Oleh. Nasrawati Alwan
(Pegiat Literasi)
Munculnya sindrom baby blues mungkin tidak asing lagi di telinga masyarakat, bahkan banyak yang pernah mengalami. Ciri-cirinya antara lain, ibu yang baru saja melahirkan tiba-tiba menangis bahkan mengalami kondisi mudah merasa cemas, mudah tersinggung, bahkan sampai ada yang tidak ingin melihat anaknya sendiri.
Baby blues dapat disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal. Solusi eksternal yang hingga saat ini dirasakan masyarakat belum mampu dihadirkan negara untuk para ibu.
Dilansir dari Halodoc.com (28/5/2023), baby blues syndrome merupakan kondisi mental berupa munculnya perasaan cemas dan sedih berlebihan yang sering dialami wanita pasca melahirkan. Namun, kondisi ini biasanya hanya berlangsung 14 hari pertama. Meski begitu, sindrom baby blues tidak boleh dianggap sepele karena bisa berdampak pada kesehatan ibu dan bayinya.
Baby blues terjadi karena kondisi hormon di dalam tubuh wanita yang berubah. Saat hamil, seorang wanita mengalami banyak perubahan dari bentuk fisik dan nonfisik yang termasuk hormon dan emosionalnya. Penurunan kadar estrogen dan progestron atau hormon lainya yang diproduksi kelenjar tiroid dapat menyebabkan ibu menjadi mudah lelah, perubahan emosi hingga depresi.
Perlu diketahui, baby blues tingkat Asia, Indonesia menempati posisi ketiga. Sebagaimana terdapat dalam data laporan Indonesia National Adlescent Mental Health Survey (I-NAMHS) 2023. Begitu juga hasil penelitian Andrianti (2020) bahwa 32 persen ibu hamil mengalami depresi dan 27 persen depresi pasca melahirkan. Selain itu, penelitian skala nasional menunjukkan 50-70 persen ibu di Indonesia mengalami gejala baby blues atau tertinggi ketiga di Asia.
Menurut Ketua Komunitas Perempuan dari Wanita Indonesia Keren (WIK) dan Psikolog, Maria Ekowati, kondisi baby blues parah bisa dialami oleh wanita hamil diluar nikah (married be accident), hingga wanita dengan kondisi rumah tangga yang tidak harmonis atau KDRT. Karena itu butuh dukungan suami dan lingkungan sekitar. (Republika.co.id, 28/5/2023).
Pandangan Islam
Perempuan adalah makhluk yang lemah secara fisik. Kondisi kehamilan menyebabkan bertambahnya kelemahan tersebut. Keadaan yang berat ini seringkali memberi dampak yang tidak ringan bagi emosi ibu pasca melahirkan. Masa kehamilan hingga persalinan diakui sebagai fase berat yang bisa membuat dampak psikologis pada perempuan.
Allah Swt. berfirman dalam surah Lukman ayat 14, “Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.”
Kondisi kelehahan mengurus bayi, jika ditambah kondisi rumah tangga yang tidak harmonis karena masalah KDRT ataupun masalah ekonomi, tentunya menjadi beban tersendiri bagi seorang ibu. Karena itu sebagai solusi internal, sebagai muslimah taat, seorang ibu hendaknya senantiasa mendekatkan diri kepada Allah Swt. Seorang ibu juga tentunya harus memiliki bekal ilmu yang cukup untuk menjadi seorang ibu, bahwa ibu adalah ummu warabbatul bait (ibu dan pengatur rumah tangga). Dengan begitu, segala lelah yang dijalani akan dianggap sebagai wujud ibadah mencari keridaan Allah Swt.
Selain itu, seorang istri juga butuh dukungan suami. Suami harus memahami bahwa mengurus dan mendidik anak adalah kewajiban bersama. Suami istri saling bekerja sama dan bahu-membahu dalam kebaikan termasuk pemeliharaan anak. Ini sekaligus sebagai wujud tindakan berbuat adil kepada istri.
Sehubungan dengan penyebab eksternal seperti KDRT dan faktor ekonomi, tentunya butuh keterlibatan negara. Negara diharapkan dapat menyediakan lapangan kerja bagi para kepala keluarga. Dengan begitu, mereka dapat memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
Sebagaimana pemerintah yang menerapkan sistem Islam, ia akan membuka lapangan kerja seluas-luasnya. Misalnya di sektor pertambangan, negara mengelolanya sendiri dengan menggunakan tenaga lokal sekaligus mengajarkan penerapan teknologi. Sehingga tidak ada alasan melibatkan pihak asing/aseng.
Pada sektor pertanian, tanah yang tiga tahun tidak dikelola oleh pemiliknya akan diambil alih oleh negara. Lalu negara akan mengizinkan pengelolaan tanah tersebut kepada masyarakat yang mampu mengelola dan belum memiliki pekerjaan.
Kebijakan lainnya, jika kepala keluarga meninggal dunia dan tidak memiliki kerabat yang mampu, maka keluarga yang ditinggalkan akan menjadi tanggung jawab negara. Dengan begitu, tidak ada lagi ibu yang baby blues karena alasan KDRT atau faktor ekonomi.
Jika sistem Islam yang diterapkan, masyarakat akan takwa secara individu. Negara akan menjalankan amanah pemerintahan dengan sebaik mungkin. Kehidupan akan tenteram dan sejahtera karena kehidupan diatur oleh syariat Islam. Semoga sistem Islam kembali tegak.
Wallahu a’lam bishowab.