tempat tersuram bagi masa depannya.
Faktor Penyebab Keluarga Tak Mampu Menjadi Benteng Pertahanan
Kemelut yang mengintai anak dan keluarga saat ini sangatlah banyak. Benteng terakhir pertahanan diri adalah keluarga mengingat masyarakat sangat individualis dan negara yang cenderung abai atas pengurusan terhadap rakyat. Terjadinya potret buram pada dunia anak, mulai usia dini hingga fase baligh tak luput dari intervensi keluarga dalam pola asuh terhadap anak. Semakin abai orang tua terhadap pola asuh dan pola didik anak, maka semakin anak pada jurang kenistaan, apakah itu miras, narkoba, zina, dan lainnya. Semakin lalai orang tua menjaga anak, semakin dekat anak pada tindak kriminalitas.
Namun kenyataannya, keluarga saat ini memang lemah untuk menjadi benteng pertahanan bagi anak-anaknya. Banyak faktor yang melemahkan fungsi keluarga sebagai benteng pertahanan bagi anak agar terjaga dati tindak kriminal ataupun gaya hidup bebas. Faktor-faktor tersebut antara lain:
1. Keluarga di bawah cengkraman kapitalisme.
Saat ini, dunia diselimuti ideologi kapitalisme di segala aspek kehidupan, temasuk lingkungan keluarga. Akidah sekularisme menghajar tiap keluarga dengan mendorong institusi terkecil masyarakat itu untuk memisahkan agama dari kehidupan, temasuk keluarga Muslim. Walhasil, banyak keluarha Muslim yang memandang agama hanyalah ranah ibdah ritual pada dimensi satu, yakni, hubungan manusia dengan Allah secara vertikal. Itu pun sering dilalaikan akibat dari gempuran derivikasi kapitalisme berupa liberalisme dan materialisme.
Banyak keluarga Muslim berlomba-lomba memandang kesuksesan dan kebahagiaan adalah melimpahnya harta benda. Pendidikan dan pengasuhan anak dianggap sudah terwakili dengan fasilitas mewah dan harta berlimpah. Kasih sayang yang disediakan ala kadarnya saja minus pengajaran tauhid dan agama sejak dini. Maka, pondasi akidah yang akan menjaga kekebalan diri pada kemaksiatan tidak terbentuk. Sehingga, anak gampang terjerumus pada gaya hidup Barat yang serba bebas.
2. Keluarga cuek dengan aktivitas anak.
Orang tua yang terlalu sibuk mementingkan urusan ekonomi dengan menganggap anak akan bahagia dengan berlimpahnya harta akan membiarkan anaknya berbuat ke mana suka. Kontrol adab tak berfungsi sebagaimana mestinya. Orang tua cenderung cuek dengan apa yang diperbuat anak. Amar ma’ruf nahi munkar tak menjadi jubah orang tua dalam mendidik dan mengasuh anaknya di lingkungan keluarga.
Ada pula orang tua yang memang tidak sempat mengurus anak-anaknya karena keterbatasan pengetahuan dan ilmu mendidik anak, menganggap anak bisa tumbuh normal apa adanya. Sehingga, pembiaran mendorong anak bertindak semaunya dan cenderung bablas. Sementara orang tua yang minim ilmu tak melakukan apa pun alias cuek dan diam saja.
Ada pula orang tua yang tidak sempat mengasuh anak karena harus berjibaku dengan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan perut anggota keluarganya. Sehingga, orang tua semua sibuk keluar rumah demi mencari sesuap nasi untuk bertahan hidup. Alih-alih mendidik dan mengasuh anak, mereka tiba di rumah sudah dengan kondisi lelah dan masih tak berkecukupan membuat orang tua tak menghiraukan tumbuh kembang akal anak. Sehingga, orang tua banyak yang kecolongan, tahu-tahu anaknya terancam bahaya, tahu-tahu anaknya gaul bebas.
3. Rapuhnya visi misi keluarga.
Sebagaimana telah disampaikan bahwa visi misi pernikahan sangatlah urgen untuk menentukan ke arah mana keluarga akan dibawa. Saat visi misi telah rapuh dan tak segera diperbarui dengan komitmen yang tinggi, kegagalan keluarga akan menjadi keniscayaan. Kenakalan remaja yang menimpa anak bukan tak mungkin terjadi bila orang tuanya sudah tak lagi memiliki visi misi dalam mengarungi bahtera keluarga.
Visi misi adalah road map pasangan dalam menentukan haluan kehidupan rumah tangga, termasuk dalam mengasuh dan mendidik anak. Jika road map hilang atau sengaja ditinggalkan, maka peluang kesasar dan menuju kehancuran keluarga lebih besar. Anak tak akan diuris sebagaimana mestinya. Justru, anak akan dibiarkan tumbuh sendiri dengan minimnya kasih sayang dan arahan orang tua.
Tiga faktor itu bisa menyebabkan kehancuran masa depan anak. Keegoisan orang tua dalam mengarungi kehidupan tanpa risalah Islam semakin membawa anak pada kehancuran.
Dampak Buruk saat Keluarga Lepas Kendali dalam Pengasuhan dan Pendidikan Anak
Bagaimanapun anak adalah anugerah dan amanah yang diberikan Allah. Anak ibarat modal, tentu tak ada orang tua yang mengharapkan kerugian, semua inginkan keuntungan. Anak sholih dan sholihah adalah dambaan orang tua beriman. Namun, bagi kebanyakan keluarga Muslim yang telah tergerus dan teracuni kapitalisme, anak sholih sebatas angan dalam ucapan, namun dalam aplikasi kehidupan anak justru dijauhkan dari nilai-nilai agama.
Banyak keluarga Muslim yang pola didik dan pola asuh terhadap anak hanya sebatas rutinitas. Kasih sayang dan pendidikan diberikan ala kadarnya tanpa ada pengaruh. Bahkan, banyak pula di antara keluarga Muslim.yang justru lepas kendali terhadpa pola asuh pola pendidikan anak. Banyak keluarga yang mencukupkan pendidikan pada sekolah pilihan yang berkualitas bagi yang mampu. Namun, pendidikan ala kadarnya bagi keluarga yang tak menjangkau biaya tinggi. Apa pun bentuk sekolahnya, sebagus apa pun fasilitasnya, orang tua tak boleh mencukupkam diri menyerahkan pengasuhan dan pendidikan pada sekolah. Jika demikian, maka akan ada dampak negatif bagi anak, antara lain:
1. Anak akan berpetualang mencari kasih sayang di luar rumah
Saat kasih sayang dalam rumah ala kadarnya dari orang tua, atau bahkan anak tak merasakannya, maka anak akan eksplorasi di luar rumah. Berdasarkan pengalaman anak yang belum baligh akan mencari perhatian gurunya. Anak laki-laki pada guru perempuan dan anak perempuan akan caper pada guru laki-laki.
Lebih jauh, saat mereka baligh dan puber, mereka akan mendekatkan diri pada lawan jenisnya dan terseret budaya Barat. Pacaran tak bisa dihindari demi memenuhi kekosongan ruang di hati. Bahkan, perzinaan kerap kali terjadi, bisa berujung aborsi atau bunuh diri seperti kasus di atas.
2. Anak tidak betah tinggal dalam rumah
Ketika orang tua tidak memperhatikan segala kebutuhan anak, baik kebutuhan fisik, kasih sayang, dan juga perhatian dalam masa pengasuhan, maka anak akan betah tinggal di luar rumah. Apalagi jika mereka di dalam rumah tak menemukan keharmonisan dan sering menjadi tumbal kemarahan orang tuanya, maka mereka tak segan mencari kenyamanan di luar rumah. Mereka akan bergaul dengan siapa saja tanpa pandang bulu.
Anak tidak akan betah di dalam rumah jika dia merasa tidak nyaman. Kehidupan luar rumah akan menarik perhatiannya. Maka, pergaulan di luar akan lebih melekat pada kehidupan. Tak menutup kemungkinan anak akan terseret pada kehidupan luar rumah yang bebas. Mereka bisa terlibat narkoba, tawuran, seks bebas, miras, ataupun kriminal lainnya demi merasa puas. Bahkan, bisa jadi merekalah yang menjadi korban kehidupan bebas, seperti kekerasan seksual pada anak, pelecehan, atau sampai dibunuh.
3. Anak akan mengalami krisis percaya diri
Banyak terjadi pada anak, saat di rumah mereka merasa tak dihargai, diperhatikan, dan diberi kasih sayang, maka mereka akan merasa tak berguna dan bukan siapa-siapa. Krisi percaya diri akan menghantam mereka sehingga merusak pola pikir dan pola sikapnya. Mereka akan mudah merasa inscure dengan lingkungannya. Bahkan, mereka akan cenderung pasrah saat dibully oleh orang di sekitarnya.
Krisis percaya diri akan membawa anak pada kehidupan tertekan dalam kesunyian. Mereka akan cenderung menyimpan kemarahan dan kesedihan sendiri. Sehingga tak jarang dijumpai, anak yang mengalami krisis percaya diri dan tak segera ditangani akan sangat mudah depresi dan mengalami split personality.
Masih banyak dampak buruk lainnya pada anak apabila orang tua lepas tangan dalam pengasuhan dan pendidikan anak. Sungguh, anak akan hidup dalam kesengsaraan apabila keluarga tak mampu menhadi perisai atau benteng bagi kenyamanan dan keamanan anak-anaknya.
Peran Vital Keluarga dalam Pendidikan dan Pengasuhan Anak Berdadarkan Syariat Islam
Islam telah mengajarkan kepada tiap keluarga bahwa seorang ibu adalah madrasatuluula (sekolah pertama dan utama) bagi anak-anaknya. Seorang ibu bertanggung jawab terhadap pengasuhan dan pendidikan anaknya. Ibulah yang berperan penting menanamkan fondasi dasar tauhid dan pemahaman Islam bagi anak. Sehingga, anak-anak akan memamahami hakikat hidup, mampu menjawab dengan benar dari mana ia berasal, untuk apa hidup di dunia, dan akan ke mana kelak setelah kehidupan di dunia. Anak akan terbiasa nenjadikan ketaatan kepada Allah di atas segalanya dan senantiasa menjauhi larangan-Nya, memahami dan patuh terhadap syariat. Sehingga ketika kelak mereka baligh dan memasuki dunianya yang berwarna, mereka paham bagaimana seharusnya seorang Muslim bersikap.
Tidak dinafikkan bahwa proses pengasuhan dan pendidikan anak bukanlah hal yang mudah dan remeh. Namun, bukan berarti pengasuhan tak dapat diupayakan. Butuh upaya yang istimewa dan sungguh-sungguh untuk melakukannya. Jangan lupakan doa pada Allah agar diberikan kemudahan dan kesbaran dalam proses pengasuhan dan pendidikan anak.
Proses pengasuhan dan pendidikan anak harus ditopang oleh para ayah, jangan sampai ayah hanya berpangku tangan jadi komentator atau pasrah bongko’an. Selain nafkah, di pundak ayah juga terdapat tanggung jawab pendidikan bagi anak. Ketika proses pengasuhan dan pendidikan anak ini diperankan bersama oleh ayah dan ibu, tentu saja akan menjadi lebih ringan dan saling menguatkan. Adanya kesamaan langkah antara ayah dan ibu merupakan hal yang penting dalam proses pembentukan kepribadian anak, terlebih kepribadian Islam yang berkaitan dengan hal-hal yang mendasar atau prinsip hidup. Sehingga anak akan terarah pola pikir dan pola sikapnya di rel syariat Islam.
Peran ayah dan ibu secara fitrah memang berbeda. Namun dalam pengasuhan dan pendidikan harus satu frekuensi dan satu kendali agar anak tak kebingungan. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan orang tua agar satu frekuensi dalam mendidik dan mengasuh anak sehingga menghasilkan keharmonisan, antara lain:
1. Syariat Islam menjadi landasan utama dalam mengasuh dan mendidik anak
Kewajiban keluarga Muslim adalah menjadikan Islam dan syariatnya sebagai landadan dan solusi terhadap seluruh permasalahan yang terjadi dalam kehidupan berkeluarga. Harus dipahami bersama bahwa hukum syara’ datang dari Allah SWT. yang bersifat tetap, sesuai dengan fitrah manusia dan memuaskan akal, pada akhirnya akan membawa kepada ketenteraman. Karenanya, ketika syariat Islam dijadikan sebagai landasan dalam berkeluarga, maka keluarga memiliki patokan yang jelas dan tegas dalam menilai segala sesuatu.
2. Konsisten
Ayah dan ibu harus konsisten dalam mengasuh dan mendidik anak. Jika tidak, maka anak akan kebingungan. Misal, ibu melarang jajan di luar sementara ayah membiarkannya, anak akan lari pada ayah. Begitupun sebaliknya. Apabila ayah dengan tegas dan disiplin mendidik anak, sementara ibu penuh kompromi, maka anak akan lari pada ibu. Bagitupun sebaliknya. Maka, konsistensi itu sangat diperlukan dalam mengasuh dan mendidik anak.
3. Keteladanan
Kebiasaan sikap dan perkataan orang tua yang disaksikan dan dialami oleh anak akan terekam dalam pikiran, naik langsung atupun tidak. Bahkan, sangat mungkin perbuatam dan perkataan orang tua akan diikuti atau ditiru oleh anak-anak. Di sinilah pentingnya orang tua memberikan keteladanan yang baik bagi anak-anaknya. Maka, hal ini akan semakin mempermudah tercapainya tujuan proses pengasuhan dan pendidikan orang tua kepada anak-anaknya.
4. Menjaga komunikasi
Komunikasi dalam menyamakan frekuensi sangatlah diperlukan sebagaimana yang telah dijelaskan terdahulu urgensi komunikasi. Jika ternyata ada perbedaan-perbedaan yang perlu diubah untuk disamakan, maka diperlukan kerendahan hati dari salah satu pihak untuk memercayai pandangan pasangannya yang diputuskan bersama untuk diterapkan dalam pengasuhan anak. Hal ini penting karena di depan anak, kedua orang tua harus menunjukkan kekompakan dan keharmonisan.
Demikianlah syariat Islam mengatur mekanisme keluarga dalam pengasuhan dan pendidikan anak. Memang secara fitrah peran ayah dan ibu berbeda, namun semua bisa diupayakan agar satu frekuensi. Ketika kedua orang tua menjadikan syariat Islam sebagai pijakan dalam melaksanakan proses tumbuh kembang anak dan konsisten menerapkannya, maka perbedaan tersebut akan dapat teratasi.