UU TPKS, Solusikah?

Oleh. Afiyah Rasyad
(Aktivis Peduli Ummat)

Syahdan, semakin hari, kasus kekerasan seksual semakin menukik tajam. Kasus yang terkait kriminal kesusilaan kian mengkhawatirkan. Kasus pemerkosaan dan pencabulan dalam lima tahun terakhir selama 2016 sampai 2021 meningkat mencapai 31%. Tahun 2021, kasus perkosaan terhadap perempuan mendominasi hingga 25% dari total kasus (databoks.katadata.co, 15/12/2021).

Betapa sangat mengkhawatirkan. Kasus yang menimpa makhluk yang butuh ekstra penjagaan begitu marak. Baru-baru ini juga ada kejadian memilukan. Seorang siswi SMP berusia 15 tahun di Jawa Tengah diperkosa delapan remaja secara bergiliran yang mengakibatkan korban mengalami trauma berat. Para pelaku masih berusia belasan tahun (Kompas.com, 06/04/2022).

Tentu saja hal itu memicu kemarahan masyarakat luas. Sebab, kekerasan seksual pada perempuan sangatlah merendahkan dan menghinakan kehormatam kaum hawa. Maka dari itu, DPR mengesahkan RUU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) menjadi undang-undang sebagai solusi dari negara. Disampaikan oleh Ketua DPR Puan Maharani, UU ini sebagai solusi atas kekerasan seksual. Rasa bahagia menyelimuti para aktivis perempuan. Mereka menganggap UU TPKS sebagai hadiah bagi kaum hawa.

Setelah melewati perjalanan berkelok-kelok, akhirnya RUU TPKS disahkan demi sebuah pandangan solusi atas kekerasan seksual terhadap perempuan. Dalam UU tersebut, diatur mengenai perlindungan dan pemulihan korban, penegakan hukum, rehabilitasi pelaku, mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual, serta menjamin ketidakberulangan terjadinya kekerasan seksual. Benarkah akan menjadi solusi?

Kamuflase UU TPKS dalam Menyelesaikan Kekerasan Seksual

Sejak lahirnya, RUU TPKS telah menuai pro kontra. Banyak tokoh ormas Islam yang memrotes RUU tersebut. Bukan perkara para tokoh Islam merestui kekerasan seksual, jelas tidak mungkin, namun mereka mengkritisi beberapa hal yang dianggap dapat memicu permasalahan baru, antara lain:

Pertama, UU TPKS ini tidak menyinggung hubungan perzinaan yang sering kali menjadi pemicu kekerasan seksual pada perempuan. Di dalam pasal 1 ayat 1 disebutkan, perbuatan-perbuatan termasuk kekerasan seksual ketika bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan ia tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas.

Artinya, jika hubungan seksual dilakukan di luar nikah suka sama suka, maka tak masalah. Hal itu terindikasi dari kata persetujuan. Kata persetujuan menggantikan kata sexual consent yang sebelumnya tercantum dalam RUU TPKS. Sexual consent dihapus setelah menuai sorotan. Namun, kata persetujuan tetap menyiratkan bahwa hubungan di luar nikah yang didasarkan kerelaan kedua belah pihak, tidak akan dijerat oleh UU ini.

Maka jika benar demikian, ini juga berbahaya bagi kehidupan sosial masyarakat. Perzinaan akan tumbuh subur jika tidak termasuk dalam jeratan UU TPKS ini. Belum lagi derivikasi free sex ini tak kalah mengerikan, tindakan aborsi atas kehamilan yang tak diinginkan juga bisa jadi persoalan pelik.

Kedua, UU TPKS ini didominasi ide feminisme. Di pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender menjadi penyebab dari kekerasan seksual. Sebuah istilah yang juga termaktub dalam Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021. Peraturan yang mengatur tentang pencegahan dan penanganan kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi.

Ketimpangan relasi kuasa terjadi ketika pelaku merasa memiliki posisi yang lebih dominan daripada korban. Sehingga, muncullah istilah marital rape atau perkosaan dalam rumah tangga. Seorang istri bisa melaporkan suaminya yang telah memaksakan hubungan seksual, sementara istri tidak siap melayani. Sungguh paham yang jauh dari ajaran Islam. Apabila istri tidak siap, sebenarnya bisa dikomunikasikan pada pasangan. Sikap saling pengertian dan menyayangi seharusnya ada dalam tiap pasangan suami istri. Namun, tatanan pergaulan dalam Islam inilah yang dipandang oleh kajm feminin sebagai aturan yang membelenggu kebebasan perempuan. Seorang istri seolah-olah tertindas karena dipaksa melayani suami. Padahal, melayani suamk dalam urusan ranjang adalah pahala bagi perempuan tanpa konsep kesetaraan gender.

UU TPKS ini semacam kamuflase solusi yang justru bisa memicu permasalahan baru. Meski tujuannya mulia, namun UU ini tidak mampu menghalau arus liberalisasi milenial dalam pergaulan. Tak ada batasan dan tindakan tegas atas pergaulan laki-laki dan perempuan. Wajar jika UU TPKS menjadi sebuah kamuflase kebijakan tambal sulam, sebab negara masih setia berpaham ideologi kapitalisme dengan akidah memisahkan agama dari kehidupan, yakni sekularisme.

Islam adalah Solusi Hakiki Kekerasan Seksual

Islam adalah agama sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Sistem pergaulan Islam begitu tegas dan jelas mengatur interaksi laki-laki dan perempuan. Asal hukum laki-laki dan perempuan adalah terpisah. Islam mewajibkan laki-laki dan perempuan menundukkan pandangan, menutup aurat dengan swmpurna saat keluar rumah, tidak berdua-duaan, tidak bercampur baur kecuali dalam urusan muamalah, pendidikan, dan kesehatan. Islam juga memberikan lampu hijau bagi hubungan laki-laki dan perempuan dalam ikatan pernikahan

Islam pun tegas menetapkan laki-laki debagai pemimpin dalam rumah tangga dan perempuan sebagai orang yang dipimpin. Namun, hal ini bukan berarti Islam merendahkan ataupun menghinakan perempuan. Justru Islam menjaga kehormatan dan memuliakan perempuan. Islam memandang hubungan suami istri adalah hunungan persahabatan yang dipenuhi kasih sayang.

Tanggung jawab nafkah dan bekerja keluar rumah adalah tanggung jawab laki-laki. Sehingga, perempuan akan fokus di ranah domestik untuk mengurusi rumah tangga. Kalaupun keluar ke ranah publik, bisa jadi hanya dalam perkara wajib seperti menuntut ilmu, silaturrahmi, dan berdakwah. Jika perempuan bekerja, maka ia punya kewajiban menutup aurat dengan sempurna, tidak tabarruj, bukan pekerjaan haram, tidak bercampur baur ataupun berdua-duaan dengan laki-laki asing. Sehingga, interaksi laki-laki dan perempuan tetap terjaga dalam koridor syar’i.

Dengan demikian, peluang kekerasan seksual tidak akan muncul bak jamur di musim hujan. Sebab, tiap individu dan pasangan suami istri akan menempatkan ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya dalam setiap aktivitas sehari-hari, termasuk menjaga dan menahan diri dari interaksi yang tidak halal.

Wallahu a’lam.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi