UU TPKS, Solusi atau Memfasilitasi?

Oleh. Ummu Kembar (Komunitas Menulis Setajam Pena)

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TP-KS) menjadi UU pada sidang paripurna yang dihadiri sebanyak 420 anggota dewan (katadata.co.id 12/4/2020).

Hal ini juga senada dengan yang disampaikan oleh akun Twitter @komnas perempuan yang bebunyi, “Akhirnya bertahun- tahun diupayakan, pada rapat paripurna DPR RI 12/4/2020 RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual disahkan menjadi UU TP-KS.

Memang, bak fenomena gunung es, inilah yang sedang terjadi di negeri ini, kasus terhadap kekerasan seksual kian hari kian meningkat. Selama periode 2016- 2020 setiap tahunnya sekurang-kurangnya ada 5200 kasus kejahatan seksual. Inilah yang akhirnya menjadi alasan di sahkannya UU TP-KS dalam rangka mencegah kasus kekerasan seksual, melindungi korban, menegakkan hukum,. Serta menjamin tidak terulangnya kasus seksual.

Benarkah UU TP-KS merupakam solusi jitu memberantas kasus kekerasan seksual? Atau justru menambah maraknya kasus kekerasan seksual? Jika kita cermati, isi dari UU TP-KS masih banyak sarat permaslahan yang akan menimbulkan ketidakpastian. Reduksi yang awalnya 9 tuntutan, yaitu pelecehan seksual fisik, pelecehan nonfisik, pelecehan seksual elektronik, penyiksaan, seksual, pemaksaan kontrasepsi, eksploitasi seksual, pemaksaan perkawinan dan perbudakan seksual menjadi 4 tuntutan saja. Ini juga terkait reduksi pasal yang awalnya terdiri dari 124 menjadi 64 pasal.

Aktivitas seksual yang dilarang dalam UU TP- KS hanyalah yang berbasis kekerasan, paksaan, atau bertentangan dengan keinginan personal. Sedangkan perbuatan seksual tanpa paksaan atau tanpa kekerasan tidak termasuk dalam pembahasan kajahatan seksual.

Jelas saja, di sistem demokrasi sekuler, persoalan kekerasan seksual yang berlangsung bertahun-tahun tidak pernah bisa diselesaikan, karena homo dan L613T tidak dianggap sebagai bentuk kejahatan. Padahal jelas ini adalah penyimpangan seksual yang harus dihilangkan dari masyarakat.

Meskipun UU telah banyak dibuat, budaya pergaulan permisif masih ada pada diri individu seseorang. Mereka mementingkan dirinya sendiri. Hal itu diikuti pula dengan hilangnya budaya amar makruf nahi mungkar di tengah- tengah masyarakat. Inilah pemicu kekerasan seksual. Sehingga kini, negara bahkan terkesan menjadi legislator kemaksiatan.

UU disahkan tanpa menunggu perbaikan KUHP, artinya hanya bertujuan melegitimasi paradigma liberal dalam memandang kasus kekerasan, bukan benar- benar bertujuan menghapus kekerasan seksual. Ironi aturan yang dibuat dalam lingkup sistem demokrasi liberal.

Fakta tersebut berbeda dalam perspektif Islam. Islam berbeda dengan sistem demokrasi yang hanya mementingkan individu tanpa memperhatikan yang lain. Islam memiliki aturan yang sempura karena lahir dari Sang Pencipta, Pengatur manusia dan Maha Mengetahui permasahan hamba-Nya yang sedang dihadapi. Karenanya, Islam dapat menyelesaikan permasalahan masyarakat tak terkecuali kejahatan seksual. Islam juga memiliki cara bagaimana penanggulangannya maupun pencegahannya. Di dalam Islam ada tiga mekanisme dalam penayelesain kejahatan seksual.
6
Pertama, menerapkan sistem pergaulan Islam yang mengatur interaksi laki-laki dan perempuan, baik ranah sosial maupun privat. Islam akan menutup celah aktivitas yang mengumbar aurot atau sensualitas di tempat umum yang akan menimbulkan kejahatan seksual.

Kedua, Islam memiliki sistem kontrol sosial berupa amar makruf nahi mungkar. Saling nasehat menasehati dalam kebaikan dan ketaqwaan dengan cara yang baik.

Ketiga, Islam memiliki sistem sanksi yang tegas terhadap pelaku kejahatan seksual. Seperti sanksi bagi pezina yaitu rajam (dilempari batu sampai mati) bagi yang sudah menikah dan cambuk 100 kali jika belum menikah. Hukuman tegas ini akan memberikan efek jera (zawajir) kepada pelaku sekaligus menghapus dosa (jawabir) ketika sampai waktu di Yaumil hisab nanti.

Ketiga mekanisme tersebut hanya akan bisa terlaksana secara baik jika sebuah negara yang menggunakan syariat Islam secara kaffah. Karena, negara adalah pelindung bagi rakyat. Seperti sabda Rasullullah Saw:

“Sesungguhnya seorang imam (kepala negara) laksana perisai, rakyat di belakangnya dan dia menjadi pelindung bagi rakyatnya.”(HR Bukhori dan Muslim)

Wallahu a’lam bishowab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi