War Ticket dan Ekonomi Kreatif

Oleh. Nunik Umma Fayha

Perhelatannya masih bulan November mendatang, tapi hebohnya sudah luar biasa dari sekarang. Sampai menteri urusan kreatif mati-matian memperjuangkan, bela-belain sowan ke MUI, otoritas tertinggi muslim Indonesia, untuk mendapat restu.
Hebat banget. Di mana-mana ditulis, dibahas. Jadi promo gratis ini …. Ada yang senyum sambil jentik jari lo …. Karena, banyak yang mendukung dan membela.

Bahkan, sekelas TV-One ikut membahasnya dengan beberapa narasumber. Seru juga menyimak paparan para narasumber. Menarik bagaimana para tokoh menyampaikan pendapatnya.

Pihak yang mendukung berdalih bahwa band-band itu kan bisnis juga. Jadi, mereka harus memahami tempat mereka bakal konser. Mereka tidak akan ‘bunuh diri’ melakukan sesuatu yang jadi hal sensitif di situ.

Pendapat lain sebagaimana disampaikan Menparekraf, konser ini membuka lapangan kerja dan berdampak ekonomi.
Uhuk! Dampaknya sampai ke mana sih …. Berdampak sakit hati bagi ‘wong cilik’ sih, IYA.

Ekonomi Krearif Sumber Pendapatan Negara?

Berdasar rilis dari kominfo.go.id, Ekonomi Kreatif adalah pilar perekonomian masa depan. Ekonomi kreatif digadang menjadi tulang punggung ekonomi menggantikan pilar ekonomi yang dari awalnya mengandalkan sumberdaya alam, pertanian, industri menjadi perekonomian yang digerakkan industri kreatif.

Sebuah mimpi besar. Tapi, tepatkah mimpi menjadikan ekonomi kreatif sebagai pilar ekonomi negara. Ekonomi kreatif disebut sebagai konsep ekonomi yang mengedepankan ide dan pengetahuan dari SDM sebagai faktor utamanya. Dalam hal ini, ide kreatif individu atau bakat individu yang mampu menciptakan lapangan kerja yang akan mendukung kesejahteraan.

Intinya adalah eksploitasi atas daya kreasi/daya cipta individu. Maka, persinggungan terbesar adalah dengan seni, kerajinan, desain, film, musik, produksi makanan. Semua hal yang berkaitan dengan kreativitas, inovasi, bisa masuk ranah ekonomi kreatif.

Dari hal ini, bisa dimaklumi kalau sebuah konser yang tiketnya saja seharga 800 ribu sampai 11 juta, diurus dan didukung sepenuh hati meski mendapat banyak penentangan. Padahal, secara logika bisa diperkirakan seberapa besar dampak ekonomi bagi masyarakat.

Dampak ekeonomi terbesar tentu saja ada pada penyelenggara konser. Sementara bagi masyarakat luas hanya menjadi pertunjukan ketimpangan sosial ekonomi yang semakin parah.

Pendapatan dari Ekonomi kreatif juga sangat dipengaruhi daya beli dan termasuk bukan kebutuhan primer. Fluktuasi nilai mata uang dan kondisi sosial sangat mudah mengguncang kekuatan ekonomi kreatif.

Ekonomi Kreatif vs Sumber Daya Alam

Sangat naif kalau memimpikan ekonomi kreatif yang dilandasi eksploitasi daya pikir individu diharapkan menggantikan kedudukan sumber daya alam sebagai sumber pandapatan negara.
Saat terjadi krisis ekonomi akibat pandemi kemarin saja, semua konser, pameran, dan kegiatan sejenia ditiadakan. Produksi fashion, craft, tiarap karena sepi pembeli.
Ekonomi kreatif sangat rawan guncangan.

Jadi menurut pendapat saya, tempatkan sesuai porsi saja. Kelola sumber daya alam yang ada secara optimal. Negara harus yakin dan berani melawan dikte dari ‘penjajah’ yang membuat sikap inferior dan merasa tak mampu. Karena faktanya, ketidakmampuan itu ada pada bagaimana meletakkan harga diri bangsa dan menguatkan ‘bargain position’.

Cukuplah negara mengelola dengan cara Islam karena sudah terbukti mampu menyejahterakan dan memberi keadilan. Hal yang susah diwujudkan kapitalis yang memberi ruang kepemilikan individu seluas-luasnya dan memicu kesenjangan.

Wallahu a’lam bishshawab.

Lereng Lawu, 8 Dzulqa’dah 1444H

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi