Urgensi Melanjutkan Kembali Kehidupan Islam di Bawah Satu Kepemimpinan

Oleh. Afiyah Rasyad

Duhai, pelik nian urusan keumatan dewasa ini. Betapa tidak, prahara demi prahara di tiap lini kehidupan terjadi. Rakyat biasa negeri menghadapi eisode masalah yang tiada henti. Sementara pemangku kebijakan mencitakan atmosfer aturan sekehendak hati.

Betapa rakyat hidup dalam kubangan penderitaan. Rakyat harus siap sedia tertimpa kezaliman demi kezaliman. Krisis moneter dan krisis multidimensi turut mewarnai kehidupan. Belum lagi sajian peristiwa mengiris hati yang dilakukan para pemilik jabatan kenegaraan.

Kezaliman berjilid-jilid tentu bukan tanpa sebab. Di saat kondisi rakyat panik dan terhimpit, justru pihak pemangku kebijakan membuat regulas yang rumit. Kenaikan harga dan tarif terus melejit, kasus korupsi yang melangit, kemiskinan sitematis, tingginya angka kriminalitas, dan segudang permasalahan lainnya menjadi santapan sehari-hari bagi rakyat. Hal itu bkan semata karena personal yang mengemudikan negara, tetapi lebih kepada tatanan kehidupan yang diatur oleh sistem buatan manusia.

Sebuah kepemimpinan amatlah penting dalam tatanan kehidupan. Negeri ini sudah merasakan sejumlah sosok pemimpin sejak deklarasi kemerdekaan. Sudah berulang kali pemerintah menggelar walimah politik lima tahunan, pilpres, pilgub, pilkada, ataupun pemilu anggota legislatif. Namun, kondisi kehidupan tak menunjukkan perubahan, hasilnya cenderung sama.

Betapa banyak episode tiap pergantian pemimpin, tetapi sifat amanah seakan tak melekat pada diri mereka. Janji diobral tanpa bkti nyata. Bahkan, tak jarang tiap ruang dan lorong pemerintahan kerap terisi oknum-oknum korup, penuh pencitraan, arogan, dan ambisius.

Jelas, kondisi ini amatlah tidak sehat dalam alur kepemimpinan, malah menimbulkan kekhawatiran dari berbagai pihak. Pada tahun lalu, salah satu tokoh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) juga mengutarakan kekhawatirannya. Peneliti politik dari BRIN, Siti Zuhro, berharap Pemilu dan Pilkada 2024 nanti melahirkan sosok “pemimpin”, bukan “penguasa”. Menurutnya, kekeliruan dari pemilihan langsung di Indonesia menimbulkan banyak dampak negatif, salah satunya kasus korupsi yang menjerat banyak kepala daerah. Data KPK menyebut, sudah 440 orang kepala daerah kena OTT setelah pilkada langsung pada 2005 (CNNIndonesia.com, 04/07/2022).

Kepemimpinan di negeri ini memang tidak bisa dipeetahankan. Kendati pun setahun mendatang akan ada walimah politik, belum tentu bisa membawa perubahan. Apalagi jika metode kepemimpinan dan sistem aturan yang digunakan masih sama, yakni sistem buatan manusia. Di mana karut-marut masalah urusan umat lebih tepat disebabkan oleh sistem bermasalah yang melahirkan oknum bermasalah pula. Letak masalah sistemisnya ada pada sistem kapitalisme. Semantara jamak diketahi bahwa manusia terbatas, lemah, butuh pada yang lain, serta tempatnya salah dan alpa.

Urgensi Melanjutkan Kembali Kehidupan Islam dalam Satu Kepemimpinan

Di saat manusia mendapat kewenangan membuat undang-undang, sesungguhnya membuka peluang besar terjadinya kerusakan dan semakin menumbuhsuburkan kezaliman. Aturan yang dibuat akan mengacu pada kepentingan si pembuat aturan. Sehingga, revisi kebijakan dan aturan akan sering dijumpai sebagaimana terjadi saat ini. Sehingga, persoalan kepemimpinan yang sudah berlangsung sekian lama, seakan tidak pernah dijumpai penyelesaiannya.

Adanya dikotomi antara pemimpin dan panguasa juga hal wajar dalam ranah kapitalisme. Sengkarut yang ada haruslah dihilangkan dari muka bumi. kerusakan di berbagai bidang di belahan bumi ini diakibatkan oleh kapitalisme sehingga mempertahankannya berarti melanggengkan kerusakan. Adanya permasalahan dunia, khususnya krisis di dunia Islam itu berakar dari penjajahan Barat yang berlangsung sejak runtuhnya Khilafah Islamiah di Turki hingga saat ini.

Maka dari itu, kaum muslim tak boleh mencukupkam diri berada di zona kapitalisme sebagai takdir yang tak bisa dihindari. Perkara aturan kehidupan yang sudah sangat-sangat krusial harus ada perubahan. Arah perjuangan umat Islam sudah semestinya bertumpu pada akar krisis tersebut, yakni melenyapkan hegemoni negara penjajah dan ideologi kapitalismenya.

Perubahan menyeluruh dari seluruh tatanan kehidupan perlu diperjuangkan. Yakni, perubahan untuk mmelanjutkan kembali kehidupan Islam dalam satu kepemimpinan harus segera ditegakkan. Sistem hukum untuk memperoleh keadilan, sistem ekonomi untuk mengatur sumber daya manusia dan alam, sistem politik untuk menjalankan roda pemerintahan, dan sanksi hukum untuk menjamin stabilitas sosial kemasyarakatan, dan aspek lainnya, hakikatnya adalah perangkat sistem kehidupan yang menjadi penentu corak kehidupan. Maka, seluruh sistem kehidupan yang mengalun dalam ideologi kapitalisme tersebut harus segera diganti agar rakyat tak lagi hidup dalam kubangan kezaliman dan penderitaan.

Sebagaimana perubahan yang diemban Rasulullah dan para sahabat. Sangat jelas dalam sirah digambarkan bahwa perubahan yang dibawa oleh Islam saat terjadi perubahan masyarakat jahiliah ke masyarakat Islam di Madinah adalah perubahan yang sangat mendasar dan secara inqilabiyah, perubahan secara revolusioner. Perubahannya adalah perubahan hakiki, perubahan dari masyarakat jahiliah ke masyarakat Islam. Bukan sekadar perubahan kepemimpinan atau rezim, melainkan perubahan yang berasal dari akar dan sistemis.

Arus perubahan inilah yang sejatinya harus terjadi pada dunia dan kaum muslim saat ini. Sangat urgen untuk melakukan perubahan hakiki. Perubahan dari kondisi sistem kapitalisme liberal ataupun sosialisme komunis, menuju masyarakat Islam. Perubahan ini yang akan benar-benar memberikan kebaikan pada masyarakat dan kehidupan alam semesta, insyaallah.

Upaya Melanjutkan Kembali Kehidupan Islam dalam Satu Kepemmpinan

Harapan dan arah perubahan yang benar dan baik itu tidak ada, kecuali hanya pada Islam, ideologi kehidupan yang bersumber dari Sang Pencipta manusia dan alam semesta. Tentu metode atau tata cara perubahan yang perjuangkan harus sesuai dengan cara Islam, sebagaimana cara yang Nabi Muhammad saw. contohkan. Perubahan masyarakat yang dicontohkan Rasul bertumpu pada “perubahan pemikiran” dan tanpa kekerasan.

Ada tiga tahapan (marhalah) yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dalam mentransformasi masyarakat jahiliah menjadi masyarakat Islam. Antara lain:

Pertama, tahap pembinaan (marhalah tatsqif), yakni tahap pengukuhan dan penancapan pemikiran yang diemban agar terjadi perubahan hakiki. Keberhasilan perubahan yang berlandaskan sebuah pemikiran ada pada tahapan ini. Rasul saw. menancapkan akidah Islam ke benak para sahabat tidak kurang dari 13 tahun selama di Makkah. Pemikiran yang jernih, selaras dengan akal, menenteramkan jiwa dan kalbu, akhirnya terhunjam kukuh di benak para sahabat. Ini adalah modal paling dasar untuk kemudian berlanjut pada tahap kedua.

Kedua, tahap interaksi dengan masyarakat (marhalah tafa’ul ma’al ummah). Upayanya adalah menyampaikan pemikiran atau ide perubahan kepada masyarakat dengan terang-terangan. Dilakukan dengan shira’ al-fikri (perang pemikiran) dan kifah as-siyasiy (perjuangan politik).

Setiap pemikiran dan ide rusak, ragam kebijakan politik yang menyengsarakan rakyat, harus dikritik dan dijelaskan kelemahan, kekeliruan, dan akibat buruk terhadap kehidupan bermasyarakat. Kemudian harus ada penjabaran menyeluruh tentang solusi Islam.

Ketiga, tahap transformasi kepemimpinan (marhalah istilamul hukmi). Hijrah Rasulullah saw. adalah bentuk keberhasilan langkah yang ketiga ini. Saat itu, masyarakat dan tokoh-tokoh Madinah (ahlul quwwah wal mana’ah) sudah siap memberikan kekuasaan mereka kepada Rasulullah saw. Peresmian transformasi kepemimpinan itu ditandai dengan Baiat Aqabah II.

Peristiwa baiat ini diawali dengan datangnya rombongan haji dari Madinah ke Makkah dengan jumlah yang cukup banyak. Mereka terdiri dari 75 orang kaum muslim, yaitu 73 laki-laki dan 2 perempuan.

Rasul saw. menemui mereka secara rahasia dan membicarakan baiat yang kedua ini. Pembicaraannya tidak sebatas masalah dakwah dan kesabaran dalam menghadapi semua kesengsaraan saja, tetapi juga mencakup kekuatan yang akan mampu mempertahankan kaum muslim.

Lebih jauh dari itu, yaitu mewujudkan cikal bakal yang akan menjadi fondasi dan pilar pertama dalam mendirikan Negara Islam, yakni sebuah negara yang akan menerapkan Islam di dalam masyarakat, mengembannya sebagai risalah universal ke seluruh umat manusia dengan membawa serta kekuatan yang akan menjaganya, dan menghilangkan semua rintangan fisik yang menghalangi di jalan penyebaran dan penerapannya. (An-Nabhani, Daulah Islamiyah).

Maka, ketiga tahapan ini haruslah dijalani dengan sabar dan daya juang tinggi. Setiap perjuangan memang akan berjumpa dengan hambatan dan rintangan. Namun, umat Islam harus fokus berjuang melanjutkan kehidupan Islam dalam satu kepemimpinan sebagaiman metode dakwah Rasulullah saw. hingga beliau berhasil menerapkan Islam di Madinah dan beliau sebagai pemimpin Daulah Islam saat itu.

Wallahu a’lam

Dibaca

Loading

Bagikan tulisan ini agar semakin bermanfaat

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Artikel Terbaru

Konsultasi