Wajah Bulog Perlu Polesan Sistem Islam

Oleh. Annisa Tsabita Al-Arifah
(Siswi SMAIT Al-Amri)

Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso membeberkan bahwa total utang pokok yang dimiliki Bulog saat ini mencapai Rp13 triliun. Utang tersebut digunakan untuk belanja penyediaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) sebesar 1 juta ton. Pria yang akrab disapa Buwas ini menambahkan, semakin utang tak terbayar oleh Bulog ke bank, maka semakin banyak bunga yang ditanggung.

Utang dan bunga tersebut makin menggunung karena pemerintah belum membayar utang ke Bulog sebesar Rp4,5 triliun. Utang tersebut berkaitan dengan penyediaan bantuan beras PPKM dan bansos rastra. Buwas menyebut, dalam melakukan penyerapan hasil petani dalam negeri, Bulog meminjam dana dari bank dengan pemberlakuan bunga.

Dengan masuknya Indonesia dalam perjanjian pertanian (AoA) WTO 1995, maka terjadilah proses liberalisasi pertanian yang radikal. Liberalisasi pertanian ini menyerahkan Indonesia kepada WTO dan sekaligus sebagai negara pengekor. Negara dipaksa membuka seluruh pasar pertanian mulai dari hulu ke hilir bagi dunia internasional.

Implikasi lain dari AoA adalah dicabutnya kewenangan Bulog dalam mengatur pangan, baik dalam menjaga stabilitas harga pangan, melakukan impor-ekspor, maupun menentukan provinsi subsidi. Bulog tidak boleh memonopoli tata kelola pangan, namun Bulog harus berkompetisi dengan berbagai pihak, termasuk korporasi-korporasi asing. Sehingga, Bulog tak ubahnya seperti lembaga korporasi pangan berorientasi untung rugi.

Sementara pemerintah hanya terlibat pada regulator dan fasilitator kemudahan investasi korporasi. Sehingga, negara menjalankan roda pemerintahan bagai perusahaan yang menjalankan bisnis. Lembaga-lembaga pemerintahan digiring menjadi bagian dari pelaku pasar. Dengan prinsip entrepreneurial government, pemerintah diarahkan sebagai pengusaha, memutar modal (aset) yang menyediakan barang ataupun jasa yang dibutuhkan masyarakat untuk mendapatkan keuntungan yang nantinya digunakan untuk menjalankan roda pemerintahan. Demikianlah wajah Bulog dalam pemerintahan neoliberal.

Jangankan untuk melayani kebutuhan pangan rakyat yang mayoritas penduduknya miskin, justru Bulog berupaya membisniskan produk layanannya dengan berbagai bentuk. Orientasinya diarahkan pada profit. Tak heran jika Bulog mengalami jeratan utang yang cukup besar, karena sebagai lembaga bisnis Bulog membutuhkan modal.

Bulog yang diharapkan dapat berperan mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan, kini justru terkebiri oleh regulasi yang ada. Karena itu, dibutuhkan konsep pengelolaan pangan yang shohih, tentunya berbeda dengan konsep neoliberal kapitalistik.

Hanya Islam satu-satunya yang mampu menjadi solusi untuk mewujudkannya. Penting kita pahami perbedaan politik pangan dalam Islam dengan politik pangan dalam kapitalisme. Dalam konsep Islam, politik pangan sejalan dengan politik dalam negeri dan luar negeri khilafah. Di dalam negeri, politik pangan dijalankan dalam rangka mengurusi hajat pangan seluruh individu rakyat yang dalam hal ini menjamin pemenuhan, baik konsumsi harian dan menjaga cadangan pangan untuk mitigasi bencana atau paceklik.

Sedangkan untuk politik luar negeri, politik pangan diarahkan untuk mendukung fungsi dakwah dan jihad oleh khilafah. Dengan artian, politik pangan tidak dijadikan pertumbuhan ekonomi ataupun mengejar surplus neraca perdagangan seperti halnya pada konsep kapitalisme neoliberal. Karena itu, untuk mewujudkan kemandirian implementasi politik pangan meniscayakan adanya pemerintahan yang independen. Kebijakan pangan akan lepas dari tekanan global baik perjanjian multilateral ataupun terhadap aturan lembaga internasional seperti WTO.

Visi kemandirian secara defacto dan dejure hanya ada pada sistem Islam dalam naungab Khilafah. Sebab, Allah SWT. telah dengan tegas melarang intervensi pihak asing atas kaum Muslim. Sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 141 yang artinya:

“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan pada orang-orang kafir untuk mengalahkan orang-orang beriman.”

Dalam Islam, Bulog berperan sebagai unit pelaksana teknis fungsi negara dalam mewujudkan kedaulatan dan ketahanan pangan setiap individu rakyat. Bulog menyimpan cadangan pangan untuk kebutuhan pada kondisi bencana, kebutuhan jihad, atau menstabilkan harga di pasar. Bulog juga harus dijalankan dengan prinsip Islam yang shohih.

Sehingga, Bulog akan dijiwai dengan fungsi pelayanan, dinihilkan dari aspek komersial. Sebab, Bulog merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah sebagai raain (pelayan) dan junnah (pelindung). Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah Saw:

“Imam (khalifah) adalah raain (pengurus hajat hidup rakyat), dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Muslim dan Ahmad)

Rasul juga menegaskan kembali dalam Hadits lainnya:

“Khalifah itu laksana perisai, tempat orang-orang berperan di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim)

Kita dapat melihat sosok Umar bin Khattab atau Utsman bin Affan yang profilnya sebagai pengusaha bisnis. Ketika beliau menjabat sebagai Khalifah, beliau langsung melepas usahanya agar dapat fokus mengurusi dan meri’ayah rakyat. Amanah beliau sebagai khalifah tidak mengabaikan kewajibannya terhadap keluarga karena dalam Khilafah, khalifah mendapat santunan berupa pemenuhan kebutuhan pada keluarga. Sehingga, khalifah tetap dapat memenuhi kewajibannya sebagai amir keluarga sekaligus tidak mengabaikan kewajibannya dalam meri’ayah rakyatnya.

Dalam Islam, anggarannya berasal dari Baitul Mal dan bersifat mutlak. Baitul mal adalah institusi pengurus pengelola semua harta yang diterima dan dikeluarkan oleh negara sesuai dengan ketentuan syariat. Berbagai pemasukan Baitul Mal, seperti harta milik umum, jizyah, kharaj, dan sebagainya menjadikan negara memiliki kemampuan finansial memadai untuk melaksanakan berbagai fungsi pentingnya.

Dalam hal ini, terwujudnya politik ketahanan dan kedaulatan pangan bersifat mutlak. Artinya, ada atau tidak ada kas negara untuk pembiayaan, politik katahanan dan kedaulatan pangan wajib diadakan negara. Jika dari pemasukan rutin atau tetap seperti halnya harta milik umum berupa barang tambang yang jumlahnya berlimpah tak terpenuhi, maka Islam memiliki konsep antisipasi berupa pajak temporer atau dharibah yang dipungut dari orang-orang kaya sejumlah kebutuhan anggaran mutlak.

Namun, perlu dipahami bahwa pengelolaan pangan seperti ini hanya dapat dijalankan dengan sistem ekonomi Islam di bawah institusi khilafah Islamiyyah. Karena, Khilafah adalah sistem pemerintahan Islam yang akan menerapkan seluruh aturan Islam, termasuk salah satunya sistem ekonomi Islam. Tinggal menarik kembali kesadaran dan kemauan masyarakat dalam menerapkan Islam kaffah, maka kesejahteraan seluruh aspek kehidupan akan dinikmati oleh rakyat.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi