Utak-Atik Kebijakan Migor untuk Siapa?

Oleh. Inas Fauziah Idris
(Aktivis Penulis Ideologis)

Sejak bulan Oktober dan November tahun 2021 lalu, harga minyak goreng mulai melambung tinggi. Untuk mengendalikannya, pada 27 Januari 2022, Kementerian Perdagangan (Kemendag) menerapkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO).

Pada saat itu, Mendag Lutfi menyatakan bahwa harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng berlaku baru yang menyebabkan harga turun per 1 Februari 2022, dengan rincian harga minyak curah Rp11.500,00 per liter, kemasan sederhana Rp13.500,00 per liter, kemasan premium Rp14.000,00 per liter. Anehnya dengan kebijakan itu, minyak goreng justru semakin langka di pasar.

Pada tanggal 16 Maret 2022, pemerintah mengambil lagi kebijakan revisi HET. Kemendag merilis aturan HET Rp14.000,00 untuk minyak curah dan mengembalikan harga minyak goreng sesuai harga pasar. Kemudian pada tanggal 20 Mei 2022, Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, pemerintah akan menerbitkan lagi kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO).

Menurutnya, keputusan ini sebagai tindak lanjut dari ketetapan pemerintah yang akan membuka ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng. Alasan dari pembukaan keran ekspor itu karena pasokan minyak goreng curah di dalam negeri melimpah dan harga sudah menurun.

Ruwetnya Memberantas Mafia

Setelah kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan empat tersangka kasus ekspor minyak goreng (migor) pada 19 April lalu, dalam kasus tersebut terdapat dugaan tindak pidana korupsi terkait pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan turunannya pada Januari 2021 hingga Maret 2022.

Dalam kasus dugaan tindak pidana migor ini disinyalir adanya pemufakatan antara pemohon dan pemberi izin untuk fasilitas persetujuan ekspor (CNBC Indonesia).
Presiden Jokowi juga memerintahkan Kejagung untuk mengusut tuntas kasus mafia migor ini. Ia meminta aparat penegak hukum tidak berhenti di empat orang tersangka. Namun, tetap saja harga minyak goreng di pasaran masih terus tinggi. (CNN Indonesia).

Ruwetnya pemberantasan mafia migor nyatanya belum juga selesai setelah ditangkapnya beberapa tersangka. Pemerintah bahkan harus berhadapan dengan sikap pesimis masyarakat akan harga migor di pasaran.

Ditambah lagi, jika diberlakukan kembali kebijakan DMO dan DPO sebagai tindak lanjut dari ketetapan pemerintah yang akan membuka ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng tentu jelas akan menguntungkan pengusaha eksportir dan produsen sawit. Lantas untuk siapa sebenarnya pemerintah melakukan utak-atik kebijakan minyak goreng ini?

Mafia Lumrah di Sistem Kapitalis

Persoalan karut-marutnya kebijakan minyak goreng memang tak bisa langsung terpecahkan hanya dengan penangkapan para mafia. Terdapat problem mendasar di balik polemik minyak goreng yang sampai saat ini belum tertuntaskan, yakni penerapan sistem kapitalisme. Dalam ideologi kapitalisme, meniscayakan manusia berhak mengatur kehidupannya sendiri tanpa terikat dengan aturan agama. Sehingga, lahirlah kebebasan yang kebablasan. Salah satunya adalah kebebasan berkepemilikan.

Dengan prinsip “kebebasan berkepemilikan” ini, siapa pun bebas memiliki harta dari mana saja baik itu milik individu maupun umum. Akibatnya, kebebasan kepemilikan tidak memiliki batas harta mana yang boleh dan tidak boleh bagi individu untuk memiliki harta. Lahirlah manusia-manusia yang rakus dan jahat.

Di dalam ideologi kapitalisme, negara bukanlah satu-satunya penyedia barang maupun jasa dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Terdapat pengusaha yang dianggap mampu menstimulus ekonomi di masyarakat.

Di sisi lain, dalam ideologi kapitalisme, terdapat simbiosis mutualisme antara penguasa dan pengusaha. Jadi, wajar saja meski negara menetapkan sejumlah regulasi untuk mengatur pemenuhan kebutuhan dalam negeri, pengusaha memiliki posisi tawar yang tidak kalah menguntungkan. Bahkan, pengusaha mampu menekan pemerintah hingga menyerahkan harga kebutuhan dengan harga tinggi, termasuk migor. Sudah jelaslah bahwa sejatinya utak-atik kebijakan ini untuk kepentingan para mafia yang menjelma sebagai pengusaha. Maka butuh solusi tuntas yang memberikan kesejahteraan dan keadilan ekonomi bagi masyarakat.

Islam Solusi Tuntas Berantas Mafia

Islam telah terbukti secara empiris dan historis menyejahterakan rakyatnya. Islam memiliki sejumlah konsep yang sangat kontradiktif dengan kapitalisme dalam masalah perekonomian.

Pertama, Islam membagi harta kepemilikan menjadi tiga, yaitu kepemilikan individu, umum, dan negara. Dengan pembagian ini, pengelolaan harta milik umum dan negara akan tampak jelas.

Kedua, terdapat pengawasan dan sanksi tegas. Dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), terdapat lembaga Hisbah yang berfungsi mengontrol dan mengawasi ketersediaan kebutuhan pokok di pasar serta menindak tegas para penimbun dan pedagang curang.

Ketiga, menjaga keberlangsungan mekanisme pasar yang sehat. Islam melarang praktik penimbunan, liberalisasi perdagangan, penipuan, monopoli, dan praktik curang lainnya. Islam juga melarang mematok harga. Dengan penerapan sistem Islam, tidak akan ada mafia atau kartel pangan yang merugikan masyarakat, apalagi memainkan harga untuk meraup untung sebanyak-banyaknya.

Keempat, politik ekonomi berbasis riayah syu’unil ummat. Dalam Islam, penguasa adalah pelaksana hukum Islam dan pelayan bagi rakyatnya. Tugasnya ialah melayani rakyat dengan memenuhi kebutuhan azasi mereka.

Konsep ekonomi Islam ini hanya akan bisa diterapkan di dalam sistem Islam yaitu Khilafah. Mustahil bisa diterapkan di dalam sistem kapitalis seperti saat ini.

Wallahu a’laam bi ash-shawaab.

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi